Bom di Surabaya
Kisah Hidup Keluarga Pelaku Bom di Gereja, Sang Anak Sering Bersepeda hingga Pernikahan Tak Direstui
Inilah kisah hidup keluarga pelaku peledakan bom di Gereja Surabaya, keluarga yang tertutup hingga kisah pernikahan tak direstui.
Penulis: Fachri Sakti Nugroho
Editor: Fachri Sakti Nugroho
TRIBUNWOW.COM - Bom yang meledak di beberapa tempat di Jawa Timur menyisakan duka yang mendalam.
Aksi terorisme yang keji dan merenggut nyawa itu tak bisa dibenarkan dengan dalih apapun.
Semua agama atau keyakinan di dunia ini tak ada satupun yang mengajarkan penganutnya untuk melakukan aksi terorisme.
Para pelakunya adalah orang yang tersesat oleh ideologi dan dogma palsu yang tak secuil pun mengandung unsur kebenaran.
Penting bagi kita untuk menjaga keluarga dan masyarakat sekitar agar tak mendekati ideologi yang mengantarkan penganutnya pada aksi terorisme.
Sasaran ideologi terkutuk ini kini tak hanya menyasar pada lekali belaka.
Perempuan dan anak pun menjadi ceruk potensial untuk disusupi ideologi terorisme.
Untuk menangkalnya, pendekatan, kasih sayang dan keterbukaan menjadi kunci utama agar keluarga dan masyarakat sekitar kita tidak terinfeksi virus teroris ini.
Berikut ini fakta-fakta kehidupan pelaku teroris di Surabaya yang dikenal tertutup dan jarang bersosialisasi dengan warga sekitar.
• Motif Kuat Inilah yang Membuat Pelaku Tega Korbankan Keluarganya & Anak Kecil Ledakkan Bom di Jatim
Anggota Jamaah Ansharut Daulah (JAD)
Diketahui sebelumnya, pelaku bom di Gereja di Surabaya adalah satu keluarga. Mereka adalah Dita Upriyanto, Puji Kuswati, Yusuf Fadil, Firman Halim, Fadhila dan Pamela Riskita.
Puji Kuswati melakukan bom bunuh diri bersama dua anak perempuannya, Fadhila dan Pamela Riskita, di GKI Diponegoro.
Kedua anak laki-lakinya, Yusuf Fadil dan Firman Halim, meledakkan diri di Gereja Santa Maria Tak Bercela, Surabaya, dengan mengendarai sepeda motor.
Sementara Dita Upriyanto, sebagai kepala keluarga, melakukan bom bunuh diri di Gereja Pantekosta Pusat dengan mengendarai mobil.
Kapolri Jenderal Tito Karnavian kepada media menyampakan bahwa pelaku adalah anggota jemaah JAD.
Kelompok ini tidak lain adalah sel jaringan ISIS.
"Dita adalah Ketua JAD (jaringan Ansarut Daulah) Surabaya."
"Jaringan ini kaitannya dengan JAT (Jaringan Ansarut Tauhid). Keduanya terkait dengan ISIS," kata Tito, Minggu (13/5/2018).
Pimpinan mereka adalah Aman Abdurahman yang yang saat ini ditahan di Mako Brimob.
Jaringan mereka terkait dengan jaringan teroris ISIS.
JAD di Surabaya adalah bagian sel jaringan ISIS.
Kapolri mencatat baik anggota JAD maupun JAT saat ini telah berangkat ke Siria.
Namun ada yang sudah kembali ke Indonesia.
Tito mencatat anggota ISIS di Indonesia yang berangkat sebanyak 1.100.
Sebanyak 500 ada di Syiria sekarang.
Sebanyak 103 telah meninggalkan Syiria dan 500 di deportase.

• Terkait Pengeboman di Surabaya, SBY: Masyarakat Jangan Terprovokasi
Tertutup
Satu keluarga pelaku dikenal sebagai keluarga yang tertutup meski sesekali juga merespon ketika disapa warga.
Namun mereka jarang berinteraksi dengan warga sekitar. Sehingga warga pun tak begitu mengenal keluarga pelaku.
Seorang tetangga pelaku, Tanjung (50), mengungkapkan pelaku telah tinggal sejak 2010-2011 lalu.
Keluarga pelaku juga diketahui berasal dari Banyuwangi.
"Setengah tertutup, kalau ketemu ya nyapa," kata Tanjung pada TribunJatim.com, Minggu.
"Sebelum ada insiden, sekitar jam 13.00 WIB, ada beberapa orang datang. Busananya sama, tertutup gitu," ujarnya.
Ia menyebutkan mengetahui keseharian keluarga pelaku sebagai penjual obat herbal.
"Pekerjaan (mereka) saya nggak tahu pasti, yang saya tahu sering jual herbal gitu," papar Tanjung.
Anaknya pun terlihat sering bermain di depan rumahnya.
"Anaknya juga sering sepedaan di depan rumah," ujarnya.

Pernikahan tak direstui
Keluarga Puji Kuswati, pelaku bom bunuh diri di Gereja Kristen Indonesia Diponegoro, Surabaya, sempat tidak merestui pernikahan Puji dengan Dita Upriyanto.
Rusiono, perwakilan keluarga Puji, mengatakan, keluarganya tidak merestui pernikahan karena perilaku Dita yang dianggap tertutup dan tidak bisa dekat dengan keluarga.
"Tapi, akhirnya mereka tetap melangsungkan pernikahan dan diurusi oleh keluarga angkatnya yang di Magetan. Ya keluarga di Banyuwangi akhirnya menerima," ujar Rusiono kepada Kompas.com, Senin (14/5/2018).
Selama menikah, Puji mengikuti sikap suaminya. Ia jarang bergaul dan menjadi pribadi yang lebih tertutup.
Bahkan, dia mulai jarang berkunjung ke Banyuwangi termasuk saat Lebaran.
Puji pun jarang berkomunikasi intens dengan keluarganya.
"Untuk penampilan saat pulang ke Banyuwangi ya biasa saja. Nggak ada yang berbeda. Nggak pakai cadar. Sama kayak yang lainnya. Pakaiannya tidak mencolok," katanya.
Rusiono mengaku tidak mengetahui aktivitas sehari-hari Puji dan suaminya, Dita, karena mereka tinggal di Surabaya.
Namun, keluarga di Banyuwangi masih memperhatikan kebutuhan Puji, anak ketiga dari Koesni, warga Tembokrejo, Kecamatan Muncar.
Orangtua kandungnya bahkan pernah membelikan Puji rumah seharga Rp 600 juta dan dua kali membelikan mobil.
Namun, semuanya telah dijual oleh Dita dan Puji. Terakhir, satu mobil yang dibelikan oleh keluarga Puji adalah Toyota Avanza yang dikendarai Dita Upriyanto saat meledakkan diri di Gereja Pantekosta Pusat, Surabaya.
"Dua mobil yang dibelikan dijual semua. Jadi mobil ketiga yang terakhir dibelikan, BPKB-nya tidak diberikan karena takut dijual. Tapi ternyata mobil itu yang digunakan untuk bom bunuh diri oleh suaminya, Puji," ujar Rusiono.
Puji sendiri tidak masuk dalam kartu keluarga Koesni. Karena sejak masih usia 20 bulan, Puji diasuh kerabatnya di Magetan, Jawa Timur.
Puji adalah anak ketiga dari empat bersaudara dari Koesni, pengusaha jamu yang terkenal sukses. (*)