Pilpres 2019
Ini Alasan Utama Sejumlah Tokoh Beralih Dukungan ke Paslon Berbeda pada Pilpres 2019
Sejumlah tokoh mengungkapkan alasannya mengapa berpindah dukungan pada Pilpres 2019 mendatang dibandingkan dengan Pilpres 2014 lalu
Penulis: Nila Irdayatun Naziha
Editor: Claudia Noventa
TRIBUNWOW.COM - Sejumlah tokoh politik mengungkapkan jika dirinya mempunyai alasan tersendiri mengapa pada pemilu 2019 mendatang memilih untuk mengusung pasangan presiden dan wakil presiden yang berbeda.
Diketahui, pemilihan presiden dan wakil presiden pada tahun 2019 ini, dipertarungkan oleh dua sosok yang sama seperti pada tahun 2014 lalu.
Yakni Prabowo Subianto dan Joko Widodo.
Hanya saja, kedua pasangan calon mempunyai wakil yang berbeda dari tahun 2014 lalu.
• Di Balik Layar Mata Najwa, Exco PSSI Hidayat Berulang Kali Menolak Telepon dengan Alasan Stres
Joko Widodo dengan Ketua Majelis Ulama Indonesia KH. Ma'ruf Amin, sedangkan Prabowo Subianto dengan Sandiaga Uno, Mantan Wakil Gubernur DKI Jakarta.
Dilansir dari acara Mata Najwa, Rabu (5/12/2018), dengan tema 'Barisan Para Mantan', berikut TribunWow.com rangkum alasan sejumlah tokoh memutuskan untuk mengusung pasangan calon presiden pilihannya pada tahun 2019:
Setelah menceritakan awal pertemuan dirinya dengan Jokowi di acara Mata Najwa, Ferdinand baru mulai membicarakan alasan mengapa dirinya tidak lagi mendukung Jokowi.
"Nah ternyata, setelah pemerintahan ini berjalan dan mulai menang, saya mulai ragu tentang pemahaman Pak Jokowi tentang ajaran Bung Karno ketika beliau menyusun kabinetnya," imbuh Fedinand.
Ferdinand bahkan menyampaikan jika dirinya mencermati bagaimana penyusunan kabinet yang dilakukan oleh Jokowi.
Dari hal tersebut, Ferdinand mengakui jika dirinya ragu dengan langkah yang dilakukan Jokowi karena dianggap tidak sesuai dengan Trisakti ajaran Presiden Soekarno.
"Saya melihat betul, mencermati betul, bagaimana Pak Jokowi ini kesulitan menyusun kabinetnya karena banyaknya intervensi, ternyata kedaulatan itu tidak ada disana, itu yang membuat saya semakin ragu dan terus berjalan pemerintahan Pak Jokowi, awal-awal tahun itu pemerintahan semakin jauh dari cita rasa trisakti yang selalu disampaikan dan akhirnya saya melihat ini semakin melenceng," terangnya.

• Laga Penentu untuk PSM Makassar yang Bertekad Juara dan PSMS Medan yang Harus Lolos Zona Degradasi
Keraguannya tersebut juga semakin memuncak pada saat 100 hari peringatan masa pemerintahan Jokowi.
"Saya semakin mulai kritis pada 100 hari pemerintahan beliau, ada diskusi publik saya diundang sebagai pembicara, saya memang menyatakan sikap pada waktu itu, saya agak ragu dengan Jokowi ini lama kelamaan."
"Dan sekarang terbukti memang, sekarang semua yang saya khawatirkan itu terjadi dan saya harus mengambil sikap politik untuk itu," tegas Ferdinand.
"Pada saat penyusunan kabinet, saya sangat keras memprotes beliau, karena banyak orang-orang yang saya anggap tidak seharusnya ada di situ, ada."
"Masih ada pernyataan saya memprotes itu, karena Jokowi tunduk kepada pemodal untuk menyusun kabinet itu," lanjut Ferdinand.
Terkait permasalahan yang disampaikan oleh Ferdinand terkait keraguannya pada Jokowi, ia lantas menegaskan jika saat ini dirinya tidak mempunyai harapan lagi pada Jokowi.
"Saya begini, dalam sebuah situasi seperti ini, tentu saya tidak punya harapan lagi kepada Pak Jokowi, saya harus melabuhkan harapan saya kepada sosok baru, kalau istilahnya berjudi, saya tidak mungkin meneruskan perjuadian yang sudah kalah, saya pindah lagi ke tempat yang baru."
"Pak Jokowi ini kan menurut saya sudah gagal, tidak ada harapan lagi disana, jadi saya harus berpindah ke harapan yang baru," pungkas Ferdinand.
• Fakta Pembunuhan Pekerja di Nduga oleh KKB: Dieksekusi hingga Helikopter TNI Ditembaki
Kapitra juga mengungkapkan penjelasannya saat ditanyai oleh pembawa acara Najwa Shihab mengenai alasan berpindah dukungan.
Namun secara tegas, Kapita mengungkapkan jika dirinya dari awal memang sudah mendukung Jokowi, sehingga dirinya bukan berpindah dukungan.
"Saya mau katakan politik itu dinamis, ketika dulu Prabowo dengan Bu Mega, Pak Prabowo mengusung Pak Jokowi dengan Ahok, itu dinamis," ungkap Kapitra.
"Tetapi ketika saya masuk PDI, tentu ada pro dan kontra, dan itu menyenangkan, tetapi yang kurang menyenangkan itu ada stigma yang menyebut pengkhianatan," lanjutnya.
Ia lantas mengungkapkan pemikirannya yang dikaitkan dengan aksi bela islam pada 2016 lalu.
"Saya tidak tahu, pengkhianatan apa? Saya ikut aksi bela islam karena ada hukum disitu, ada hukum yang terlanggar, ada kesepakatan bersama antar hidup berbangsa dan bernegara," ungkapnya.

• QoryGore Klarifikasi soal Videonya di Aokigahara Jepang yang Viral dan Dihapus YouTube
Secara tegas Kapitra mengungkapkan jika dirinya memang mendukung Jokowi dari 2014 lalu.
"2014 saya pilih Jokowi tidak pilih Prabowo, Kalau 2019 saya pilih Jokowi lagi saya konsisten dengan sikap itu," jelasnya.
Ia lantas menjelaskan jika pada saat menjadi pengacara Rizieq Shihab, dirinya tidak membuat komitmen apapun dengan kubu Prabowo.
"Saya ini seorang advokat, saat saya bergabung dengan Habib Rizieq dan aksi bela islam, tidak ada komitmen bahwa aksi bela islam itu menjadi bermetamorfosis menjadi aksi mendukung Prabowo-Sandi."
"Tidak ada komitmen apapun, dari awal ada komitmen saya enggak ikut," lanjut Kapitra.
"Ini aksi bela islam, bukan aksi politik, ketika aksi bela islam nya selesai, yang penista agamanya sudah diadili, " jelasnya secara tegas.
• Terbukti Terima Gratifikasi Lebih dari Rp40 Miliar, Zumi Zola Divonis 6 Tahun Penjara
3. Dedy Mulyadi
Dedy Mulyadi merupakan tim kampanye Prabowo Subianto pada pilpres 2014, kemudian saat ini menjadi tim kampanye Jokowi untuk pemilu 2019 mendatang di wilayah Jawa Barat.
Ia lantas menjelaskan alasannya mengapa akhirnya berpindah haluan dalam pilpres 2019.
"Yang pertama adalah hasil kerjanya (Jokowi) bisa dilihat, di mana desa saat ini mendapat dana yang cukup relatif besar, bagaimana orang miskin mendapat beras premium dalam setiap bulan, bagaimana mereka mendapat biaya sekolah lima ratus ribu sebulan," jelasnya.

Ia kemudian menjelaskan jika keputusannya memilih Jokowi pada Pilpres 2019 merupakan sebuah wujud realistis mendorong kesinambungan.
"Ini kan orientasi yang tidak didapatkan sebelumnya, kalau sudah seperti ini, maka kita harus secara realistis mendorong agar ada kesinambungan kedepan dan tidak terpotong di tengah jalan, " terangnya.
"Kalau sudah dirasa enak ngapain harus diganti," lanjut Dedy.
• Satu Studio Mata Najwa Tertawa hingga Bersorak saat Yunarto Wijaya Singgung Ferdinand Hutahaean
Kemudian Dedy mengungkapkan jika pilihannya tersebut berubah, tidak akan menjadi suatu masalah.
"Saya selalu melihat orang realistis dari sisi kapasitas yang dimiliki dalam sudut pandang saya, sehingga kalau hari ini berubah, kan tidak ada problem apapun, karena kita kan tidak pernah bermusuhan, dan tidak pernah menjelekkan pada saat memimpin, dan tidak juga juga berapologi terhadap apa yang menjadi pilihan kita terlalu tinggi," pungkasnya.
(TribunWow.com/Nila Irdayatun Naziha)