Breaking News:

Terkini Nasional

DPR Meminta Jokowi Batalkan Kenaikkan BPJS, Saleh Daulany: Kan Aneh Sekali saat Pandemi Malah Naik

DPR meminta pemerintah untuk membatalkan kenaikkan iuran BPJS karena dinilai menyulitkan masyarakat di tengah pandemi, Jumat (15/5/2020).

Penulis: Noviana Primaresti
Editor: Claudia Noventa
TribunWow.com/Tiffany Marantika
Kartu BPJS Kesehatan 

TRIBUNWOW.COM - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) meminta pemerintah untuk membatalkan kenaikkan iuran BPJS karena dinilai menyulitkan masyarakat di tengah pandemi Virus Corona (Covid-19).

Presiden Joko Widodo (Jokowi) resmi menaikkan iuran BPJS kembali setelah sempat dibatalkan oleh Mahkamah Agung (MA).

Aturan kenaikkan yang diresmikan di tengah pandemi Virus Corona tersebut kini menuai penolakan dari sejumlah pihak karena dinilai membebani masyarakat.

Tolak Kenaikkan Iuran BPJS, Refly Harun Ungkit Lagi Proyek Pindah Ibu Kota: Hentikan Proyek Mercusuar

Pasalnya, adanya pandemi tersebut berimbas pada lemahnya perekonomian masyarakat karena menurunnya pendapatan.

Bahkan, banyak di antara masyarakat tersebut yang kehilangan pekerjaannya akibat di-PHK.

Dilansir Kompas.com, Jumat (15/5/2020), anggota Komisi IX DPR Saleh Daulany meminta Jokowi untuk membatalkan kenaikan iuran tersebut.

Menurutnya, dalam kondisi saat ini, sangat tidak tepat untuk menaikkan iuran BPJS karena kemampuan ekonomi masyarakat masih rendah.

Ia merasa keputusan tersebut janggal karena ditetapkan di masa pandemi yang malah makin memperberat beban rakyat.

“Kita merasakan belum tepat waktunya untuk menaikkan iuran. Kemampuan ekonomi masyarakat dinilai rendah. Kan aneh sekali, justru pada saat pandemi Covid-19 ini pemerintah malah menaikkan iuran," ujar Saleh.

"Padahal, semua orang tahu bahwa masyarakat di mana-mana sedang kesusahan," imbuhnya.

BPJS Naik, Politisi PKS Ini Gamblang Sebut Pemerintah Tak Pahami Derita Warga: Ini Tuna Empati

Oleh karenanya, dengan mempertimbangkan sejumlah alasan terkait di atas, DPR meminta pemerintah membatalkan kenaikkan iuran BPJS yang diatur dalam Peraturan Presiden (Prepres) Nomor 64 Tahun 2020 tersebut.

"Pemerintah diminta untuk membatakan Perpres Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan. Ada beberapa alasan fundamental mengapa perpres itu perlu dibatalkan," jelas Saleh.

Menurut Saleh, Perpres tersebut bertentangan dengan putusan MA yang telah membatalkan kenaikkan iuran BPJS sebelumnya, yang ditetapkan dalam Perpres 75/2019.

Padahal, dalam Pasal 31 UU No 5 Tahun 2004 tentang MA, telah diatur bahwa putusan yang dikeluarkan MA, bersiftat final dan mengikat bagi siapapun, termasuk presiden.

"Pasal ini mengamanatkan dua hal. Pertama, sesuatu yang dibatalkan berarti tidak dapat digunakan lagi. Kedua, kalau sudah dibatalkan tidak boleh dibuat lagi. Apalagi, substansinya sama, yaitu kenaikkan iuran," ungkapnya.

Saleh juga menuturkan bahwa pemerintah seharusnya memperbaiki sistem yang ada pada BPJS terlebih dahulu sebelum menaikkan iuran.

"Saya berpendapat bahwa sebelum iuran dinaikkan, sebaiknya pemerintah mendesak agar BPJS Kesehatan berbenah. Ada banyak persoalan yang sangat kompleks yang perlu diperbaiki," ucap Saleh.

"Termasuk masalah pendataan kepesertaan, fraud, pelayanan di fakes-faskes, ketersediaan kamar untuk rawat inap, stok obat, dan lain-lain," tandasnya.

Jokowi Naikkan Iuran BPJS saat Pandemi, Anggota DPR Ini Ungkap Kekecewaan: Tidak Tepat Waktunya

Dinilai Menentang Hukum, Keputusan Jokowi Menaikkan Iuran BPJS Berlawanan dengan Mahkamah Agung

Kenaikkan Tarif Iuran BPJS

Presiden Joko Widodo (Jokowi) memutuskan menaikkan kembali iuran BPJS setelah sempat dibatalkan oleh Mahkamah Agung (MA).

Setelah sebelumnya menaikkan iuran BPJS dan dibatalkan MA, kini Jokowi kembali menaikkan tarif iuran tersebut.

Kenaikan ini tertuang dalam Perpres Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.

Namun keputusan kenaikan tarif ini dinilai tak sesuai dengan hukum yang telah disahkan, karena bertentangan dengan hasil sidang MA yang telah diputuskan.

Dilansir Kompas.com, Rabu (13/2020), Pakar Hukum Tata Negara Universitas Andalas Feri Amsari menyatakan tindakan Jokowi tersebut bisa digolongkan sebagai pengabaian terhadap hukum.

"Tidak boleh lagi ada peraturan yang bertentangan dengan putusan MA. Sebab itu sama saja dengan menentang putusan peradilan," ujar Feri.

Ia menjelaskan bahwa keputusan yang telah disahkan oleh MA tersebut mengikat semua orang dan bersifat final.

"Pasal 31 UU MA menyatakan bahwa peraturan perundang-undangan yang dibatalkan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Artinya dia tidak dapat digunakan lagi, termasuk tidak boleh dibuat lagi," imbuhnya.

Putusan MA bernomor 7/P/HUM/2020 yang di tetapkan pada Senin (9/3/2020) tersebut intinya melarang adanya kenaikan iuran BPJS.

Sehingga, adanya kenaikan iuran sekecil apapun tetap tidak dapat dibenarkan karena jelas-jelas telah berlawanan dengan hasil putusan tersebut.

"Seberapapun jumlah (kenaikan iuran)-nya, maka tidak benar kenaikan (iuran) BPJS," kata Feri.

Menurut Feri, sedikit perbedaan pada keputusan presiden yang baru ini merupakan upaya akal-akalan agar Perpres yang baru tidak terkesan menentang keputusan MA.

"Mungkin di sana upaya main hukumnya. Dengan demikian presiden bisa beralasan bahwa perpres ini tidak bertentangan dengan putusan MA," pungkasnya.

Kenaikan iuran BPJS tersebut ditetapkan oleh Presiden Joko Widodo pada Selasa (5/5/2020).

Kenaikan iuran bagi peserta mandiri segmen pekerja bukan penerima upah (PBPU) dan bukan pekerja (BP) diatur dalam Pasal 34.

Berikut rincian kenaikan iuran BPJS tersebut:

Iuran peserta mandiri kelas I naik menjadi Rp 150.000, dari saat ini Rp 80.000.

Iuran peserta mandiri kelas II meningkat menjadi Rp 100.000, dari saat ini sebesar Rp 51.000.

Iuran peserta mandiri kelas III juga naik dari Rp 25.500 menjadi Rp 42.000.

Namun, pemerintah memberi subsidi Rp 16.500 sehingga yang dibayarkan tetap Rp 25.500.

Kendati demikian, pada 2021 mendatang, subsidi yang dibayarkan pemerintah berkurang menjadi Rp 7.000, sehingga yang harus dibayarkan peserta adalah Rp 35.000. (TribunWow.com)

Tags:
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial)Saleh DaulayJokowi
Berita Terkait
ANDA MUNGKIN MENYUKAI
AA

BERITA TERKINI

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved