Breaking News:

Polemik APBD DKI 2020

Yang Membedakan Transparansi Anggaran Era Ahok dan Anies Baswedan, Awalnya Bebas Diakses

Ini yang membedakan transparansi anggaran di era Ahok dan Anies Baswedan. Sebelumnya, rancangan anggaran bebas diakses warga.

Editor: Ananda Putri Octaviani
Tribunnews/Dany Permana
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan 

Tidak ada satu pun rencana anggaran untuk tahun 2020 yang diunggah ke dalam situs tersebut.

Padahal, saat ini Pemprov dan DPRD DKI Jakarta sedang melakukan pembahasan KUA-PPAS.

Perbedaan ini juga dibenarkan oleh Ketua Fraksi PDI-P DPRD DKI Jakarta Gembong Warsono.

Adapun Gembong merupakan salah satu anggota Dewan yang mengikuti pembahasan anggaran para periode pemerintahan sebelumnya dan sekarang.

"Sekarang Pak Anies merasa karena belum ada pembahasan dengan DPRD, maka info itu tidak disampaikan ke publik," kata Gembong ketika dihubungi Kompas.com.

Ternyata, ini memang merupakan keinginan Anies Baswedan.

Anies mengaku khawatir draft KUA-PPAS yang belum disepakati dengan DPRD DKI hanya akan menimbulkan kehebohan.

"Justru karena ada masalah-masalah seperti ini yang menimbulkan keramaian, padahal tidak akan dieksekusi," ujar Anies di Balai Kota, Jakarta, Rabu (30/10/2019).

Anies baru akan mengunggah draft tersebut setelah Pemprov DKI dan DPRD DKI menyelesaikan pembahasan anggaran.

DPRD DKI Minta Anggaran TGUPP Dicoret: Pakai Anggaran Operasional Gubernur Saja

Akhirnya, masyarakat hanya bisa mengetahui rencana anggaran yang tak wajar dari anggota DPRD DKI Jakarta.

Fraksi Partai Solidaritas Indonesia menjadi yang paling sering menyebarkannya.

Sebut saja anggaran lem Aibon sebesar Rp 82,8 miliar, bolpoin sebesar Rp 124 miliar, dan komputer sebesar Rp 121 miliar.

Sistem yang disalahkan

Anies tidak ingin mengunggah rencana anggaran yang belum disahkan.

Itu artinya, masyarakat hanya akan mengetahui program apa saja yang akan dikerjakan Pemprov DKI Jakarta setelah pembahasan selesai.

Tak ada ruang untuk mengkritik dan memberi masukan.

Selain soal transparansi anggaran, Anies juga berbicara tentang sistem e-budgeting itu sendiri.

Menurut Anies, sistem digital ini tidak smart karena masih mengandalkan penelusuran manual untuk pemeriksaannya.

Dia juga mengkritik soal rancangan yang terlalu detail sampai satuan ketiga.

Dia memberi contoh program pentas musik dengan nilai anggaran Rp 100 juta.

Dalam sistem e-budgeting, anggaran tersebut harus diturunkan dalam bentuk komponen.

Menurut dia, rancangan anggarannya tidak perlu detail sampai pada satuan ketiga terlebih dahulu karena itu yang akan dibahas bersama DPRD DKI.

"Sehingga setiap tahun staf itu banyak yang memasukkan yang penting masuk angka Rp 100 juta dulu. Toh nanti yang penting dibahas," ujar Anies.

Anggaran Lem Aibon Rp 82 Miliar Jadi Polemik, Anies Baswedan Salahkan Sistem Digital: Tidak Smart

Dengan kata lain, KUA-PPAS diserahkan ke DPRD DKI secara gelondongan.

"Itu dokumen ada harus dicek manual, apakah panggung, mic, terlalu detail di level itu, ada beberapa yang mengerjakan dengan teledor (karena) toh diverifikasi dan dibahas," ujar Anies.

"Cara-cara seperti ini berlangsung setiap tahun. Setiap tahun muncul angka aneh-aneh," kata dia.

Anies pun memberi sinyal tidak akan terus menggunakan sistem ini.

Dia ingin memakai sistem yang bisa memberi notifikasi langsung ketika ada anggaran yang tak wajar.

"Ini tinggal dibuat algoritma saja, if item-nya itu jenisnya Aibon, harganya Rp 82 miliar (padahal) sebenarnya harganya kan enggak semahal itu. Harganya Rp 20.000 atau Rp 30.000, terus totalnya mencapai puluhan miliar, pasti ada salah. Harusnya ditolak itu sama sistem," kata Anies.

Bagaimana pantau uang rakyat?

KUA-PPAS berisi rencana Pemprov DKI dalam menggunakan uang rakyat Jakarta.

Dengan demikian, Ketua Fraksi PDI-P DPRD DKI Jakarta Gembong Warsono mengatakan sejatinya ini merupakan informasi publik.

Apalagi program yang diinput ke dalam sistem ini adalah hasil dari aspirasi masyarakat dalam musrenbang (musyawarah rencana pembangunan).

Adapun musrenbang merupakan forum bagi masyarakat menyampaikan usulan program kepada pemerintah.

Usulan tersebut disesuaikan dengan permasalahan yang ada di wilayah setempat, misalnya meminta perbaikan jalan, pembangunan jembatan, sekolah, dan lainnya.

Beberapa usulan nantinya akan masuk ke rencana anggaran Pemprov DKI dan dikerjakan pada tahun berikutnya.

Musrenbang digelar di tiap kota dan kabupaten.

"Maka, seharusnya itu dipublikasikan sejak perencanaan karena prosesnya ini dimulai dari musrenbang. Masyarakat harus tahu apakah aspirasinya saat musrenbang masuk atau tidak ke rancangan anggaran," kata dia.

Soal Anggaran Lem Aibon Rp 82 Miliar, KPK Minta DPRD Kritis: Kecuali Ada Negosiasi

Tanpa publikasi lewat situs apbd.jakarta.go.id, masyarakat tidak bisa ikut memelototi.

Tinggal terima jadi ketika perencanaan uang rakyat itu sudah disahkan.

Ketika sudah disahkan, program dalam APBD bisa dikerjakan, termasuk yang anggarannya tidak wajar.

Kini harapannya tinggal ada di anggota Dewan, wakil rakyat yang memiliki akses untuk melihat penyusunan anggarannya.

Mampukah benar-benar mengawasi uang rakyat Jakarta?

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Beda Transparansi Anggaran Era Ahok dan Anies: Awalnya Bebas Diakses, Kini Harus Tunggu Sah Dulu"

Sumber: Kompas.com
Tags:
AhokAnies BaswedanAnggaranDKI Jakarta
Berita Terkait
ANDA MUNGKIN MENYUKAI
AA
KOMENTAR

BERITA TERKINI

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved