Terkini Nasional
Sophia Latjuba Sebut Ujian Nasional sebagai Bentuk Kemalasan Pemerintah, Begini Dasarnya
Selebriti Sophia Latjuba ikut berkomentar tentang polemik yang sedang ramai dibicarakan, yakni penghapusan atau perubahan ujian nasional (UN).
Penulis: Elfan Fajar Nugroho
Editor: Claudia Noventa
TRIBUNWOW.COM - Selebriti Sophia Latjuba ikut berkomentar tentang polemik yang sedang ramai dibicarakan, yakni penghapusan atau perubahan ujian nasional (UN).
Seperti yang diketahui, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim memiliki wacana menghapus ujian nasional pada tahun 2021 mendatang.
Dikutip TribunWow.com dari tayangan 'Mata Najwa', Rabu (18/12/2019), Sophia Latjuba menyatakan setuju dengan rencana penghapusan ujian nasional.
• Terkait Ujian Nasional, Putra Nababan: Jangan Ganti Menteri, Ganti Kebijakan dan Kurikulum
Sophia Latjuba bahkan mengatakan adanya ujian nasional merupakan bentuk kemalasan dari pemerintah.
Pernyataan dari Sophia Latjuba yang menyebut ujian nasonal sebagai bentuk kemalasan dari pemerintah tentunya bukan tanpa dasar.
Dirinya menilai untuk menilai kecerdasan atau kepintaran sesorang siswa tidak bisa dilihat hanya dengan ujian nasional saja.
Menurutnya, hal itu harus ditentukan dengan banyak unsur, tidak cukup hanya dengan ujian nasional.
Apalagi pendidikan merupakan sebuah proses yang cukup panjang.
"Pendidikan ini kan sebuah proses pembentukan pribadi manusia, banyak unsur yang kita harus lihat," ujar Sophia Latjuba.
"Ada intelektualitas, ada sosial, ada moral, ada fisik, ada spiritual, dan ini merupakan sebuah proses holistik, integral."
• Penggantian Sistem Ujian Nasional oleh Mendikbud Nadiem Makarim, Ini Tanggapan Presiden Jokowi

Lebih lanjut, Sophia Latjuba menilai ujian nasional terlalu umum untuk dijadikan alat penilaian setiap siswa.
Terlebih untuk menentukan kelulusan.
Lalu, dirinya menyinggung kapasitas orang yang membuat soal ujian nasional tersebut.
Dirinya mempertanyakan apakah pembuat soal ujian nasional sudah memahami karakteristik siswa Indonesia yang punya latar belakang berbeda-beda.
"Ujian nasional yang hanya ujian nasional, satu pillihan ganda yang dibuat oleh satu orang atau sekolompok orang, yang menilai anak-anak dari sabang sampai merauke, dengan latar belakang yang berbeda-beda," jelas Sophia Latjuba.
"Dengan guru berbeda-beda, orang-orang mungkin yang membuat ujian nasional ini bukan guru juga mungkin, yang tidak tahu bagaimana menghendel anak."
Maka dari itu, Sophia Latjuba mengatakan, yang seharusnya memberikan penilaian adalah guru ataupun sekolah itu sendiri.
• Nadiem Makarim Jelaskan Format Pengganti Ujian Nasional (UN) hingga Perubahan Sistem Zonasi
Karena menurut Sophia Latjuba, guru dan sekolah tentunya lebih tahu dan lebih mengenal dengan karakteristik dari siwanya.
"Jadi menurut saya, assessment itu classroom job, this is teacher job," ungkap Sophia Latjuba.
Oleh karenanya, Sophia Latjuba menyebut ujian nasional sebagai bentuk kemalasan dari pemerintah.
Menurutnya, ujian nasional dijadikan sebagai alat penilaian jutaan siswa di Indonesia, padahal para siswa tersebut mempunyai latar belakang yang tidak sama.
"Jadi menurut saya ujian nasional itu ya hanya dibuat karena kemalasan pemerintah saja," pungkasnya.
Tonton Videonya:
Sophia Latjuba: Kalau Tak Secepatnya Korban Bisa Berjatuhan
Selebriti Sophia Latjuba menyoroti soal polemik perubahan ujian nasional (UN).
Dilansir TribunWow.com dari tayangan Mata Najwa, Rabu (18/12/2019), Sophia Latjuba menyebut bahwa pemerintah harus segera membuat perubahan terkait ujian nasional.
Menurutnya, saat ini sudah tidak ada waktu, karena korban ujian nasional terus berjatuhan.
Mulanya, peneliti Pusat Studi Pendidikan dan Kebijakan Anindito Aditomo mengungkap bahwa setiap kali ganti menteri, pasti ada kebijakan yang diganti, termasuk soal pendidikan.
• Terkait Ujian Nasional, Putra Nababan: Jangan Ganti Menteri, Ganti Kebijakan dan Kurikulum
"Dari perspektif pengamat, saya sudah sejak lama berseberangan dengan Kemendikbud," ujar Anindito.
"Jadi kalau dikatakan pemerintah selama ini ganti menteri ganti kebijakan pendidikan, tidak terlalu tepat juga."
"Di level kebijakan spesifik barangkali ada pergantian, UN diutak-atik, namanya berubah."
"Tapi selama ini, 15 tahun, dan jauh sebelumnya, masih sama semua paradigmanya," sambung Anindito.
Anindito kemudian menyebut bahwa paradigma UN adalah kontrol dan pengawasan.
"Yaitu kontrol dan pengawasan," ucapnya.
"UN ini adalah salah satu instrumen utama pemerintah untuk mengontrol, mengawasi guru."
"Saya justru apresiasi sekali, saya selama ini menentang pemerintah, tapi sekarang berbalik 180 derajat," imbuhnya.
"Karena memberikan kemerdekaan pada guru?," tanya pembawa acara Najwa Shihab.
"Betul," ungkap Anindito.
Terkait hal itu, Najwa Shihab kemudian menanyakan hal itu ke Komisioner KPAI Retno Listiyarti.
"Saya ke Bu Retno, apakah guru-guru kita, ketika diberikan kemerdekaan bisa memanfaatkan itu," tanya Najwa Shihab.
"Jangan-jangan banyak yang tidak mau berubah karena sekarang sudah enak mengajarnya, latihan soal saja?," sambungnya.
Menanggapi hal itu Retno Listiyarti menyebut bahwa selama ini cara mengajar guru tidak berubah.
"Pertama 25 tahun dari hasil data, riset, 25 tahun kondisi sekolah-sekolah kita, termasuk cara mengajar guru, itu enggak berubah," jawabnya.
"Artinya pendekatannya ceramah, kemudian ujiannya adalah pilihan ganda."
"Nah selama 25 tahun ini tentu kalau kita naik kapal tanker, belokinnya itu butuh ancang-ancang, betul butuh persiapan."
"Nah, namun bukan berarti tidak bisa," sambungnya.
Retno Listiyarti kemudian menyatakan bahwa saat ini guru-guru memang harus berubah.
"Kedua, guru-guru ini memang harus berubah, harus didorong bahwa sekarang harus berubah," ucapnya.
"Sekarang gini ya, ujian nasional kan tidak semua mata pelajaran, nah sekarang apakah guru-guru yang tidak diuji, apakah selama ini perasaannya gimana?"
"Kayak anak tiri," imbuhnya.
Retno Listiyarti pun menjelaskan maksud ucapannya itu.
"Karena anak-anak menganggap pelajaran yang penting adalah pelajaran yang di-UN kan," bebernya.
"Padahal seharusnya semua sama."
Menurutnya, sekarang ini guru hanya mengejar kecerdasan akademik siswa.
"Kecerdasan yang lain tidak teroptimalkan, anak-anak yang misalnya kayak Mbak Nana (Najwa) nih, bagaimana membawa acara, itu kan butuh sebuah kemampuan."
"Nah tapi kan kalau tidak jago matematika dianggap bodoh akhirnya di Indonesia," ungkap Retno Listiyarti.

Mendengar hal itu, Sophia Latjuba kemudian memberikan tanggapan.
Spohia Latjuba menyinggung soal pihak-pihak yang meminta waktu untuk melakukan perubahan, dengan tetap memakai UN sebagai standarisasi.
"Kalau bicara soal standarisasi saya mengerti apa kekhawatirannya," katanya.
"Ada yang bilang 'Kasih waktu dulu lah, kita benahi dulu, ujian nasional tetap sebagai standarisas, kita perlakukan ujian nasional sebagai standarisasi'."
Sophia Latjuba lantas menyoroti soal anak-anak, yang bisa menjadi korban dari sistem seperti itu.
"Tapi jangan lupa, kita berhadapan dengan anak-anak," ujarnya.
"Yang otaknya setiap hari itu masih bisa diubah seperti jelly."
"Kalau kita tidak bisa bikin perubahan secara secepatnya, itu korban berjatuhan tiap hari loh."
"Bukan hanya pada ujian nasional, prosesnya juga akan mengeliminasi cognitive bring connection yang sangat-sangat krusial untuk nantinya," imbuh Sophia Latjuba.
• Ujian Nasional Dihapus Mendikbud Nadiem Makarim, Wapres Maruf Amin Ingatkan soal Ini
Ia pun menyebut bahwa saat ini sudah tidak ada waktu lagi, sehingga harus segera berubah.
"Jadi kalau dibilang kita butuh waktu, kita sudah tidak ada waktu lagi sebenarnya."
"Ini seperti global warming, sudah tidak ada waktu," sambungnya disambut tepuk tangan riuh dari hadirin di Mata Najwa.
Mendengar pernyataan tersebut, Anggota Komisi X DPR Fraksi Gerindra Sudewo turut buka suara.
Menurutnya, konteks UN dihapus atau tidak dengan perubahan dari hafalan ke penalaran berbeda.
"Konteks ini berbeda, antara ujian nasional dihapus atau tidak, dengan mengubah dari hafalan ke penalaran," ucap Sudewo.
"Ini konteksnya berbeda, saya setuju konteks dari hafalan diubah jadi penalaran."
"tetapi ujian nasional itu tidak harus dihapus, kan selama ini yang dikatakan hafalan, hanya kognitif belaka, ini diubah menjadi penalaran kan bisa."
"Jadi dua-duanya, tetap ada standar penilaian," sambungnya.
(TribunWow/Elfan Nugroho/Lailatun Niqmah)