Gejolak Rupiah
Nilai Tukar Rupiah Menguat, Chatib Basri Ingatkan Pemerintah soal Gejolak Arus Modal
Mantan Menteri Keuangan sekaligus ekonom Chatib Basri angkat bicara soal penguatan nilai tukar di banyak negara termasuk rupiah.
Penulis: Vintoko
Editor: Wulan Kurnia Putri
TRIBUNWOW.COM - Mantan Menteri Keuangan sekaligus ekonom, Chatib Basri angkat bicara soal penguatan nilai tukar di banyak negara termasuk rupiah.
Hal itu disampaikan Chatib Basri melalui akun Twitternya, @ChatibBasri, Senin (7/1/2019).
Awalnya, Chatib Basri mengutip pernyataan Gubernur Bank Sentral AS, Jerome Powell yang mengatakan Federal Reserve atau The Fed 'akan bersabar' dalam menaikkan bunga.
• Nilai Tukar Rupiah Menguat, Sempat Tembus Rp 13.990 hingga Jadi Trending Twitter
Kenaikan bunga, kata Chatib Basri, membawa dampak pada penguatan nilai tukar banyak negara termasuk rupiah.
"Seperti sy tweet hari Jumat kemarin, pidato Jerome Powell yg menyatakan bahwa Fed “akan bersabar” dalam menaikkan bunga telah membawa dampak pd penguatan nilai tukar banyak negara termasuk Rupiah," tulis Chatib Basri.
Chatib Basri menduga, arus modal masuk akan kembali terjadi dan pasar keuangan akan bergairah.
Hal ini dikatakannya karena Indonesia masih tidak bisa lepas dari arus modal asing yang sangat bergantung pada sentimen pasar.
• Pemkab Tak Sanggup Bayar Gaji, Ribuan Pegawai Honorer di Simalungun Diberhentikan
Chatib menjelaskan situasi rupiah yang sempat menembus angka Rp 15 ribu per dollar AS pada 2018 bisa saja berulang.
Pasalnya, kata Chatib Basri, The Fed memiliki kemungkinan untuk menaikkan suku bunga dengan cepat.
"Dugaan saya arus modal masuk akan kembalo terjadi dan pasar keuangan akan bergairah.
Namun saya ingin mengingatkan sejak dini.
Arus modal ini satu hari akan kembali lagi keluar krn sifatnya hot money.
Jika Fed kemudian kembali lagi menaikkan bunga dg cepat, maka situasi 2018 akan berulang," tulis Chatib Basri.
Oleh karena itu, Chatib Basri mengingatkan sejak awal kepada pemerintah tentang perlunya financial deepening agar peran dari investor lokal lebih dominan.
Selain itu, lanjut Chatib Basri diperlukan macro prudential untuk mengatasi gejolak arus modal
"Sy ingin mengingatkan sejak awal tentang perlunya financial deepening spy peran dari investor lokal lebih dominan. Selain itu perlu macro prudential dlm bentuk tobin tax, reverse tobin tax atau aturan lain untuk mengatasi gejolak arus modal.
Tanpa ini, situasi 2018 akan berulang. Saya ingat satu obrolan dg ekonom Carmen Reinhart di Harvard beberapa tahun lalu: 3 kata yg paling berbahaya adalah this time is different. Dan policy maker cenderung berkata itu pada saat arus modal masuk
Saatnya bagi kita utk tdk mengulangi kesalahan dg menganggap bahwa arus modal yg masuk, rupiah yg menguat, pasar keuangan yg bergairah ini berbeda dg yang lalu. This is (not) different," tulis Chatib Basri.
Sebelumnya diberitakan, nilai tukar rupiah terhadap dollar AS hari Senin (7/1/2019) mengalami penguatan.
Mengutip Reuters, pada Senin (7/1/2019) pukul 11.43 WIB, dollar AS sempat tercatat di level Rp 13.990.
Rp 13.990 pun sempat menjadi trending teratas, karena menjadi level terendah rupiah terhadap dollar AS setelah sebelumnya stagnan di level Rp 14.000an.
Namun, angka tersebut tak berlangsung lama.
Pukul 15.00 WIB, nilai tukar rupiah terhadap dollar AS kembali ke angka Rp 14.070.
Namun, angka tersebut tentunya menguat jika dibandingkan dengan penutupan perdagangan pada Jumat (4/1/2019) sebesar Rp 14.270 per dollar AS.
Mengutip Bloomberg, pada perdagangan Senin (7/1/2019), nilai tukar rupiah terhadap dollar AS dibuka pada level Rp 14.177,8.
Mengutip Kontan.co.id, Kepala Ekonom Bank Central Asia (BCA), David Sumual mengatakan, penguatan rupiah ini merupakan kelanjutan dari pertahanan rupiah yang sudah berlangsung sejak minggu lalu.
"Appetite investor untuk kembali masuk ke emerging market memang cukup besar," jelasnya.
Selain itu, saat ini keadaan pasar negara maju, seperti Amerika Serikat, sedang mengalami masa sulit.
Hal ini tentu turut mendorong penguatan rupiah.
"Minggu lalu, terjadi shutdown pemerintahan AS, maka pelaku pasar cenderung beralih ke Asia maupun negara berkembang," terang analis Bank Panin William Hartanto.
Lebih lanjut, faktor eksternal lain yang juga memengaruhi penguatan rupiah adalah kebijakan Gubernur Federal Reserve (The Fed) Jerome Powell untuk tidak menaikan suku bunga sebanyak tahun lalu.
Di tahun 2018, The Fed tercatat sudah empat kali menaikan suku bunga.
"Sekalipun ada kenaikan di tahun 2019, itu tidak akan seagresif tahun lalu. Kebijakan moneter The Fed akan lebih rileks, mungkin hanya terjadi kenaikan dua kali," kata David lagi.
• KPU Tidak Fasilitasi Sosialisasi Visi Misi, Dahnil Anzar: Enggak Mau Ditinggikan Kualitas Pemilunya
Hal ini lantas menjadikan investor menginvestasikan uangnya ke Asia, termasuk Indonesia, dan menjadikan rupiah terus mengalami penguatan.
Negosiasi dagang antara China dengan AS juga menjadi faktor eksternal lainnya.
"Ada harapan yang tumbuh di pasar, bahwa hasil perundingannya bisa positif," ungkap David.
Berdasarkan faktor-faktor eksternal yang dipaparkannya itu, David memproyeksikan, rupiah akan bertahan di level Rp 14.000 hingga Rp 14.100 hingga esok hari.
(TribunWow.com)