Virus Corona
Kritik New Normal Terlalu Cepat, Pengamat Trubus Sebut PSBB Jadi Rancu: Tidak Bisa 'Ujug-ujug'
Pengamat Kebijakan Publik Trubus Rahardiansyah menilai kebijakan new normal terlalu cepat diluncurkan.
Penulis: Brigitta Winasis
Editor: Maria Novena Cahyaning Tyas
TRIBUNWOW.COM - Pengamat Kebijakan Publik Trubus Rahardiansyah menilai kebijakan new normal terlalu cepat diluncurkan.
Menurut Trubus, seharusnya ada edukasi menyeluruh untuk membentuk perilaku masyarakat dalam melakukan protokol kesehatan.
Seperti diketahui, new normal disebut sebagai cara hidup baru setelah adanya pandemi Virus Corona (Covid-19).

• Bantah Pemerintah Pusat, Walkot Malang Sutiaji Kritik Makna New Normal: Saya Pakai Standar WHO
Dilansir TribunWow.com, hal itu disampaikan Trubus dalam acara Dua Arah di Kompas TV, Senin (8/6/2020).
Awalnya, ia mengomentari perbedaan pengertian pembatasan sosial berskala besar (PSBB) antara pemerintah pusat dengan daerah.
"Justru ada kendalanya di situ," kata Trubus Rahardiansyah.
Ia juga menyoroti kriteria standar new normal yang ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization atau WHO).
Sebelumnya hal tersebut disinggung Wali Kota Malang Sutiaji saat membahas penerapan PSBB di wilayahnya.
Trubus menilai masyarakat tidak bisa langsung bersikap disiplin sesuai standar yang ditentukan, tetapi harus melalui proses.
"Bagaimana juga orang bisa langsung berperilaku sebagaimana yang diharapkan dalam konteks WHO?" tanya Trubus.
"Perilaku masyarakat itu 'kan tidak bisa ujug-ujug. Ada tahapan di mana kemudian masyarakat punya pemahaman yang utuh," tambahnya.
Trubus kemudian mengomentari penerapan PSBB yang diserahkan kepada wewenang kepala daerah masing-masing.
Ia menyebutkan hal itu menimbulkan hasil dalam tiap penerapan PSBB menjadi berbeda.
Menurut Trubus, seharusnya PSBB diseragamkan agar tidak menjadi rancu.
• Tak Mau Buru-buru Terapkan New Normal, Ganjar Ungkap Kewajiban Baru Warga: Jangan Salah Persepsi
"Tentunya jadi berbeda kalau memang kebijakannya berbeda," komentar Trubus.
"Kalau misalnya kita lihat daerah yang menerapkan PSBB dengan daerah yang tidak menerapkan PSBB dikatakan sama, otomatis nanti cara berpikirnya jadi rancu," lanjutnya.
Ia menyinggung daerah yang masih masuk zona merah tetapi sudah mulai melonggarkan PSBB.
"Menurut saya yang menerapkan PSBB ini karena daerah merahnya masih banyak," ungkap Trubus.
"Jadi kalau PDP dan ODP-nya masih tinggi seperti DKI Jakarta, ada 66 RW yang masih tinggi sekali, tidak mungkin kita langsung menerapkan kebebasan sebebas-bebasnya," lanjutnya.
Trubus menekankan penting untuk mengedukasi masyarakat terlebih dulu sebelum benar-benar menerapkan new normal.
"Masyarakat 'kan harus diedukasi dan dibimbing dulu," ungkap Trubus.
"Menurut saya membentuk perilaku itu tidak bisa ujug-ujug perilaku yang sudah menjadi budaya. Ada proses dulu, sosialisasi dulu," jelasnya.
• Peneliti UGM Minta Pemerintah Tak Buru-buru Terapkan New Normal di Bulan Juli: Belum Ada Penurunan
Lihat videonya mulai menit 26:00
Tanggapan Pakar Epidemiologi soal Jakarta Jelang New Normal
Pakar Epidemiologi Universitas Indonesia (UI) Tri Yunis Miko Wahyono memperingatkan situasi wabah Virus Corona di DKI Jakarta yang dapat kembali memburuk.
Dilansir TribunWow.com, hal itu ia sampaikan dalam tayangan iNews, Jumat (5/6/2020).
Seperti diketahui, DKI Jakarta mulai melonggarkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang sebelumnya telah dilakukan dalam tiga fase.
• PSBB Jakarta Dilonggarkan, Pakar Epidemiologi Ungkap Ketakutan: Enggak Peduli yang Penting Makan
Fase PSBB tambahan kali ini disebut sebagai masa transisi sebelum beranjak ke new normal.
Menanggapi hal tersebut, Tri Yunis mengungkapkan kriteria suatu wilayah dianggap cukup aman untuk melonggarkan pembatasan kegiatan.
"Aman itu bisa ditentukan dengan dibiarkan turun menerus kemudian kasus barunya akan relatif stabil dalam satu minggu," papar Tri Yunis Miko Wahyono.
Ia memberi contoh apabila jumlah kasus relatif stabil maka sudah cukup dianggap aman.
"Misalnya 20-30 terus, kemudian dia akan mencari batas aman sendiri," jelas Tri.
"Stabil itu artinya aman, bisa dipertahankan oleh DKI Jakarta," tambahnya.
Tri menjelaskan indikator DKI Jakarta sudah dapat dianggap aman untuk beranjak ke new normal.
Ia memaparkan dengan kondisi saat ini pertumbuhan kasus masih mungkin terjadi.
Tri menambahkan pertimbangan adanya pasien dalam pengawasan (PDP) dan orang dalam pemantauan (ODP) yang berpotensi menjadi positif.

• Jakarta Berlakukan PSBB Transisi, Ini yang Boleh dan Tidak Boleh Dilakukan Warga DKI
"Saya rasa kalau 60 (kasus) sehari, bayangkan kalau seminggu akan ada 400-an," ungkap Tri.
"Kalau 400-an itu bisa diamankan Pemda DKI atau diisolasi dengan baik, bayangkan kalau 400 kasusnya, itu akan ada sekitar PDP 800 dan ODP 800," lanjutnya.
Dari jumlah tersebut, Tri menyebutkan ada 1.600 orang yang harus diawasi.
Jumlah tersebut merupakan angka aktif yang masih dapat terus tumbuh.
Tri membenarkan kasus dapat kembali melonjak jika masyarakat tidak disiplin dan masa transisi dapat dianggap gagal.
"Kalau sekarang rasanya tidak tertangani. Bayangkan sekarang 400 seminggu, kalau ada lonjakan berapa kasus yang akan terjadi," jelas Tri.
"Belum lagi ODP dan PDP yang akan jadi kasus. Bayangkan saja dalam seminggu akan ada ledakan 1.000 kasus, begitu," lanjutnya.
Maka dari itu, ia memperingatkan pemerintah tidak gegabah menyiapkan new normal.
Menurut Tri, indikator jumlah kasus harus dilihat terlebih dulu sebelum menentukan kebijakan tersebut.
"Kita harus hati-hati mempersiapkan new normal dengan baik. Ambil batas aman yang benar-benar aman bila Covid ini sudah stabil dalam seminggu paling tidak," tegasnya. (TribunWow.com/Brigitta Winasis)