Kabar Tokoh
Dahnil Anzar Pertanyakan Divestasi Saham Freeport yang Belum Terealisasi, Arsul Sani Beri Penjelasan
Dahnil Anzar Simanjuntak dan Arsul Sani tampak beda pendapat terkait pembayaran pembelian 51 saham PT Freeport Indonesia.
Penulis: Vintoko
Editor: Maria Novena Cahyaning Tyas
TRIBUNWOW.COM - Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah, Dahnil Azhar memberikan tanggapan soal divestasi 51 persen saham PT Freeport Indonesia.
Dilansir TribunWow.com, hal tersebut ia sampaikan melalui akun Twitter-nya, @Dahnilanzar, Jumat (19/10/2018).
Awalnya, Dahnil Anzar mentautkan pemberitaan dari dpr.go.id, yang menyebutkan hingga saat ini PT Inalum sebagai wakil pemerintah belum melakukan pembayaran terkait pembelian 51 persen saham PT Freeport.
• Fahri dan Ferdinand Tanggapi soal Dokumen yang Sebut Divestasi Saham Freeport Belum Terealisasi
Dalam pemberitaan itu juga disebutkan, pembayaran baru akan dilakukan setelah masalah isu lingkungan dapat diselesaikan.
Menanggapi hal itu, Dahnil Anzar mempertanyakan apakah Presiden Joko Widodo (Jokowi) melakukan kebohongan publik atau tidak.
Pasalnya, menurut Dahnil, dalam pidato kenegaraan pada 16 Agustus 2018 lalu menyatakan jika pemerintah telah melakukan divestasi 51 persen saham atas PT Freeport Indonesia.
Lantas, sambil mentautkan akun Arsul Sani, Dahnil mengatakan ternyata belum serupiah pun yang dibayar dan hal itu akan menjadi berbahaya karena negeri dikelola secara sembarangan.
"Presiden melakukan kebohongan Publik? Dalam pidato kenegaraan yg sakral 16/8/18 menyatakan pemerintah telah melakukan divestasi saham Freeport 51 Persen, @arsul_sani ternyata belum serupiah pun. Bahaya sekali dg perangkat lengkap negeri dikelola ugal-ugalan," tulis Dahnil Anzar.
Terkait cuitan Dahnil Anzar, Arsul Sani yang merupakan politisi PPP sekaligus Anggota Komisi III DPR ini memberikan tanggapannya.
Arsul Sani menjelaskan jika proses akuisisi saham PT Freeport sebaiknya dibaca dengan dokumen-dokumen akuisisi hingga 'closing terms'.
Menurutnya, hal itu dilakukan agar mengerti bagaimana tahapan akuisisi yang dilakukan.
"1. Sbg intelektual, sy yakin Bung @Dahnilanzar sepakat menilai proses akuisisi saham Freeport seyogianya dg baca dokumen2 akuisisi, termsk closing terms-nya, agar bisa nilai bgmn tahapan akuisisi dilakukan. Intelektual tdk patut berkesimpulan berdasar sepotong berita pendek," tulis Arsul Sani melalui akun @arsul_sani.
Dahnil Anzar pun memberikan balasannya terkait penjelasan Arsul Sani.
"Sebagai intelektual apalagi paham Hukum bang @arsul_sani paham betul bahwa divestasi dinyatakan "telah" dilakukan bila transaksi selesai. Sehingga tdk perlu melakukam propoganda yg cenderung membodohi, bang. Apalagi disampaikan dipidato kenegaraan, dan diulang dipublik," tulis Dahnil Anzar.
"Divestasi 51 persen saham yg akan dilakukan terhadap Freeport berasal dari dana hutang, itu pun belum tuntas prosesnya, namun dengan congkak menyebut "telah" mengambil alih Freeport," lanjut Dahnil.
Melihat tanggapan dari Dahnil Anzar, Arsul Sani pun segera memberikan balasannya.
"Bung @Dahnilanzar tampaknya blm bisa bedakan melihat dr sisi Freeport & Pemerintah. Divestasi itu istilah untuk sisi Freeport. Kalo mau bicara dr sisi Pemerintah sbg pihak yg ambil saham adl akuisisi. Mohon dipahami dulu terminologi dasarnya dg benar," kicau Arsul Sani.
Sebelumnya diberitakan, divestasi kepemilikan saham 51 persen atas PT Freeport Indonesia ternyata masih dimungkinkan terjadinya pembatalan.
Dilansir TribunWow.com dari dpr.go.id, hal tersebut terungkap dalam Rapat Dengar Pendapat antara Komisi VII DPR RI dengan Dirjen Minerba Kementerian ESDM, Dirut Inalum, dan Dirut Freeport Indonesia, Rabu (17/10/2018).
Diketahui dari rapat tersebut, hingga saat ini PT Inalum masih belum melakukan pembayaran sebagai wakil dari pemerintah dalam pembelian 51 persen saham PT Freeport.
Pembayaran baru akan dilakukan setelah masalah isu lingkungan dapat diselesaikan.
• Unggah Dokumen Hasil Rapat DPR, Jansen Sitindaon Sebut Inalum Belum Bayar Divestasi Saham Freeport
Padahal, jika isu lingkungan tersebut tidak bisa terselesaikan dengan baik, maka transaksinya tidak akan terjadi.
Dewan di Komisi VII DPR mengaku sangat kaget mendengar hal tersebut.
Ini dikarenakan dalam Rapat Tahunan MPR pada 16 Agustus 2018 lalu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menyampaikan bahwa Pemerintah telah menguasai 51 persen saham PT Freeport.
“Persepsi publik, tahunya kita sudah melakukan pembayaran atau membeli saham PT Freeport,” ujar Ketua Komisi VII Gus Irawan Pasaribu di Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (17/10/2018).
Disampaikan DIRUT Inalum, Budi Gunadi Sadikin, besaran nilai untuk pengambilalihan saham PT Freeport Indonesia kepada PT Inalum adalah 3,85 miliar US dollar atau sekitar 57 triliun rupiah.
Gus Irawan menjelaskan, sesuai temuan BPK akan ada kewajiban sebesar 13,59 miliar US Dollar atas nilai ekosistem yang dikorbankan akibat penambangan Freeport.
Ia lantas mempertanyakan siapa yang akan membayar uang tersebut.
"Apakah dalam perjanjian-perjanjian yang ada, faktor lingkungan itu juga telah menjadi satu pertimbangan. Kalau itu dipertimbangkan, maka akan menjadi beban siapa?,” tanyanya kemudian.
Menurut Gus Irawan, jika pemerintah telah menjadi pemegang saham sebanyak 51 persen di PT Freeport, kemudian harus ada rehabilitasi, sementara PT Freeportnya sendiri tidak punya uang, pasti untuk menanggung biaya rehabilitasi kerusakan lingkungan tersebut akan meminta dananya kepada pemegang saham.
“Sementara value PT Freeport hanya 7,55%, tetapi PT Freeport punya kewajiban 13,59 miliar US Dollar. Artinya yang kita beli ini adalah nilai minus,” ujarnya.
• Terkendala Masalah Isu Lingkungan, Divestasi Kepemilikan Saham 51 Persen Freeport Bisa Gagal
Atas pernyatan tersebut, Budi menerangkan, yang bertanggungjawab terhadap isu lingkungan adalah PT Freeport Indonesia.
Namun sebagai pemegang saham resmi, PT Inalum nantinya tetap akan mendukung PT Freeport Indonesia untuk bisa menyelesaikan masalah isu lingkungan itu.
“Kalau memang isu lingkungan tersebut tidak terselesaikan dan menyebabkan IUPK nya tidak bisa diterbitkan oleh Kementerian ESDM, maka tidak mungkin dilakukan pembayaran. Sebab sesuai condition presedent yang ada dalam perjanjian, salah satu isinya adalah mengharuskan diterbitkannya IUPK. Dan di dalam IUPK itu ada lampiran khusus mengenai penyelesaian isu lingkungan,” ujarnya.
Budi juga menjelaskan, PT Inalum berusaha untuk menyelesaikan seluruh dokumen yang diperlukan, seperti izin dan kondisi-kondisi yang perlu diselesaikan hingga Desember 2018.
PT Inalum juga akan memfinalisasi pendanaannya dan diharapkan pada bulan November sudah dapat diselesaikan sehingga transaksi siap untuk dilakukan pada bulan Desember. (TribunWow.com/ Rekarinta Vintoko)