Breaking News:

Gejolak Rupiah

Yunarto Wijaya Kesal pada Pihak yang Bilang Melemahnya Rupiah sebagai Hal Biasa: Eneg Lihatnya

Yunarto Wijaya merasa kesal atas respon beberapa pihak menyikapi melemahnya nilai rupiah.

Penulis: Fachri Sakti Nugroho
Editor: Lailatun Niqmah
Repro/Kompas TV
Direktur Eksekutif Charta Politika, Yunarto Wijaya 

TRIBUNWOW.COM - Yunarto Wijaya merasa kesal atas respon beberapa pihak menyikapi melemahnya nilai rupiah.

Melalui kicauan Twitternya, Kamis (6/9/2018) Yunarto mengaku 'eneg' melihat buzzer yang mengatakan bahwa lemahnya rupiah sebagai hal yang wajar.

Namun Yunarto lebih kesal lagi ketika ada pohak yang memanfaatkan momentum lemahnya rupiah demi kepentingan politik Pilpres 2019.

Oleh Yunarto, kedua pihak itu disebutnya 's*nt*l*yo'.

"Eneg lihat buzzer yg mengatakan bahwa kondisi pelemahan rupiah & IHSG ini sebagai hal biasa yg gak perlu dirisaukan, tapi lebih mual lihat akun yg sepertinya menikmati kondisi ini demi kepentingan politik pilpres. S*nt*l*yo kalian!," kicau Yunarto.

Rupiah dan IHSG Melemah, Analis Sarankan Pemerintah Cabut Subsidi Energi

Kicauan Yunarto di atas juga mendapat respon dari mantan staf khusus menteri ESDM Muhammad Said Didu.

Said Didu meminta kepada semua pihak untuk bersatu menghadapi pelemahan nilai rupiah ini.

"Mari bersatu hadapi masalah ini krn jika tidak, semua kita akan jadi susah ke depan," kicau Said Didu, Kamis.

Postingan Yunarto Wijaya dan Said Didu
Postingan Yunarto Wijaya dan Said Didu (Capture Twitter)

 

Ekonom Amerika Serikat Steve Hanke Sebut Jokowi Omong Kosong soal Rupiah, Fadli Zon: Ironis

Diberitakan sebelumnya, hingga kini nilai rupiah tak kunjung menguat dan masih berada di kisaran Rp 14.900-an hingga Rp 15.000-an per dolar Amerika Serikat (AS).

Kondisi ini mulai banyak memunculkan banyak spekulasi di berbagai kalangan.

Peneliti di Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan, krisis memang sedang berlangsung namun di tingkat global yang dimulai oleh negara berkembang, yakni krisis mata uang Turki dan Argentina.

Namun, kondisi saat ini tidak separah tahun 1998.

"Meski sama-sama dipicu krisis mata negara berkembang, di mana tahun 1998 dimulai dari Thailand dan Indonesia, kondisi saat ini sedikit berbeda," kata Bhima kepada Kontan.co.id, Rabu (5/9/2018).

Sebab, saat ini Indonesia lebih siap menghadapi hal itu.

Sebelum krisis tahun 1996 silam, cadangan devisa (cadev) Indonesia hanya sekitar US$ 28,3 miliar. Sementara di akhir Juli 2018, cadev milik Indonesia mencapai US$ 118,3 triliun.

Halaman
12
Sumber: TribunWow.com
Tags:
Yunarto WijayaRupiah
Berita Terkait
ANDA MUNGKIN MENYUKAI
AA
KOMENTAR

BERITA TERKINI

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved