Breaking News:

Terkini Daerah

Kisah Depi, Bocah 9 Tahun di Kulon Progo, Ditinggal Ibu Meninggal hingga Rela Rawat Ayah yang Lumpuh

Depi tidak pernah menolak ketika diminta membantu ayahnya, yang kini hidup dengan keterbatasan.

Editor: Lailatun Niqmah
Kompas.com/DANI JULIUS
Putri Depi Nur’aini, 9 tahun, dan Sakijo, 58, di dalam rumahnya di Dusun Tangkisan 3, Desa Hargomulyo, Kulon Progo, DIY. Sakijo dulunya penyadap nira kelapa. Ia lumpuh setelah kali kedua jatuh dari pohon kelapa. Kini, Sakijo hanya berteman anak semata wayangnya, Depi, di rumah mereka yang mungil. Perhatian dan bantuan juga datang dari kerabat dekat yang berada di kanan kiri rumahnya. 

Tak jauh dari sana, ada kandang kambing.

Suara mengembik kambing-kambing itu terdengar cukup nyaring.

“Kami semua satu keluarga kakak dan adik. Sakijo kakak dan kami adik-adiknya. Rumah bersebelahan saja,” kata Jasman (50), adik kandung dari Sakijo.

Karena rumah mereka berdekatan itulah, Jasman dan dua saudaranya yang lain bisa memberi perhatian pada Sakijo.

Mereka menggilir memberi perhatian, mulai dari mengantar Depi sekolah, mengangkat kursi ke depan rumah agar Sakijo bisa merambat lantas mandi di sana.

Komentari Viral Alumni UI Tolak Gaji Rp 8 Juta, Dian Sastro Ungkap Gaji Pertamanya setelah Lulus

Atau menyediakan makan untuk Sakijo maupun Depi. “Kami giliran karena sambil juga menjaga orangtua,” kata Jasman.

Sekalipun banyak mendapat perhatian, Sakijo mengaku belum memiliki gambaran pasti atas masa depan dan hari tuanya, apalagi masa depan Depi.

Terlebih, karena kini ia tak lagi memiliki penghasilan.

Satu-satunya yang menjadi tumpuan hanyalah bantuan tunai dari Dinas Sosial Kulon Progo.

Itu pun sudah menipis. Masa depan Depi pun jadi taruhan.

Khusus untuk Sakijo, kini perhatian baru sebatas bantuan dari Dinas Sosial Kulon Progo sebesar total Rp 15.000.000, yang diterima secara bertahap setiap bulan sejak ia jatuh.

Tapi, ia tak putus harapan.

Depi, gadis kecilnya, tentu tak boleh putus sekolah.

“Sempat terpikir akan saya minta bantuan dan titipkan pada adik saya yang ada di Jakarta,” kata Sakijo.

Risiko pemanjat kelapa

Kepala Dukuh Tangkisan 3 Riana Heni Suyanti mengatakan, risiko penyadap nira memang begitu tinggi. Produksi gula kelapa ini pun jadi terasa tidak sebanding dengan risiko para penderes nira.

“Apalagi kalau musim penghujan pohon menjadi licin dan perlu sangat hati-hati,” kata Riana via pesan singkat.

Ia mengungkapkan, apa yang menimpa Sakijo merupakan tragedi penyadap jatuh dari pohon yang terjadi dalam kurun 2 tahun belakangan.

Menurutnya, ini bukan satu-satunya. Kejadian serupa juga terjadi pada 2 penderes lain di dua dusun sekitar Tangkisan 3.

Tangkisan 3 sendiri terdiri dari 315 kepala keluarga.

Mayoritas mereka bekerja sebagai penderes nira kelapa, yakni suami menyadap nira, sedangkan sang istri memasak gula.

Masing-masing penderes bisa naik kelapa lebih dari 20 pohon dalam satu hari. Itu dilakoni pagi dan sore hari.

“Bisa sampai 75 persen adalah penderes,” kata dia.

Mereka mampu menghasilkan 0,5 kilogram gula merah dari 1 pohon yang dipanjatnya pagi dan sore.

Begitu minim hasilnya, membuat penderes tidak melulu bekerja menderes dan menghasilkan gula kelapa.

Penderes juga bekerja yang lain demi memperoleh penghasilan lebih baik, misal bertani, buruh bangunan, peternak hewan, hingga pengangkut kayu glondongan.

“Jadi, tidak murni hanya menderes saja,” kata dia. Ia menambahkan, rata-rata usia penderes sekitar 30 sampai 55 tahun. Sangat jarang ditemui penderes dengan usia muda, apalagi belia. (Kompas.com/Dani Julius Zebua)

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Kisah Pilu Depi, Bocah 9 Tahun, Tegar Menemani Ayah yang Lumpuh"

WOW TODAY:

Sumber: Kompas.com
Tags:
KemiskinanKulon ProgoYogyakarta
Berita Terkait
ANDA MUNGKIN MENYUKAI
AA

BERITA TERKINI

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved