Terkini Daerah
Sosok Hendrika Mayora, Transpuan Pertama yang Jadi Pejabat Publik di Indonesia, Berasal dari NTT
Hendrika Mayora Victoria, atau akrab disapa Bunda Mayora, Maret lalu terpilih menjadi Ketua Badan Permusyawaratan Desa (BPD) di Desa Habi, NTT.
Editor: Atri Wahyu Mukti
“Untuk menjadi kain ada macam-macam benang. Ada merah, kuning, hitam. Ditenun lama dan kemudian jadi sarung yang bagus. Begitu juga manusia ini ada laki-laki, perempuan, gay, lesbian, waria dan lain-lain."
"Tuhan kasih kita saling melengkapi. Perbedaan bukan membuat kita bermusuhan, tapi justru saling memperkuat,” tambahnya.
• Baru 2 Tahun Menikah, Laudya Cynthia Bella Ungkap Sudah Cerai dari Engku Emran: Mohon Support-nya
Menang Pemilihan, Dorong Pengambilan Keputusan
Hendrika Mayora Victoria akhirnya sampai di titik bahwa perjuangannya akan lebih baik jika ia berada di dalam sistem kepemimpinan daerah.
Didukung teman-teman sesama transpuan dan masyarakat di mana ia tinggal, terutama kaum ibu, Maret lalu ia memberanikan diri ikut bertarung dalam pemilihan Badan Permusyawaratan Desa (BPD).
Butuh waktu satu minggu bagi Bunda Mayora untuk mempersiapkan diri mengikuti pemilihan.
“Di luar dugaan banyak sekali ibu-ibu, juga tokoh-tokoh di RT dan lainnya yang melihat kemampuan saya, meskipun saya baru 1,5 tahun ada di Maumere, ikut mendukung. Tidak disangka, puji Tuhan, saya menang!” ujar Bunda Mayora.
Meski kalah, enam calon lain yang semuanya laki-laki menyatakan mendukung langkahnya.
Aktivis Aliansi Nasional Untuk Bhinneka Tunggal Ika, Nia Syarifudin, memuji pencapaian itu.
“Memberikan apresiasi pada proses luar biasa yang terjadi ini, baik itu pada Bunda Mayora, maupun masyarakat di mana beliau tinggal yang sudah mampu mengelola perbedaan sampi level politik lokal,” ujar Nia.
Dia menambahkan keberadaan kelompok minoritas yang menduduki jabatan publik membuka harapan dan perspektif berbeda pula.”
Hal senada disampaikan Lini Zurlia di ASEAN SOGIE Caucus, yang kerap memperjuangkan hak asasi bagi kelompok minoritas seksual dan gender.
Lini mengatakan kelompok minoritas yang menduduki jabatan publik cenderung memiliki sensivitas yang lebih tinggi atas kebijakan yang diambil, dibandingkan dengan mereka yang berasal dari kelompok mayoritas.
“Ia akan berpikir berkali lipat untuk mengambil sebuah kebijakan, apakah ada dampak yang diambil atau tidak; meskipun kebijakan ini hanya untuk tingkat desa.Sensitivitas ini menjadi modal utama,” katanya.
Ditambahkannya, transpuan yang menjadi pejabat publik juga menjadi simbol adanya solidaritas yang sangat tinggi antar orang-orang atau masyarakat yang ada di sekitarnya.
Bunda Mayora mengakui masih banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukannya, khususnya bagi kelompok minoritas yang selama ini masih hidup dalam stigma dan diskriminasi. [em/ft]
Artikel ini telah tayang di VOA Indonesia dengan judul "Hendrika Mayora, Transpuan Pertama Jadi Pejabat Publik di Indonesia"