Kabar Tokoh
Luhut: Saya Tidak Pernah Punya Keinginan untuk Membungkam Kritik
Luhut hanya ingin seluruh masyarakat Indonesia menjadi warga terdidik dan terbiasa berargumentasi dengan data.
Editor: Ananda Putri Octaviani
Pada saat itu bahkan tidak pernah terlintas di pikiran saya bahwa seorang prajurit RPKAD itu bisa mati terkena peluru.
Sampai suatu ketika saya terjun di Timor Timur bersama anak buah saya, keesokan harinya saya ketahui ternyata anak buah saya ada yang mati.
Tapi itu semua kami lakukan karena kecintaan dan janji kami pada Sumpah Prajurit dan Sapta Marga.
Yang menjadi sebuah pedoman dan sumpah dari seorang perwira sewaktu kami jadi taruna di Lembah Tidar.
Jadi saya tidak akan pernah mengingkari sumpah saya sebagai seorang prajurit.
• Curhatan Luhut tentang Bangsa, Singgung Ujaran Kebencian di Tengah Pandemi hingga Rindu pada Gus Dur
Tapi saya baru disadarkan saat kehilangan prajurit saya di daerah operasi, pada tahun 1975.
Ternyata manusia memang terdiri dari darah daging dan tulang, juga emosi.
Namun ketika saya pensiun sebagai tentara, begitu banyak perspektif hidup yang berubah.
Terutama “utang” yang saya miliki kepada istri dan anak-anak.
Selama puluhan tahun, terutama ketika harus menjalani tugas operasi ke daerah lain, tak terhitung berapa kali saya harus meninggalkan mereka.
Ada satu momen yang saya ingat sampai saat ini, yaitu suatu waktu anak saya Uli yang waktu itu berumur 3 tahun menangis ketika melihat saya pulang ke rumah.
Sayangnya dia bukan menangis karena lama menahan rindu ke ayahnya, tapi karena dia takut ada orang asing muncul di kamarnya.
Dia tidak mengenali saya. Sebagai seorang ayah, hal itu sangat membuat saya terpukul.
Pada momen itu, saya berjanji pada diri saya sendiri, bahwa setiap berangkat menjalankan tugas negara, saya harus memastikan diri saya dan prajurit lainnya bisa pulang dengan selamat.
Artinya, semua misi harus diselesaikan dengan sebaik-baiknya, sehingga kami bisa pulang untuk menebus utang waktu kami dengan keluarga.