Rusuh di Papua
Psikolog Sebut Rasisme Bukan Penyebab Utama Rusuh di Papua: Begitu Ada yang Sulut, Meledaklah Semua
Pengamat Psikologi Sosial Universitas Padjadjaran (Unpad), Sri Rahayu Astuti menilai rasisme yang terjadi di Jatim bukan penyebab utama ricuh di Papua
Editor: Lailatun Niqmah
“Begitu juga dengan (kasus) Papua. Emosi itu memang menular,” ungkap dia.
"Virus" kepedulian
Menurut Sri,yang harus dilakukan saat ini adalah menyebarkan virus kepedulian terhadap orang lain, baik itu pada orang yang berbeda agama, ras, suku, bahasa.
Idealnya, virus tersebut diajarkan sejak dini di lingkungan keluarga.
Bagaimana orangtua mengajarkan anaknya peduli terhadap sesama dan menerima perbedaan dengan lapang dada.
Namun jika sudah terjadi -seperti kasus Papua sekarang- maka semua pihak harus bersama-sama menebar virus kepedulian.
"Bagaimana yang tadinya rasis dan alergi terhadap sesuatu yang berbeda, bisa menerima dan menghargai," kata dia.
“Karena gak usah jauh-jauh (Papua), Jawa, dan Sunda pun sama,” ungkap dia lagi.
Sri mencontohkan, masih ada -misalnya, orangtua di Jawa dan Sunda yang mengatakan, tidak boleh menikah antara Sunda-Jawa.
"Kalau pun menikah, lihat dulu, apakah perempuan atau laki-laki yang bersuku Jawa," kata dia.
• Indiarto Ledek Sandiaga Uno Akting saat Telepon Wagub Papua Barat, Sandi: Ya Enggak Gitu-gitu Amat
Lalu, menurut Sri, hal itu pun terjadi --misalnya, dengan orang Padang.
Dari awal diajarkan, ke mana pun pergi, ia harus kembali ke Padang, dan menikah dengan orang di daerahnya.
Itu pula yang terjadi untuk orang Papua.
Misalnya, di Papua mengonsumsi minuman keras merupakan kebiasaan.
Namun di Jawa, hal itu berkonotasi negatif.