Terkini Daerah
Gibran Maju Pilkada, Pengamat Nilai Kini Jokowi Tak Ada Bedanya dengan Elit Politik: Saya Kecewa
Pengamat politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Adi Prayitno, angkat bicara tentang majunya Gibran dalam Pilkada Solo 2020.
Penulis: Brigitta Winasis
Editor: Claudia Noventa
TRIBUNWOW.COM - Pengamat politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Adi Prayitno, angkat bicara tentang majunya Gibran Rakabuming Raka dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Kota Solo 2020.
Dilansir TribunWow.com, hal itu ia sampaikan dalam tayangan Apa Kabar Indonesia Malam di TvOne, Senin (20/7/2020).
Diketahui sebelumnya, putra sulung Presiden Joko Widodo (Jokowi) tersebut diajukan berpasangan dengan Teguh Prakosa.
• Mayoritas Partai di Solo Dukung Gibran, Refly Harun Singgung Insentif Politik: Kalau Pilpres Jelas
Gibran yang sebelumnya menyatakan enggan terjun dalam dunia politik kini setuju untuk diajukan sebagai bakal Calon Wali Kota Solo, Jawa Tengah.
Setelah Gibran setuju untuk maju dalam pilkada, isu dinasti politik mencuat.
Awalnya Adi Prayitno menyinggung Jokowi memiliki portofolio yang berbeda dengan tokoh-tokoh lain, yakni dengan tidak menyertakan keluarga intinya dalam urusan politik.
"Jokowi beberapa kali ngomong itu, Gibran pun juga menyatakan tidak tertarik ke politik bahkan sempat mengutuk politik dinasti," papar Adi Prayitno.
Ia menganggap majunya Gibran dalam Pilkada Solo mendatang menjadi titik kekecewaan terhadap Jokowi.
"Ini yang membuat kita sebagai aktivis, panelis, dan dosen melihat kok begitu banyak elit yang begitu tergoda dengan kekuasaan politik?" tanya Adi.
Adi menilai, masyarakat menganggap Jokowi akan menjadi sosok yang berbeda dibandingkan tokoh-tokoh politisi lainnya.
Meskipun begitu, fakta sebaliknya terjadi saat Gibran memutuskan terjun dalam politik.
"Padahal dulu kita berharap banyak, Pak Jokowi sebagai presiden yang dianggap merepresentasikan wong cilik, dianggap merepresentasikan publik secara umum, menjadi presiden yang berbeda dengan lainnya," paparnya.
"Nyatanya dengan mengajak Gibran dalam politik, itu enggak ada bedanya dengan lainnya. Satu legacy yang menurut saya tidak bisa kita nilai saat ini," lanjut Adi.
• Kemungkinan Achmad Purnomo Bisa Jadi Pesaing Gibran di Pilkada Solo melalui PKS atau Demokrat
• Effendi Gazali Sebut PKS Terkecoh setelah Rekomendasi PDIP Jatuh ke Gibran di Pilkada Solo 2020
Adi mengaku kecewa dengan keputusan Jokowi dan Gibran tersebut.
Ia menyebutkan pernyataan itu sudah disampaikan beberapa kali.
"Beberapa statement saya di berbagai media, saya selalu mengatakan saya cukup kecewa dengan ini," tegasnya.
Meskipun kecewa, Adi menjelaskan keputusan itu sudah menjadi hak Jokowi dan Gibran.
Seperti diketahui, Jokowi mengawali karier politiknya sebagai Wali Kota Solo pada 2005.
"Tapi demokrasi itu adalah pilihan. Pak Jokowi juga berhak mengajukan Mas Gibran sebagai suksesor yang akan melanjutkan estafet kepemimpinannya di Solo," komentar Adi.
"Tapi saya sebagai rakyat, sebagai publik, berhak untuk marah dan kecewa karena apa yang terjadi pada Mas Gibran semakin memperpanjang rentetan praktek politik dinasti di Indonesia," tandasnya.
Lihat videonya mulai menit ke-03.50:
Refly Harun: Siapapun yang Lawan Klan Jokowi akan Kalah
Pakar hukum tata negara Refly Harun menyoroti majunya putra Presiden Joko Widodo (Jokowi) Gibran Rakabuming Raka dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada) Kota Solo 2020.
Dilansir TribunWow.com, hal itu ia sampaikan dalam kanal YouTube Refly Harun, diunggah Selasa (21/7/2020).
• Pesan Ganjar Pranowo untuk Gibran Rakabuming: Soliditas Partai Paling Nomor Satu, Dikumpulkan Lagi
Pasangan Gibran-Teguh Prakosa berpotensi menjadi calon tunggal di Kota Solo karena satu-satunya oposisi, PKS, tidak cukup memiliki kursi di DPRD untuk mengusung calon.
Menanggapi hal itu, Refly menyoroti kemungkinan Gibran bersaing melawan 'kotak kosong'.
Ia menilai kini sulit bagi PKS untuk mengajukan calon wali kota.
"Kalau semua partai mendukung Gibran, PKS ya mendukung GIbran juga. Kalau pengertian suara umat adalah suara rakyat, maka semuanya mencalonkan Gibran," komentar Refly Harun.
Ia menyebutnya sebagai paradoks kontes pemilihan umum di Indonesia.
"Bagaimana mungkin ada pemilihan langsung tapi calonnya cuma satu?" tanya Refly.
Refly kemudian menyamakan kondisi tersebut dengan pemilihan umum selama masa pemerintahan Soeharto.
Seperti diketahui, selama bertahun-tahun Soeharto terpilih sebagai calon tunggal dalam Sidang Umum MPR.
"Seperti pemilihan Presiden Soeharto di setiap Sidang Umum MPR saja. Mulai MPR tahun 1973, 1978, 1988, kemudian 1993, 1998, akhirnya mengundurkan diri selalu dengan mekanisme calon tunggal," katanya.
• TOP 5 BERITA POPULER: Kronologi Penemuan Bocah di Tandon Air hingga Refly Harun Tanggapi Gibran
"Bahkan ketika menggantikan Presiden Soekarno tahun 1967 dalam Sidang Istimewa, juga calon tunggal," lanjut Refly.
Ia menilai fenomena itu terjadi karena citra Jokowi di mata masyarakat Solo masih tinggi.
Menurut Refly, masyarakat Solo menilai Jokowi adalah mantan wali kota yang berhasil.
Efek tersebut menimbulkan dampak positif terhadap elektabilitas Gibran sebagai putra sulung Jokowi.
Selain itu, dampaknya adalah calon kepala daerah lainnya enggan melawan sosok yang erat berkaitan dengan Jokowi.
"Saya sudah menduga siapa pun yang akan melawan klan Jokowi di Solo, pasti akan kalah," ungkap Refly.
Refly menyinggung faktor lain, yakni Kota Solo menjadi lumbung suara PDIP.
"Karena faktor Jokowi, tadi dibilang Jokowi effect, dan faktor PDIP, di situ disebut 'kandang banteng'," paparnya. (TribunWow.com/Brigitta Winasis)
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/wow/foto/bank/originals/jokowi-dan-gibran.jpg)