Terkini Daerah
Keresahan Cucu Sri Sultan Hamengkubuwono X dengan Kelestarian Alam di Lereng Gunung Merapi
Raden Mas Gustilantika Marrel Suryokusumo sebagai cucu Sri Sultan Hamengkubuwono X mengaku resah dengan kelestarian alam di lereng Gunung Merapi.
Editor: Atri Wahyu Mukti
Berdasarkan penelitian para ahli LIPI yang dipublikasikan dalam kajian lingkungan hidup strategis dalam rangka Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Bappenas tahun 2019 itu, krisis air dan bencana kekeringan mengancam dalam waktu yang tidak terlalu lama lagi itu dipicu perubahan iklim, pertambahan penduduk hingga alih fungsi lahan.
Menurut Marrel, lereng Merapi pada dasarnya adalah daerah tangkapan air (water catchment area) yang menyangga pasokan hampir seluruh sungai di wilayah Yogyakarta.
Oleh karenanya, putra tunggal Gusti Ratu Condrokirono itu merasa berkepentingan untuk memastikan langsung adanya upaya yang dilakukan untuk pencegahan bencana kekeringan.
Sarjana jurusan hubungan internasional dan politik dari Inggris itu menyebut, pasokan air dari lereng Merapi cukup vital bagi kelangsungan hidup warga Yogyakarta.
Persoalan produksi pangan di Yogyakarta memiliki persoalan yang cukup pelik. Lahan pertanian di seluruh provinsi seluas 100 ribu hektare pada tahun 2016 dan terus berkurang akibat gerusan peruntukkan lain, pasokan air yang tidak stabil dan pertambahan penduduk menjadi benang kusut yang harus diurai.
"Selain itu, produktivitas juga tidak semua optimal karena kualitas lahan yang tidak semuanya baik," katanya.
Untuk memenuhi kebutuhan, Yogyakarta harus melakukan distribusi silang dengan memasok kebutuhan pangan ke kabupaten yang minus dari kabupaten lain yang mengalami surplus.
Langkah itu diakui Marrel tidak dapat dilakukan terus menerus karena cepatnya laju pertambahan penduduk, terutama akibat urbanisasi spasial di wilayah pinggiran Yogyakarta.
• Viral Video Detik-detik Sopir Truk Dipalak di Jembatan Penjaringan, Pelaku Terobos Jendela Kendaraan
Selain mengunjungi ATV Watugede, Marrel juga menyempatkan diri bertemu langsung dengan kelompok masyarakat di Kaliurang Timur.
Di wilayah tersebut, Marrel diajak untuk mengunjungi program rintisan pengelolaan pariwisata tanpa mengubah fungsi lahan.
Agus Kampala, pegiat kultivasi kopi di wilayah Kaliurang Timur dalam kesempatan berdialog menyampaikan, warga di lingkungan tempat tinggalnya memang berkeinginan untuk turut ambil bagian dalam kegiatan wisata.
Namun sebagai masyarakat petani dan peternak, Agus menyebut warga tidak ingin lahan mereka berubah menjadi villa, hotel dan bangunan penunjang wisata lain.
Jika harus membangun fasilitas akomodasi, warga Kaliurang Timur memilih untuk membuatnya secara semi permanen, dengan bahan yang tidak merusak fungsi kebun mereka.
Merespons hal itu, Marrel menyatakan dukungannya kepada konsep kemasan wisata tersebut.
Karena selain tidak merusak lingkungan, kemasan wisata itu juga dapat dijadikan contoh bagi masyarakat di daerah lain di Yogyakarta bagaimana cara berdampingan dengan alam dan tetap berpenghasilan.