Terkini Nasional
Dinilai Menentang Hukum, Keputusan Jokowi Menaikkan Iuran BPJS Berlawanan dengan Mahkamah Agung
Presiden Joko Widodo (Jokowi) memutuskan menaikkan kembali iuran BPJS setelah sempat dibatalkan oleh Mahkamah Agung (MA).
Penulis: Noviana Primaresti
Editor: Ananda Putri Octaviani
TRIBUNWOW.COM - Presiden Joko Widodo (Jokowi) memutuskan menaikkan kembali iuran BPJS setelah sempat dibatalkan oleh Mahkamah Agung (MA).
Setelah sebelumnya menaikkan iuran BPJS dan dibatalkan MA, kini Jokowi kembali menaikkan tarif iuran tersebut.
Kenaikan ini tertuang dalam Perpres Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.
• Iuran BPJS Kesehatan Batal Dinaikan, Wakil Ketua DPR: Kami akan Mengawasi Pelaksanaan Putusan
Namun keputusan kenaikan tarif ini dinilai tak sesuai dengan hukum yang telah disahkan, karena bertentangan dengan hasil sidang MA yang telah diputuskan.
Dilansir Kompas.com, Rabu (13/2020), Pakar Hukum Tata Negara Universitas Andalas Feri Amsari menyatakan tindakan Jokowi tersebut bisa digolongkan sebagai pengabaian terhadap hukum.
"Tidak boleh lagi ada peraturan yang bertentangan dengan putusan MA. Sebab itu sama saja dengan menentang putusan peradilan," ujar Feri.
Ia menjelaskan bahwa keputusan yang telah disahkan oleh MA tersebut mengikat semua orang dan bersifat final.
"Pasal 31 UU MA menyatakan bahwa peraturan perundang-undangan yang dibatalkan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Artinya dia tidak dapat digunakan lagi, termasuk tidak boleh dibuat lagi," imbuhnya.
Putusan MA bernomor 7/P/HUM/2020 yang di tetapkan pada Senin (9/3/2020) tersebut intinya melarang adanya kenaikan iuran BPJS.
Sehingga, adanya kenaikan iuran sekecil apapun tetap tidak dapat dibenarkan karena jelas-jelas telah berlawanan dengan hasil putusan tersebut.
• Iuran BPJS Kesehatan Naik di Tengah Pandemi, Pemerintah Dinilai Tak Miliki Empati pada Masyarakat
"Seberapapun jumlah (kenaikan iuran)-nya, maka tidak benar kenaikan (iuran) BPJS," kata Feri.
Menurut Feri, sedikit perbedaan pada keputusan presiden yang baru ini merupakan upaya akal-akalan agar Perpres yang baru tidak terkesan menentang keputusan MA.
"Mungkin di sana upaya main hukumnya. Dengan demikian presiden bisa beralasan bahwa perpres ini tidak bertentangan dengan putusan MA," pungkasnya.
Kenaikan iuran BPJS tersebut ditetapkan oleh Presiden Joko Widodo pada Selasa (5/5/2020).
Kenaikan iuran bagi peserta mandiri segmen pekerja bukan penerima upah (PBPU) dan bukan pekerja (BP) diatur dalam Pasal 34.
Berikut rincian kenaikan iuran BPJS tersebut:
- Iuran peserta mandiri kelas I naik menjadi Rp 150.000, dari saat ini Rp 80.000.
- Iuran peserta mandiri kelas II meningkat menjadi Rp 100.000, dari saat ini sebesar Rp 51.000.
- Iuran peserta mandiri kelas III juga naik dari Rp 25.500 menjadi Rp 42.000. Namun, pemerintah memberi subsidi Rp 16.500 sehingga yang dibayarkan tetap Rp 25.500. Kendati demikian, pada 2021 mendatang, subsidi yang dibayarkan pemerintah berkurang menjadi Rp 7.000, sehingga yang harus dibayarkan peserta adalah Rp 35.000.
• Dalam Sebulan 6 Petani Tewas akibat Jebakan Tikus, Bupati Sragen: Kita akan Tuntut Pemilik Sawah
Konsekuensi Pembatalan Kenaikan Iuran BPJS
Sebelumnya, Mahkamah Agung (MA) memutuskan untuk membatalkan kenaikan iuran BPJS pada Senin (9/3/2020), setelah adanya tuntutan dari sejumlah elemen masyarakat.
Menanggapi pembatalan tersebut, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan bahwa pembatalan tersebut akan mempengaruhi keberlangsungan BPJS Kesehatan secara menyeluruh.
Seperti dikutip Tribunwow.com dari Kompas.com Rabu (13/5/2020), Sri Mulyani menyebutkan bahwa keputusan tersebut akan berpengaruh terhadap seluruh golongan peserta BPJS Kesehatan.
"Tentu kita melihat keputusan tersebut. Perpres mengenai BPJS Kesehatan pengaruhnya ke seluruh rakyat Indonesia," ujar Sri Mulyani saat dikonfimasi di Jakarta pada Selasa (10/3/2020).
"Meski yang hanya dibatalkan satu pasal saja, namun mempengaruhi keseluruhan sustainability BPJS Kesehatan. Karena saat pemerintah buat perpres itu, seluruh aspek sudah dipertimbangkan," imbuhnya.
Mantan Direktur Pelaksanaan Bank Dunia tersebut mengatakan bahwa pihaknya masih akan mempelajari hal tersebut.
"Keputusan ini membuat semuanya berubah. Apakah Presiden sudah diinfokan? Sudah. Apakah pemerintah akan melawan? Kita akan pelajari ini," jelas Sri Mulyani.
Ia juga berharap masyarakat mau memahami akibat dari implementasi pembatalan tersebut.
"Kami berharap masyarakat tahu, ini konsekuensi yang sangat besar pada keberlangsungan program Jaminan Kesehatan Nasional," terangnya.
Kementrian Keuangan bersama pemerintah akan terus mencari jalan keluar untuk mengatasi kondisi keuangan BPJS.
Pihaknya menghimbau BPJS untuk transparan agar masyarakat dapat mengetahui masalah yang terjadi di dalam institusi tersebut.
"Kami akan terus meminta BPJS Kesehatan untuk transparan, dalam hal biaya operasi, gaji, utang yang sudah jatuh tempo, akan terus dilakukan agar masyarakat tahu ini masalah kita bersama, bukan satu institusi saja," tegasnya. (TribunWow.com/ Via)