Terkini Nasional
BIN di Bawah Presiden Tak Hanya soal Hukum, Refly Harun Singgung Sisi Politik: Sosok yang Pimpin
Pakar hukum tata negara Refly Harun membahas Badan Intelijen Negara (BIN) yang dialihkan di bawah presiden.
Penulis: Brigitta Winasis
Editor: Tiffany Marantika Dewi
TRIBUNWOW.COM - Pakar hukum tata negara Refly Harun membahas Badan Intelijen Negara (BIN) yang dialihkan di bawah presiden.
Dilansir TribunWow.com, hal itu ia sampaikan dalam kanal YouTube Refly Harun, diunggah Senin (20/7/2020).
Sebelumnya BIN berada di bawah koordinasi Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenko Polhukam).

• BIN Tak Lagi di Bawah Kemenko Polhukam, Mahfud MD Beri Alasan: Lebih Langsung Dibutuhkan Presiden
Melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 73 Tahun 2020, BIN kini dialihkan menjadi kewenangan presiden.
Awalnya Refly menjelaskan alasan Presiden Joko Widodo (Jokowi) memindahkan koordinasi BIN.
"Produk regulasi ini di bawah kontrol presiden dan memang BIN adalah bagian dari eksekutif, tentu presiden punya hak prerogatif untuk mengatur tata letaknya di mana," papar Refly Harun.
"Mau ditaruh di bawah koordinasi Kemenko Polhukam atau langsung di bawah presiden, terserah presiden," lanjutnya.
Ia menilai tidak ada masalah tentang perspektif hukum terkait perpindahan tersebut.
Meskipun begitu, ada perspektif di luar hukum yang perlu dipertimbangkan.
"Yang menarik tentu perspektif nonhukum. Perspektif politik, perspektif sosial, dan lain sebagainya," kata Refly.
Menurut Refly, ada tiga pertimbangan Jokowi memutuskan untuk memindahkan koordinasi BIN.
"Jadi saya mengatakan bahwa ada tiga kriteria yang bisa menjelaskan persoalan ini, mengapa Presiden Jokowi menarik BIN langsung ke bawah presiden," jelasnya.
Ia menilai keputusan itu berkaitan dengan sosok-sosok pemimpin dalam BIN.
"Pertama adalah profesionalisme BIN itu sendiri, yang kedua adalah sosok yang memimpin BIN," kata Refly.
"Yang ketiga adalah relasi-relasi kekuasaan yang dibangun oleh Kepala BIN," lanjutnya.
Namun Refly menambahkan, BIN belum dapat dikatakan sebagai badan intelijen yang disegani.
"Seperti CIA, Mossad dari Israel. Kita tidak tahu apakah badan intelijen kita cukup tangguh atau tidak," ungkit Refly Harun.
• Refly Harun Sebut Pilkada Solo 2020 Mudah: Di Atas Kertas Presiden Jokowi dan Klannya akan Menang
Sebelumnya keputusan itu diumumkan Menko Polhukam Mahfud MD melalui cuitan Twitter resminya.
Ia menjelaskan presiden lebih membutuhkan BIN.
"BIN langsung berada di bawah Presiden karena produk intelijen negara lebih langsung dibutuhkan oleh Presiden," cuit Mahfud MD, Sabtu (18/7/2020).
Meskipun begitu, Kemenko Polhukam masih mengepalai sejumlah kementerian dan instansi.
Badan negara tersebut meliputi Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Kementerian Luar Negeri (Kemenlu), Kementerian Pertahanan (Kemenhan), Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham), dan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo).
Kemudian Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPANRB), Kejaksaan Agung, Tentara Nasional Indonesia (TNI), Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), dan instansi lain yang dianggap perlu.
Lihat videonya mulai menit 6:30
Bahas Presidential Treshold
Pakar Hukum Tata Negara, Refly Harun tegas meminta supaya aturan Presidential Threshold bisa dihilangkan untuk gelaran Pilpres ke depannya.
Hal ini disampaikan saat menjadi narasumber dalam acara Dua Sisi 'tvOne', Kamis (9/7/2020).
Dilansir TribunWow.com, Refly Harun menilai adanya aturan Presidential Threshold justru membebankan kepada para calon presiden yang ingin mencalonkan diri.
• Sebut Harus Hormati Mahkamah Agung, Eggi Sudjana: Kalau MA Terlalu Lambat, KPU Kecepetan Banget
Seperti yang diketahui, para calon presiden harus bisa memenuhi syarat ambang batas yang sudah ditentukan, yakni setidaknya mempunyai 25% kursi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) atau mendapatkan 20% suara sah nasional dalam Pemilu Legislatif.
Akibatnya sudah dua kali perhelatan Pilpres hanya diikuti oleh dua pasangan calon, yakni pada tahun 2014 dan 2019.
Sedangkan ketika hanya ada dua pasangan calon yang maju, maka pasangan terpilih harus memenuhi syarat dari persebaran suara.
Yakni setidaknya memenangi suara di setengah jumlah provinsi di Indonesia, termasuk juga mendapatkan minimal 20 persen suara di seluruh provinsi.

Kondisi seperti itulah yang justru menimbulkan polemik seperti yang terjadi saat ini.
Menurutnya, dengan dihapusnya Presidential Threshold maka bisa akan lebih banyak calon presiden yang mencalonkan diri.
Dan tentunya akan memberikan persaingan yang lebih kompetitif dan sehat.
"Ke depan menurut saya, kita harus menghilangkan Presidential Threshold," ujar Refly Harun.
"Masalah ini karena ada Presidential Threshold," imbuhnya.
• Refly Harun Sebut Mahkamah Agung Lalai, Ungkap Fungsi Penting Putusan MA jika Keluarnya Lebih Cepat
Selain itu, Refly Harun meminta adanya perbaikan dalam sistem pemilu yang mengarah kepada keadilan, sehingga hasil dari Pemilu tersebut bisa dengan mudah diterima oleh masyarakat.
Termasuk untuk mencegah adanya kecurangan dalam bentuk apapun, tidak hanya di tingkat Pilpres.
"Yang kedua, kita harus membuat sebuah sistem pemilu, sistem keadilan pemilu yang bisa mencegah orang yang curang, siapapun dia. Entah itu legislator, entah itu calon presiden," kata Refly Harun.
"Sistem pemilu kita harus bisa mendeteksi itu dan menegakkan hukum yang secara tegak dan jelas," pungkasnya. (TribunWow.com/Brigitta Winasis/Elfan)