Terkini Nasional
Diskusi 'Pemecatan Presiden' Dapat Ancaman, Refly Harun: Kalau Tak Boleh Bicara Buang Saja Pasal 7A
Pakar Hukum Tata Negara, Refly Harun memberikan tanggapan terkait ada ancaman atas dilaksanakannya diskusi atau seminar bertajuk 'Pemecatan Presiden'.
Penulis: Elfan Fajar Nugroho
Editor: Ananda Putri Octaviani
TRIBUNWOW.COM - Pakar Hukum Tata Negara, Refly Harun memberikan tanggapan terkait adanya ancaman atas diskusi atau seminar bertajuk 'Pemecatan Presiden'.
Dikabarkan sebelumnya, seminar mahasiswa UGM terpaksa batal digelar lantaran mendapatkan ancaman, baik kepada narasumber maupun panitia acara.
Dilansir TribunWow.com, Refly Harun meminta pemerintah untuk membedakan antara wacana dan gerakan.

• Refly Harun Sebut Tak Mudah Jatuhkan Jokowi dengan Alasan Corona, Singgung Era Soekarno dan Gus Dur
Menurutnya, untuk seminar tersebut hanya sebatas wacana, terlebih dilakukan dalam lingkup pendidikan.
Hal ini disampaikannya dalam kanal Youtube pribadinya Refly Harun, Selasa (2/6/2020).
"Kita harus membedakan antara wacana dan gerakan," ujar Refly Harun.
"Jadi Orang kadang-kadang menjustmen sesuatu padahal sesuatu itu hanya wacana dan wacana itu bahkan wacana akademik," jelasnya.
Refly Harun menyoroti sikap yang dilakukan oleh pengancam tersebut yang kemungkinan adalah dari buzzer pemerintah.
Refly Harun mengatakan wacana atau pembicaraan mengenai pemberhentian presiden bukan hal yang dilarang di negara demokrasi, khususnya Indonesia.
Bahkan menurutnya, hal itu sudah diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 7A.
Pasal tersebut mengatur syarat-syarat untuk memberhentikan kepala pemerintahan atau presiden.
• Tak Ingin Ada Lagi Presiden yang Diberhentikan, Refly Harun: Kecuali Memenuhi Syarat Impeachment
Maka dari itu, Refly Harun menyebut wajar adanya pembicaraan yang mengarah ke pemakzulan atau impeachment presiden.
Maka dari itu, jika membicarakan hal tersebut dilarang, Refly Harun meminta supaya pasal tersebut dihapuskan.
"Kalau kita tidak boleh membicarakan tentang pemakzulan atau impeachment ya buang saja ayat-ayat konstitusi itu pasal 7A yang mengatakan proses pemberhentian presiden yang mengatakan syarat-syarat untuk memberhentikan syarat presiden," jelasnya.
"Karena ada pasal implecmen tersebut, article of impeachment di UUD 1945 maka sah saja kalau kita kemudian mewacanakan mendiskusikan hal-hal yang berkaitan dengan impeachment atau pemberhentian presiden dan wakil presiden," sambungnya.
"Karena itu adalah ayat-ayat konstitusi."
Sekali lagi, Refly Harun meminta supaya pemerintah bisa membedakan mana yang dimaksud wacana dengan gerakan.
Ketika sudah masuk sebagai gerakan, maka permasalahnnya memang sudah berbeda.
"Tetapi kita harus bedakan dengan gerakan, kalau gerakan lain lagi masalahnya," pungkasnya.
• Tinjau Masjid Istiqlal Jelang New Normal, Jokowi Sebut akan Dibuka Juli: Siapkan Protokol Kesehatan
Simak videonya menit ke- 23.49
Tak Ingin Ada Lagi Presiden yang Diberhentikan
Pakar Hukum Tata Negara mengaku tidak ingin ada presiden yang kembali harus berhenti di tengah jalan.
Dilansir TribunWow.com, Refly Harun juga tidak ingin Indonesia kembali mengalami masa kelam seperti pada pemerintahan Orde Baru.
Seperti yang diketahui, belakangan ini ramai pembahasan diskusi 'Pemecatan Presiden' di tengah pandemi Virus Corona.
Refly Harun juga menjadi salah seorang narasumber dalam diskusi atau seminar tersebut.
Dalam tayangan Youtube Refly Harun, Selasa (2/6/2020), dirinya menggungkapkan kesimpulan hasil diskusinya.
Ia mengatakan kesimpulannya adalah untuk bisa menjatuhkan Presiden dalam artian Jokowi tidak mudah dilakukan.
Apalagi jika hanya beralasan terkait penanganan Virus Corona.
"Kita tentunya tidak ingin negara ini setback kembali regresif kepada masa kelam Orde Baru," ujar Refly Harun.
"Dan kesimpulan secara umum bisa dikatakan tidak mudah menjatuhkan Presiden hanya dengan alasan-alasan penanganan Covid-19," jelasnya.
• Sebut Negara Bangkrut hingga Rencanakan New Normal, Refly Harun: Wujud Ketidakmampuan Atasi Corona
Namun menurut Refly Harun, kondisi tersebut tetap bisa dilakukan andai memang memenuhi syarat bagi Jokowi untuk dilakukan impeachment.
Syarat-syarat tersebut adalah seperti melakukan tindakan korupsi, menerima suap dan perbuatan melanggar hukum lainnya.
Termasuk juga melakukan perbuatan tercela ataupun konspirasi.
"Kecuali kalau memang presiden memenuhi syarat article of impeachment," ungkapnya.
"Misalnya melakukan korupsi, disuap misalnya, atau melakukan perbuatan tercela yang tidak hanya zina, judi dan mabuk, tetapi perbuatan tercela lainnya, konspirasi," jelasnya.
Selain itu, faktor lainnya adalah sudah tidak lagi memenuhi syarat sebagai seorang presiden, yakni sehat jasmani dan rohani.
Karena untuk bisa mengemban tugas dan tanggungjawab besarnya, maka harus mempunyai kesehatan baik jasmani maupun rohani.
Faktor-faktor tersebutlah yang mendukung untuk dilakukannya impeach kepada presiden.
• Dekan UGM Diteror, Refly Harun Beberkan Ancaman Buzzer: Lebih Sulit Jadi Pengamat ketimbang Pejabat
"Atau tidak memenuhi syarat lagi misalnya sudah tidak mampu lagi secara jasmani dan rohani untuk mengemban amanat yang berat."
"Barulah kita bisa mengatakan bahwa syarat untuk meng-impeach atau memberhentikan presiden terpenuhi."
Meski begitu, Refly Harun mengatakan proses pemberhentian presiden tidak hanya sampai di situ.
Syarat kedua adalah proses politik di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Padahal seperti yang diketahui, kondisi yang terjadi di DPR, sebagian besar partai politik berada di dalam pemerintahan.
Hanya tiga partai yang menjadi oposisi pemerintahan, yakni PKS, Demokrat dan PAN.
Itu artinya musthil jika DPR menyetejui untuk memberikan impeach.
Tetapi itu pun masih juga tergantung proses politik di DPR," pungkasnya. (TribunWow/Elfan Fajar Nugroho)