Terkini Internasional
Cerita Ibu Bertemu dengan Anaknya yang Diculik 32 Tahun Lalu: Rasanya Kami Tidak Bisa Dipisahkan
Seorang ibu bernama Li Jingzhi menceritakan kisahnya selama 30 tahun dalam mencari sang anak, Mao Yin, yang diculik pada 1988.
Editor: Rekarinta Vintoko
"Pada saat itu, komunikasi belum begitu canggih," kata Jingzhi. "Jadi yang saya peroleh hanya sebuah telegram terdiri dari enam kata: 'Darurat di rumah; tolong segera kembali.' Saya tidak tahu apa yang terjadi. "
Lantas dia bergegas kembali ke kota Xi'an, atasannya memberitahu kabar yang membuatnya hancur.
"Atasan saya hanya bicara satu kalimat: 'Putramu hilang," ujar Jingzhi. "Seketika pikiran saya menjadi kosong. Saya kira mungkin dia tersesat. Saya tidak terpikir bahwa saya tidak akan dapat menemukannya."
• Raffi Ahmad Ungkap Peran Rafathar yang Buat Dirinya Sadar, Sule: Gimana Caranya Pertahankan Keluarga
Saat itu Oktober 1988, dan Jia Jia berusia dua tahun delapan bulan.
Suami Jingzhi menjelaskan dalam perjalanan pulang setelah menjemput Jia Jia dari penitipan anak, dia mampir ke sebuah hotel karena anaknya meminta minum. Ketika sang ayah sedang mendinginkan air panas, dia mengalihkan pandangan sebentar, dan bocah itu raib.
Jingzhi mengira Jia Jia akan segera ditemukan.
"Saya pikir mungkin anak saya tersesat dan tidak dapat menemukan jalan pulang dan orang-orang yang baik hati akan menemukannya dan membawanya kembali kepada saya," katanya.
Namun seminggu sudah berlalu, tak ada seorang pun yang membawanya ke kantor polisi, dia tahu situasinya mulai serius.
Dia mulai bertanya kepada orang-orang apakah ada yang melihat Jia Jia di sekitar hotel. Dia mencetak 100.000 selebaran dengan foto anaknya dan membagikannya di sekitar stasiun kereta api dan bus di kota Xi'an, lalu mengiklankan orang hilang di koran-koran setempat. Semuanya tidak berhasil.
"Saya terluka, saya ingin menangis. Saya ingin berteriak," kata Jingzhi. "Saya merasa seolah-olah hati saya sudah hampa."
Dia menangis kalau melihat baju-baju, sepatu-sepatu mungil dan mainan putranya yang hilang.
Saat itu, Jingzhi tidak menyadari bahwa perdagangan anak menjadi suatu masalah di China.
Kebijakan satu anak diterapkan pada tahun 1979 dalam rangka mengendalikan jumlah penduduk China yang berkembang pesat dan mengentaskan kemiskinan. Pasangan suami istri yang tinggal di kota hanya diperbolehkan memiliki satu anak, sedangkan di pedesaan bisa punya anak kedua jika yang pertama perempuan.
Bagi para pasangan suami istri yang menginginkan seorang anak laki-laki untuk meneruskan nama keluarga dan merawat mereka hingga dewasa tidak bisa memperlakukan mereka sebagai anak-anak; mereka akan dikenai denda yang cukup besar dan anak-anak mereka yang lain tidak akan mendapat manfaat sosial.
Kebijakan tersebut diyakini berkontribusi terhadap peningkatan jumlah penculikan anak, terutama terhadap anak laki-laki. Tapi Jingzhi tidak tahu apa-apa tentang hal ini.