Komisioner KPU Terjaring OTT KPK
Ray Rangkuti Soroti Kehadiran Menteri Yasonna Laoly di Koferensi Pers PDIP, Sebut Imbas ke Jokowi
Pengamat politik Ray Rangkuti menilai kehadiran Yasonna layak dipertanyakan mengingat dirinya masih tercatat sebagai anggota Kabinet Indonesia Maju.
Editor: Mohamad Yoenus
TRIBUNWOW.COM - Kehadiran Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna Laoly dalam konferensi pers PDI Perjuangan, terkait kasus OTT terhadap Komisioner KPU Wahyu Setiawan dinilai dapat berdampak kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Pengamat politik Ray Rangkuti menilai kehadiran Yasonna layak dipertanyakan mengingat dirinya masih tercatat sebagai anggota Kabinet Indonesia Maju.
• Akui Belum Pernah Bertemu Langsung Ketua KPK Firli, Ketua Dewas Tumpak Hatarongan: Ada Prioritas
• Di Mata Najwa, Arsul Sani Minta Jangan Salahkan Undang-Undang terkait Gagalnya KPK Geledah PDIP
"Akan mudah mengundang pandangan negatif masyarakat bahwa seolah Menkumham akan mempergunakan pengaruhnya dalam proses penegakan hukum ini."
"Pandangan negatif yang tak bisa dihindari," ujar Ray, kepada Tribunnews.com, Kamis (16/1/2020).
Ray mengatakan, Jokowi bisa terdampak lantaran seluruh kegiatan anggota kabinet sudah merupakan sepengetahuan presiden.
"Kehadiran Menkumham dalam acara ini dapat juga mengundang pandangan masyarakat bahwa Presiden memberi izin atas aktivitas Menkumham dalam advokasi hukum PDIP," kata dia.
Menurutnya, atas kejadian tersebut tentu akan muncul kekhawatiran yang kuat bahwa proses hukum tidak dijalankan dengan azas keadilan.
Jokowi selaku presiden, kata dia, diminta untuk menjaga netralitas anggota kabinetnya dalam setiap upaya penegakan hukum.
• 5 Pengakuan Wahyu Setiawan: Jelaskan soal Siap Mainkan hingga Sebut Arief Budiman dan Johan Budi
Sehingga seluruh anggota kabinet bekerja hanya untuk kepentingan bangsa dan negara, bukan untuk kepentingan individu atau kelompok.
"Kenyataan ini makin menegaskan dibutuhkannya sikap presiden agar memastikan anggota kabinetnya bersikap profesional," ujarnya.
"Saat yang bersangkutan dilantik sebagai anggota kabinet, saat yang sama ia menjadi milik warga Indonesia dan bekerja untuk seluruh warga Indonesia."
"Prinsip-prinsip seperti ini sebaiknya tetap dan makin diperkuat oleh presiden," pungkasnya.
Sebut KPK Langgar Hukum
Koordinator tim hukum PDIP Teguh Samudera menilai, upaya penggeledahan dan penyegelan Kantor DPP PDIP oleh Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK) melanggar hukum.
Menurut dia, hal tersebut melanggar hukum lantaran dalam penggeledahan KPK membutuhkan izin Dewan Pengawas.
Sementara itu, upaya penyegelan dan penggeledahan kemarin belum mendapat izin Dewan Pengawas.
• Ungkap Prediksinya soal Pimpinan Baru KPK, Menko Polhukam Mahfud MD: Enggak Terlalu Jelek
"Bahwa terkait upaya penggeledahan dan penyegelan yang hendak dilakukan oleh penyidik KPK di Gedung PDI Perjuangan pada 9 Januari 2020 tanpa izin tertulis dari Dewan Pengawas, adalah perbuatan melanggar hukum dan melanggar kode etik," ujar Teguh di Kantor DPP PDIP, Menteng, Jakarta, Rabu (15/1/2020).
Teguh mengatakan, ketentuan tersebut termaktub dalam Undang-undang No. 19 Tahun 2019 tentang KPK. Menurut Teguh, berdasarkan Pasal 37 b Ayat 1 Undang-undang KPK, dinyatakan bahwa Dewan Pengawas bertugas memberikan izin penyadapan, penggeledahan dan atau penyitaan.
Kemudian, lanjut Teguh, hal itu ditegaskan lagi pada Pasal 47 Ayat 1 yang menyatakan bahwa dalam proses penyidikan, penyidik dapat melakukan penggeledahan dan penyitaan atas izin tertulis dari Dewan Pengawas.
"Oleh karena itu menurut hukum, izin tertulis dari Dewan Pengawas adalah hal yang wajib dan mutlak harus ada," lanjut Teguh.
Pertanyakan Sprilindik
Anggota tim hukum PDIP Maqdir Ismail mempersoalkan legalitas Surat Perintah Penyelidikan (Sprinlidik) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang digunakan untuk menyelidiki kasus suap yang melibatkan mantan anggita PDIP Harun Masiku.
Menurut Maqdir, dalam kasus suap tersebut, Sprinlidik yang diterbitkan KPK tidak sah lantaran menggunakan tanda tangan Pimpinan KPK periode 2015-2019.
Masih menurut Maqdir, Pimpinan KPK periode 2015-2019 tak memiliki kewenangan menjalankan tugas sejak ketentuan pemberhentian diteken Presiden dalam Keppres No. 112/P Tahun 2019 pada 20 Oktober 2019.
• Desak KPK Periksa Caleg yang Digantikan Mulan Jameela, Hasanuddin Sebut Lebih Parah dari Kasus PDIP
"Keppres pemberhentian Pimpinan KPK lama itu, diteken 20 Oktober 2019."
"Sementara dalam Keppres itu juga dikatakan pengangkatan terhadap pimpinan baru akan dilakukan pada tanggal 20 Desember," ujar Maqdir di Kantor DPP PDIP, Menteng, Jakarta, Rabu (15/1/2020).
Karenanya, Maqdir pun mengatakan KPK tak bisa berlindung dalam memproses kasus suap di KPU yang juga melibatkan mantan anggota PDIP Harun Masiku, jika proses kerjanya terbukti melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan.
"Artinya apa? Ketika 20 Oktober mereka diberhentikan dengan hormat sampai tanggal 20 Desember sebelum pimpinan baru disumpah, Pimpinan KPK (lama) itu tidak diberi kewenangan secara hukum untuk melakukan tindakan yang selama ini jadi kewenangan mereka," lanjut Maqdir.
Sebelumnya, KPK menetapkan Komisioner KPU Wahyu Setiawan sebagai tersangka kasus suap penetapan anggota DPR 2019-2024.
• Bahas soal Dewas KPK, Feri Amsari: Jangan Tuduh Demokrat, PDIP Apa Sih Keinginannya?
Wahyu diduga menerima suap dari Politisi PDIPerjuangan Harun Masiku yang juga telah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK.
Selain menetapkan Wahyu dan Harun, dalam kasus ini KPK juga menetapkan dua orang lainnya sebagai tersangka.
Yaitu mantan anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang juga orang kepercayaan Wahyu, Agustiani Tio Fridelina, dan pihak swasta bernama Saeful.
Wahyu dan Agustiani diduga sebagai penerima suap.
Sementara Harun dan Saeful disebut sebagai pihak yang memberi suap. (Tribunnews.com/Vincentius Jyestha Candraditya/Rakhmat Nur Hakim)
Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul Menteri Yasonna Nongol di Konferensi Pers PDIP, Presiden Jokowi Bisa Kena Imbas, "PDI-P Anggap Penyegelan dan Penggeledahan Kantor DPP Langgar Hukum", dan "PDIP Persoalkan Sprinlidik yang Libatkan Harun Masiku di Kasus Wahyu Setiawan"