Terkini Nasional
Ini Tuntutan ICW soal Ketua KPK Pulang Kampung Pakai Heli Mewah: Kalau Terbukti, Harusnya Mundur
Peneliti ICW Kurnia Ramadhana menilai Ketua KPK Firli Bahuri dapat dituntut mundur jika terbukti melanggar kode etik.
Penulis: Brigitta Winasis
Editor: Rekarinta Vintoko
TRIBUNWOW.COM - Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana menilai Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri dapat dituntut mundur jika terbukti melanggar kode etik.
Dilansir TribunWow.com, hal itu ia sampaikan dalam tayangan Sapa Indonesia Malam di Kompas TV, Selasa (25/8/2020).
Diketahui Dewan Pengawas (Dewas) KPK menggelar sidang etik terhadap Firli Bahuri.

• Firli Bahuri Akui Gajinya Cukup untuk Sewa Helikopter, Berapa Besaran Gaji dan Tunjangan Ketua KPK?
Sidang itu terkait perjalanan Firli dari Palembang ke Baturaja, Sumatera Selatan menggunakan helikopter mewah milik swasta pada 20 Juni 2020 lalu.
Menanggapi kasus itu, Kurnia menjelaskan sanksi yang dapat dijatuhkan atas pelanggaran Firli Bahuri.
"Ada tiga aturan dalam Aturan Dewas tahun 2020 menyebutkan jika diperiksa ada tiga sanksi ringan, sedang, dan berat," papar Kurnia Ramadhana.
Berdasarkan tindakan Firli, ia menilai pelanggaran kode etik itu dapat dikategorikan pelanggaran berat.
"Kami beranggapan tindakan dari Komjen Pol Firli Bahuri itu sebenarnya sudah memenuhi klausul pelanggaran berat," ungkap Kurnia.
Peneliti ICW itu bahkan menilai Firli Bahuri dapat diminta mundur dari jabatannya.
"Harusnya nanti keputusannya Dewan Pengawas merekomendasikan yang bersangkutan untuk mengundurkan diri sebagai ketua KPK," katanya.
• Viral Ribut dengan Wakil Ketua KPK di Pesawat, Mumtaz Justru Bersyukur: Rais yang Lain Hampir Punah
Selain itu, ia menyoroti alasan Firli Bahuri yang berdalih menggunakan dana pribadi untuk menyewa helikopter tersebut.
"Kita tetap menggunakan asas praduga tak bersalah. Tapi kalau melihat pernyataan Pak Firli yang menyatakan itu menggunakan dana pribadi," papar Kurnia.
Kurnia mengaku tidak mempermasalahkan dari mana sumber dana yang digunakan untuk menyewa helikopter itu.
Ia menilai tindakan Firli sudah melanggar kode etik yang melarang pegawai KPK menunjukkan gaya hidup mewah.
Seperti diketahui, biaya sewa helikopter dapat mencapai puluhan juta rupiah.
"Terlepas dari menggunakan dana pribadi atau ada sponsor tertentu, maka menggunakan moda transportasi mewah seperti tadi dijelaskan lebih dari Rp20 juta per jam," kata Kurnia.
"Itu sudah melanggar ketentuan integritas dalam kode etik yang secara spesifik menyebutkan setiap pegawai KPK dilarang menunjukkan gaya hedonisme atau gaya kemewahan di tengah publik," tegasnya.
Kurnia mengingatkan, para pimpinan KPK harus hidup berdasarkan asas kesederhanaan.
Lihat videonya mulai dari awal:
Firli Bahuri Jawab Isu KPK Sepi OTT
Di bawah pimpinan Firli Bahuri, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) beberapa kali dipertanyakan karena jarang melakukan operasi tangkap tangan (OTT).
Menjawab hal tersebut, Firli mengatakan intensitas OTT diketahui tinggi pada waktu-waktu tertentu berbarengan dengan acara politik berskala besar.
Selain itu, Firli menegaskan OTT bukanlah acuan kinerja dari KPK.
• Ulas Nurhadi, Refly Harun Nilai Tak Ada Beda Era Soeharto dan Jokowi: Keadilan Masih Perlu Dibeli
Dikutip dari acara Special Report iNews, Kamis (4/6/2020), awalnya Firli menjelaskan berdasarkan survei yang ia lakukan, ditemukan ada waktu-waktu tertentu sering terjadi OTT.
"Kami selalu melakukan evaluasi terkait dengan kinerja capaian KPK," kata Firli.
"Ada tahun-tahun tertentu yang OTT-nya banyak."
Ia menyebutkan pada tahun 2009, 2014, 2016, 2017, dan 2018 adalah waktu dimana OTT banyak terjadi.
"Di tahun 2018 itu tidak kurang dari 30 kali kita OTT dan melibatkan kurang lebih 29 kepala daerah," ungkap Firli.
Firli kemudian mengungkit soal acara politik besar-besaran yang terjadi pada tahun itu, yakni Pemilu.
Tidak hanya di tahun 2018, di empat tahun lainnya yang ia sebutkan, berbarengan dengan banyaknya OTT, terjadi juga pesta politik berskala besar.
"Ternyata 2018 itu ada kegiatan yang sangat tinggi, ada kegiatan politik antara lain pemilu, 2017 pilkada serentak, 2016 pilkada serentak, 2014 kegiatan politik," papar Firli.

Firli menyimpulkan seusai masing-masing dari mereka yang telah mendapatkan kekuasaan, sengaja memanfaatkannya untuk membayar biaya yang telah dikeluarkan untuk mendapat posisi tersebut.
"Artinya cost (biaya) politik itu mahal," ujar dia.
"Sehingga para pihak yang akan bertarung mungkin saja menggunakan kesempatan di agenda-agenda itu," sambungnya.
• Soroti Misteri saat Nurhadi Buron, Refly Harun: Haris Azhar Mengatakan KPK Sudah Tahu Sesungguhnya
Perwira tinggi Polri tersebut mengatakan bahwa OTT menurutnya memang penting.
Dan ia menegaskan tidak pernah berniat untuk mengurangi OTT.
"Kita tetap ada, OTT kita tidak pernah menyurutkan untuk kegiatan tangkap tangan seseorang yang melakukan tindak pidana," ujar Firli.
"Apakah ini harus surut? Tidak, seketika kita mendapat informasi bahwa ada peristiwa pidana korupsi, pasti kita akan melakukan penindakan," terang dia.
Namun di samping OTT, Firli kembali mengingatkan bahwa pemberantasan korupsi bukan hanya berupa OTT saja.
"Berikutnya saya tidak ingin mengatakan bahwa OTT itu tidak penting."
"Penting, karena tertangkap tangannya seseorang itu merupakan prestasi kedeputian, khususnya penindakan."
Firli memaparkan ada banyak aksi lain seperti edukasi masyarakat dan pencegahan yang dilakukan untuk memberantas korupsi.
"Konsepnya pemberantasan korupsi itu tidak hanya sekadar penindakan," ujar dia.
"Pemberantasan korupsi adalah serangkaian penindakan."
"Kalau kita ingin memberantas korupsi, tidak hanya cukup melaksanakan kegiatan OTT tadi," tandasnya. (TribunWow.com/Brigitta/Anung)