Sidang Sengketa Pilpres 2019
Ikut Aksi, Mantan Penasihat KPK: Kalau Petugas KPPS Meninggal karena Kelelahan, Harusnya Jokowi Juga
Mantan Penasihat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abdullah Hehamahua melontarkan sindiran kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Penulis: Laila N
Editor: Rekarinta Vintoko
TRIBUNWOW.COM - Mantan Penasihat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abdullah Hehamahua melontarkan sindiran kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Dilansir oleh TribunWow.com dari Tribunnews, hal itu disampaikan Abdullah saat mengikuti aksi massa di Jalan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Rabu (26/6/2019).
Dalam aksi mengawal putusan sengketa Pilpres 2019 oleh Mahkamah Konstitusi (MK) itu, Abdullah sempat menyinggung soal ratusan anggota KPPS yang meninggal di Pemilu 2019.
Abdullah menyindir pernyataan pemerintah yang menyebut kematian petugas KPPS didasari oleh faktor kelelahan.
• Mahfud MD Prediksi Bunyi Putusan MK dalam Sidang Sengketa Pilpres 2019, Begini Isinya
Jika demikian, menurutnya Jokowi seharusnya mengalami hal yang sama, lantaran jam istirahat presiden sangat sedikit.

"Jadi kalau alasan pemerintah (petugas KPPS) itu meninggal karena kelelehan, maka Jokowi harusnya juga mati. Karena dia 1 hari cuma 3 jam tidur," ujar Abdullah di lokasi aksi, Rabu (26/6/2019).
Abdullah mengaku heran terhadap pernyataan pemerintah itu.
Menurut Abdullah hingga kini tidak ada satupun dokter yang menyebut bahwa kelelahan jadi penyebab seseorang meninggal.
"Dan semua dokter dimanapun mengatakan tidak ada orang meninggal karena kelelahan," sambungnya.
• KPU Nilai Saksi Kubu Prabowo-Sandi Terlalu Banyak Drama: Ini Membahayakan
Temuan Terbaru soal Penyebab Petugas KPPS Meninggal
Dikutip dari Kompas.com, tim peneliti Universitas Gadjah Mada berhasil menemukan penyebab meninggalnya ratusan anggota Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS).
"Data kami menunjukan bahwa semua yang meninggal itu disebabkan oleh penyebab natural. Semuanya disebabkan oleh problem kardiovaskuler, entah jantung, stroke atau gabungan dari jantung dan stroke," ujar Koordinator Peneliti UGM, Abdul Gaffar Karim di Gedung KPU, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (25/6/2019).
Mereka mengaku tidak menemukan penyebab lain yang lebih ekstrem.
"Kami sama sekali tak menemukan indikasi misalnya diracun atau sebab-sebab lain yang lebih ekstrim," imbuh Gaffar.
Dari autopsi verbal yang dilakukan, peneliti menemukan bahwa para anggota KPPS yang meninggal rata-rata bekerja dengan beban yang tinggi selama Pemilu 2019, baik sebelum, saat pencoblosan, hingga pasca-pemungutan suara.
• Irma Suryani Sebut Aksi PA 212 Kawal Putusan MK Tak Memiliki Daya Tarik bagi Warga dan Sudah Basi
Kendala yang berkaitan dengan bimtek, logistik dan kesehatan KPPS juga ditemukan.
Menurut Gaffar, bisa dikatakan bahwa dampak beban kerja yang tinggi, ditambah riwayat penyakit yang diderita jadi penyebab atau meningkatkan risiko kematian anggota KPPS.
Selain itu, mereka juga menemukan bahwa manajemen risiko di lapangan sangat lemah, sehingga menyebabkan petugas KPPS yang sakit tidak ditangani dengan baik, sampai akhirnya menyebabkan kematian.
"Jadi temuan kami, (KPPS) yang tidak ada penyakit dan misalnya bisa menghandle tekanan-tekanan dengan baik, itu mereka tidak mengalami peristiwa (kematian dan sakit)," kata Gaffar.
• Meski Sudah Dilarang Polisi, Massa Tetap Nekat Padati Sekitar Gedung MK Jelang Sidang Putusan
Ormas Gelar Aksi 27 Juni 2019
Seperti diketahui, setidaknya ada 10 ormas dan lembaga yang memberitahukan akan melakukan aksi mengawal putusan MK, Kamis (27/6/2019).
Dikutip dari Tribunnews berdasarkan data yang diterima oleh Mabes Polri, berikut daftarnya.
1. GISS
2. GMJ
3. FCM
4. Ormas Islam 212
5. MMUA
6. LPI
7. FPI
8. GNPF
9. GRANAT Cijantung
10. Alumni UI
Potensi Gangguan Aksi Disebut Tak akan Sebesar Demo 21-22 Mei
Dikutip dari Kompas.com, Porli melakukan upaya antisipasi segala bentuk gangguan dalam aksi tersebut.
Meski demikian, Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karo Penmas) Divisi Humas Polri Brigjen Pol Dedi Prasetyo menyatakan potensi gangguan aksi tidak akan sebesar demo 21-22 Mei lalu.
Menurutnya, hal tersebut berdasarkan informasi dari intelejen yang pihaknya dapat.
"Ancaman, gangguan di pelaksanaan PHPU MK ini tidak semasif, serawan ketika massa melaksanakan demo 21-22 di Bawaslu," ungkap Dedi di Gedung Humas Mabes Polri, Jakarta Selatan, Rabu (26/6/2019).
• Jelang Putusan Sidang, BPN Tetap Optimis MK Diskualifikasi Jokowi: Tetapkan Prabowo Jadi Presiden
"Tidak menutup kemungkinan potensi-potensi anarkis yang dilakukan oleh orang-orang tertentu yang sengaja memprovokasi massa yang tadinya damai, psikologi massa yang sangat mudah dipengarahui, itu kita antisipasi," imbuhnya.
Diketahui, dalam mengawal aksi tersebut, ada 47 personel gabungan diturunkan.
Di antaranya 17 ribu TNI dan 28 ribu Polri.
Selain itu, ada juga pemerintah daerah sebanyak 2.000 orang. (TribunWow.com/Lailatun Niqmah)
WOW TODAY: