Pilpres 2019
Kartu Pra Kerja Jokowi, Bisakah Tepat Sasaran?
Kartu Pra Kerja yang diwacanakan calon presiden petahana Joko Widodo akan sulit untuk diawasi penggunaannya dan efektivitasnya.
Editor: Rekarinta Vintoko
Namun, ia mengatakan anggaran yang dibutuhkan untuk memberi tunjangan pada individu-individu yang belum bekerja bisa jadi cukup besar.
Efektivitas program seperti itu pun masih jadi pertanyaan, katanya.
"Bukan masalah membebani anggaran atau tidak, tetapi yang lebih urgent bagaimana target tersebut tepat sasaran. Saya lebih prefer kalau tunjangan tidak diberikan per-individu," katanya.
Ia menambahkan program itu sebaiknya jangan bersifat seperti "pemadam kebakaran", tapi fokus ke upaya peningkatan kompetensi dan keterampilan individu melalui pengembangan BLK.
Pemerintah, ujarnya, harus berupaya membuat BLK berdaya saing dan sesuai dengan kebutuhan pasar kerja.
"Saya lebih cenderung bagaimana uang ini digunakan untuk keterampilan karena kalau (tunjangan diberikan) ke individu, bagaimana monev (monitoring dan evaluasi program)-nya? Kan susah," kata Triyono.
"Saya condong (anggaran dialirkan) ke BLK Daerah...Jadi monev, (data) orang itu kerja di mana, akan lebih terkontrol karena terstruktur," katanya.
Sementara itu, Arya Sinulingga mengatakan timnya belum secara spesifik merencanakan sistem pengawasan program ini.
• Kritik Janji Kartu Pra Kerja Jokowi, Fadli Zon: Jangan Berikan Impian Kosong, Pikirkan Dulu Honorer
'Menuju welfare-state'
Pengamat reformasi administrasi dari Universitas Padjajaran, Bandung, Jawa Barat, Yogi Suprayogi Sugandi, mengatakan pemerintah perlu merinci sasaran juga prasyarat penerima kartu Pra Kerja agar tidak salah sasaran.
"Misalnya, mereka diberi kesempatan magang di kantor pemerintah dan sebagainya dan diberi tunjangan oleh pemerintah. Jika selama satu tahun dia tidak dapat pekerjaan, dia akan diberikan modal usaha," katanya.
Ia mengatakan pemerintah bisa belajar dari pelaksanaan program Bantuan Langsung Tunai (BLT) di era mantan presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang kurang tepat sasaran.
Saat itu, alih-alih menggunakan subsidi untuk membeli bahan makanan, katanya, banyak masyarakat miskin yang menggunakan uang itu untuk membeli pulsa.
Yogi menambahkan konsep ini perlu dimatangkan, karena terkait juga dengan kesiapan fiskal.
"Karena masalah BPJS saja kita masih keteteran, apalagi sekarang ditambah lagi untuk melindungi yang tidak kerja," ujarnya.