Terkini Daerah
Mbah Parno, Pelayan Arsitek Masjid Istiqlal yang Bertemu Soekarno dan Diancam Ditembak Soeharto
Proses pembangunan Masjid Istiqlal yang berlangsung 66 tahun silam masih melekat di memori Suparno (95) atau yang akrab disapa Mbah Parno.
Editor: Astini Mega Sari
TRIBUNWOW.COM - Proses pembangunan Masjid Istiqlal yang berlangsung 66 tahun silam masih melekat di memori Suparno (95).
Pria yang kerap disapa Mbah Parno itu dikenal sebagai pelayan Frederich Silaban, arsitek Masjid Istiqlal.
Mbah Parno lahir di Boyolali, Jawa Tengah sekitar 1923, di tanggal yang ia tak tahu persis.
Setelah remaja, Mbah Parno merantau ke Purwakarta sebagai kuli di truk pasir.
Sekitar tahun 1952, Mbah Parno dan truk pasirnya menuju ke Jakarta melewati bekas Taman Wilhelmina yang berada di Timur Laut Lapangan Medan Merdeka.
Di hamparan tanah luas itu, Mbah Parno melihat proyek.
• Tinggal Sendiri di Rumah 3x4 Meter, Nenek 100 Tahun Buat Mata Kapolda Berkaca-kaca
"Saya nengok 'Wah ada proyek nih', saya turun dan coba ikut. Kata mandornya 'Silakan, ini proyek besar butuh orang banyak sekali'," tutur Mbah Parno saat ditemui di rumahnya, Sabtu (7/1/2018) lalu.
Mbah Parno pun bergabung sebagai kuli di proyek pembangunan Istiqlal, masjid terbesar se-Asia Tenggara kala itu.
Pekerjaannya melelahkan, namun ia tak merisaukan tempat tinggal sebab ia bisa tidur di proyek.
Terpaksa jadi pelayan
Saat pemancangan tiang pertama oleh Presiden Soekarno pada 24 Agustus 1961, Mbah Parno bekerja sebagai kuli.
Ia ingat sering bersalaman ketika Bapak Proklamator itu berkunjung.
"Pak Soekarno tanya saya asal mana, saya bilang dari Boyolali, dia tanya kok saya ke Jakarta, ya saya bilang untuk menyambung hidup. Dia bilang 'Oh ya sudah kerja yang baik, istirahat kalau capek, makan kalau lapar'," kenang Mbah Parno.
• Vanessa Angel Video Call dengan Mata Sembab, sang Kekasih: Cepat Pulang dan Sembayang
Belum lama menjadi kuli, suatu pagi sang mandor mengumumkan tengah membutuhkan satu orang untuk menjadi pelayan Silaban dan insinyur-insinyur yang membangun Istiqlal.
Dari ribuan kuli, tak ada yang mau menjadi pelayan.