Kasus Novel Baswedan
Haris Azhar Sayangkan Tuntutan 1 Tahun terhadap Penyerang Novel Baswedan: Pengadilan Memang Rekayasa
Haris Azhar menyoroti tuntutan 1 tahun penjara terhadap dua pelaku yang menyiram Novel Baswedan menggunakan air keras.
Penulis: anung aulia malik
Editor: Rekarinta Vintoko
TRIBUNWOW.COM - Jaksa Penuntut Umum (JPU) telah menuntut hukuman 1 tahun penjara untuk 2 pelaku penyiraman air keras terhadap Penyidik Senior KPK Novel Baswedan.
Tuntutan yang dijatuhkan pada Kamis (11/6/2020) lalu itu langsung menuai protes dari berbagai pihak karena dianggap terlalu ringan.
Aktivis HAM Haris Azhar menilai tuntutan tersebut menggambarkan bagaimana proses pengadilan terhadap penyerang Novel hanya berupa formalitas.

• Sebut Bintang Emon Tak Langgar UU ITE soal Novel Baswedan, Pakar Komunikasi: Hanya Masalah Sosial
Dikutip dari acara Apa Kabar Indonesia Pagi di TvOne, Rabu (17/6/2020), awalnya Haris menyayangkan jaksa yang memberikan tuntutan satu tahun terhadap penyerang Novel.
"Buat saya tuntutan itu melecehkan bangsa ini, melecehkan sejarah dan masa depan bangsa ini," kata dia.
Haris merasa heran mengapa jaksa bisa mengeluarkan tuntutan hanya selama 1 tahun terhadap 2 penyerang Novel.
"Kok ada orang dibiayain sama negara, jaksa itu kan dibiayai negara," kata dia.
"Itu (jaksa) bikin tuntutan untuk kasus seperti ini satu tahun," sambungnya.
Menurutnya tuntutan yang diberikan oleh jaksa kepada penyerang Novel mencerminkan bagaimana persidangan kasus Novel tidak dianggap serius.
"Tapi tuntutan satu tahun itu sebenarnya merepresentasikan soal bahwa pengadilan ini memang rekayasa," terang dia.
Haris menduga pengadilan yang terjadi hanya sebuah formalitas dalam memastikan bahwa kasus penyerangan terhadap Novel sudah berakhir.
"Jadi pengadilan ini memang diciptakan hanya untuk menggugurkan kewajiban pemerintah, pemerintah dalam artian yang luas bahwa sudah menyelesaikan kasus penyerangan terhadap Novel Baswedan," paparnya.
Ia mengatakan pada proses persidangan Novel banyak terjadi kejanggalan.
Kejanggalan tersebut di antaranya adalah fakta-fakta di lapangan yang tidak dihadirkan dalam proses persidangan.
"Ada banyak persoalan misalnya fakta-fakta yang sebenarnya terjadi itu tidak dibawa ke pra persidangan atau ke persidangan," ungkap Haris.