Terkini Daerah
Sosok Hendrika Mayora, Transpuan Pertama yang Jadi Pejabat Publik di Indonesia, Berasal dari NTT
Hendrika Mayora Victoria, atau akrab disapa Bunda Mayora, Maret lalu terpilih menjadi Ketua Badan Permusyawaratan Desa (BPD) di Desa Habi, NTT.
Editor: Atri Wahyu Mukti
Maumere Jadi Tempat Latihan Mental
Maumere, yang merupakan ibu kota kabupaten Sikka di Nusa Tenggara Timur, adalah kota terkecil di dunia yang pernah pernah didatangi Paus Yohanes Paulus II pada 1989. Kota berpenduduk 50.000 jiwa ini mayoritas beragama Katolik.
Latar belakang agama itu lah yang mendorong Bunda Mayora untuk memilih kota itu.
“Saya memilih Maumere karena ingin menantang diri saya sendiri. Maumere dikenal sebagai Vatikan kedua karena mayoritas warganya Katolik dan secara teologi pastinya bakal keras sama saya,” tuturnya.
Seperti yang sudah diperkirakan, Bunda Mayora menghadapi berbagai penolakan. Apalagi, para kerabat dan teman mengetahui Bunda Mayora pernah mengikuti pendidikan pastoral.
“Mereka mengatakan ‘Kamu aneh. Dulunya laki-laki kok sekarang jadi perempuan. Yang dulunya berjubah, kok kini bergaun’,” katanya.
Namun Bunda Mayora dengan sabar berusaha menjelaskan dan memberi pengertian bahwa soal laki-laki atau perempuan itu hanya konstruksi gender.
Dia juga gigih menunjukkan jati dirinya, misalnya dengan datang ke gereja dengan berdandan layaknya seorang perempuan. Meski berkali-kali ditolak masuk ke gereja, Bunda Mayora bergeming.
“Sama seperti ketika orang menilai waria itu nakal, pekerja seks, bodoh, tidak bisa apa-apa. Itu tidak benar. Saya teguh pada komitmen saya. Saya bantu masyarakat sekitar. Saya tetap tunjukkan identitas transpuan saya,” kata Bunda Mayora.
Tanpa kenal menyerah Bunda Mayora mengerjakan apa saja yang dapat dilakukannya bagi masyarakat.
Mulai dari menjadi pembawa acara perkawinan atau hajatan keluarga, mengadakan kegiatan kesenian dan pembinaan keimanan anak di gereja, menjadi ketua kelompok kerja yang membawahi pengajaran Pancasila, pola asuh keluarga, hingga memberi penyuluhan ketika ada wabah penyakit.
Kerja kerasnya membuahkan hasil. Orang-orang yang dulunya terpengaruh stigma tentang transpuan, perlahan mulai mau menjalin pertemanan dengan Bunda Mayora.
“Ada yang datang ke saya dan bilang 'Bunda dulu kami takut sekali lihat waria!' Saya tanya kenapa. Mereka bilang waria itu suka pegang-pegang, bahaya, tapi Bunda tidak seperti itu,” kisahnya.
Dari situ, Bunda Mayora mulai memberi pendidikan tentang seksualitas, gender, orientasi, ekspresi dan identitas.
Dia mengibaratkan seksualitas seperti benang-benang yang ditenun menjadi sehelai sarung tenun ikat.