Gejolak Rupiah
Teddy Gusnaidi Memaparkan Kondisi Ekonomi Indonesia di Era Jokowi, SBY, serta Krismon 1998
Teddy Gusnaidi sebut kondisi ekonomi Indonesia di era Jokowi disebabkan oleh faktor eksternal, tidak seperti saat era SBY dan krisis moneter 1998.
Penulis: Ananda Putri Octaviani
Editor: Claudia Noventa
TRIBUNWOW.COM - Dewan Pakar PKPI, Teddy Gusnaidi, turut memberikan tanggapan mengenai lemahnya nilai tukar rupiah.
Dilansir TribunWow.com, hal tersebut disampaikan Teddy Gusnaidi melalui laman Twitter, @TeddyGusnaidi, yang ia unggah, pada Rabu (5/9/2018).
Melalui kicauannya, Teddy Gusnaidi menjelaskan penyebab melemahnya nilai tukar rupiah.
Teddy juga mengungkapkan perbedaan kenaikan harga dolar Amerika Serikat (AS) 2018 dengan krisis moneter tahun 1998.
• Rupiah Tembus Rp 15 Ribu per Dolar AS, Jokowi: Kita Harus Hati-Hati
Lebih lanjut, Teddy bahkan membandingkan kondisi ekonomi negara di era presiden ke-6 RI, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dengan era Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Berikut cuitan lengkap Teddy Gusnaidi mengenai hal tersebut.
"1. Harga dolar naik saat ini bukan karena ekonomi negara kita lemah, tapi karena terimbas defisit perdagangan Amerika serikat. Ditambah lagi perseteruan dagang antara Amerika & china. Soal ini bisa kalian googling untuk mendapatkan penjelasan kenapa dolar menguat terhadap rupiah.
• Para Pelatih Klub Eropa Tuntut UEFA Tinjau Ulang Aturan Away Goal di Liga Champions dan Europa
2. Saya mau jelaskan bahwa krisis moneter tahun 1997 itu terjadi dan bisa diatasi. Tapi dolar kembali menguat hingga tembus 16.650 pada bulan juni 1998 dikarenakan terjadi kerusuhan massal dan jatuhnya rezim orde baru. Ekonomi internal tumbang pada titik rendah.
3. Jadi harus dipahami bahwa krisis moneter itu terjadi bukan karena kesalahan urus negara tapi karena terimbas masalah dunia. Negara tinggal mensiasati bagaimana kenaikan dolar tidak begitu berimbas besar pada kenaikan harga kebutuhan pokok masyarakat.
4. Krisis ekonomi yang berdampak sangat besar pada harga-harga kebutuhan pokok saat itu karena kerusuhan dan jatuhnya rezim orde baru. Bukan lagi masalah dunia, tapi masalah internal bangsa ini. Hal tersebut tidak terjadi di rezim Jokowi. Keamanan stabil dan ekonomi stabil.
5. Begini perbandingan simpelnya.., di tahun 1996, sebelum harga dolar naik, mayoritas masyarakat hanya mampu beli rokok ketengan. Makanya di berbagai warung zaman itu, rokok Sampoerna misalnya banyak dijual ketengan. Daya beli masyarakat ada tapi terbatas.
6. Di era ini, harga dolar tinggi, tapi warung sudah jarang menjual rokok ketengan, karena masyarakat mampu membeli rokok perbungkus. Ini perbandingan yang paling mudah dan paling menyentuh kondisi riil di masyarakat. Sebelum harga dolar melonjak dan setelah harga dolar melonjak.
7. Artinya, ekonomi masyarakat di zaman orde baru sebelum krisis moneter tahun 1997, dimana harga 1 dolar masih Rp. 2000,- lebih rendah dibandingkan ekonomi masyarakat zaman sekarang yang harga 1 dolar di atas Rp. 14.000,-
8. Melonjaknya nilai tukar dolar hingga Rp.16.650,- di tahun 1998 bukan masalah eksternal tapi masalah internal. Kerusuhan massal dan jatuhnya rezim orde baru membuat ekonomi nasional anjlok hingga harga-harga kebutuhan pokok melonjak tinggi. Itu masalah utamanya.
9. Rezim Presiden Habibie, Gus dur dan Megawati berhasil menurunkan kembali nilai tukar dolar dibawah Rp. 10.000,-. tapi bukan itu yang terpenting.., yang terpenting adalah mengembalikan ekonomi negara yang anjlok pasca kerusuhan dan pergantian rezim. Dan mereka berhasil.