Kisah Asmara Soekarno dan Inggit, Berawal dari Cinta Terlarang hingga Kebesaran Hati Seorang Wanita
sesungguhnya aku harus senang karena dengan menempuh jalan yang tidak bertabur bunga, aku telah mengantarkan seseorang sampai di gerbang yang berharga
Editor: Fachri Sakti Nugroho
Bahkan, agar bisa menyelundupkan buku, Inggit harus berpuasa tiga hari agar buku-buku itu bisa ia sembunyikan di perut.
Inggit tak pernah menunjukkan kesedihan di depan suaminya.
Termasuk saat Soekarno galau karena merasa menjadi suami yang gagal.
“Tidak, kasep (ganteng), jangan berpikir begitu. Mengapa mesti berkecil hati. Di rumah segala berjalan beres.Tegakkan dirimu, Kus (Kusno, panggilan kecil Soekarno), tegakkan! Teruskan perjuanganmu! Jangan luntur karena cobaan semacam ini!” tegas Inggit dengan kelembutan.
Populer: Ketika Tokoh Komunis Tewas Ditembak, Tentara Ini Terima Surat Wasiat dari Bung Karno
Rela ikut dibuang
Setelah bebas dari hotel prodeo, Soekarno kembali melanjutkan perjuangannya.
Ini membuatnya ditangkap Belanda lagi dan dibuang ke Ende, Flores, sebelum kemudian dibuang ke Bengkulu.
Inggit sebenarnya bisa tidak ikut ke tempat pembuangan.
Namun wanita yang hanya bisa membaca (tidak bisa menulis) ini keukeuh menemani suaminya ke mana pun, meski ke ujung dunia.
Saat di pengasingan di Ende, Soekarno terjangkit malaria.
Kondisi psikis Soekarno sangat lemah. Berkali-kali ia mengeluh kepada Inggit.
Ia pernah berucap keinginan untuk membuat taktik berpura-pura bekerja sama dengan pemerintah agar segera kembali ke Jawa.
Inggit sebaliknya menolak dan menegur suaminya.
“Kus, kamu ini bagaimana? Baru mendapatkan ujian sekecil ini sudah tak kuat. Bagaimana nanti jika jadi pemimpin? Cobaan pasti lebih berganda. Mestinya Kus bisa lebih sabar dari kami. Masak calon pemimpin berjiwa selemah ini? Percayalah, ini bukan untuk selamanya, ini hanya sementara. Buktikan tak lama lagi kita pasti keluar dari pulau terpencil ini. Nggit yakin itu, sebab Tuhan tak akan mungkin terus-menerus menguji hambaNya. Dia masih sayang kepada kita. Percayalah.”
Semangat Soekarno yang hampir padam pun menyala kembali.
Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak.
Bengkulu akhirnya menjadi ujian terberat bagi kisah cinta keduanya. Ketika Soekarno diasingkan di Bengkulu, hadirlah sosok Fatimah dalam kehidupan keduanya.
Fatimah lahir pada 5 Februari 1923 dari pasangan Hassan Din dan Siti Khatidjah.
Ketika Soekarno diasingkan di Bengkulu, Fatimah sering bermain ke rumah Soekarno karena ia adalah kawan sepermainan anak angkat Soekarno.
Fatimah juga akrab dengan Inggit, bahkan Inggit menganggap Fatimah seperti anaknya sendiri.
Setelah 20 tahun menemani Soekarno dalam onak duri perjuangan, pada suatu hari Inggit mengalami "tamparan" yang begitu dahsyat.
Soekarno minta izin untuk menikahi Fatimah dengan alasan Inggit tak bisa memberikan keturunan.
"Aku tidak bermaksud menyingkirkanmu. Merupakan keinginanku untuk menetapkanmu dalam kedudukan paling atas dan engkau tetap sebagai istri yang pertama, jadi memegang segala kehormatan yang bersangkutan dengan hal ini, sementara aku dengan mematuhi hukum agama dan dan hukum sipil, mengambil istri kedua agar mendapatkan keturunan," ujar Soekarno ke Inggit seperti dikutip dalam buku "Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia" karya Cindy Adams.
Inggit menolak dengan tegas. Dia tidak mau dimadu.
Akhirnya Soekarno mengembalikan Inggit ke orangtuanya di Bandung.
Soekarno pun membuat surat perjanjian yang ditandatangani juga oleh Inggit.
Dalam surat itu Soekarno menjatuhkan talak kedua, dan berjanji memberikan sebuah rumah, tunjangan hidup dan membayar utang, tapi tak semua dipenuhi.
Mohammad Hatta, Ki Hadjar Dewantoro, dan Hadji Mas Mansoer menjadi saksi perjanjian itu.
Pada 1 Juni 1943, Soekarno menikahi Fatimah yang belakangan namanya diubah menjadi Fatmawati.
Kepergian Soekarno dilepas oleh Inggit dengan doa dan harapan ketika proses perceraian itu usai.
“Selamat jalan dan semoga selamat dalam perjalanan”.
Inggit tidak mengeluh dan tidak menangis.
Demikianlah cinta Inggit kepada Soekarno.
Seperti ombak yang mencintai pantai.
Tidak luka ketika dilukai dan tidak sakit ketika disakiti.
Cinta yang tak pernah pudar
Pada 1960, Soekarno berada di puncak kekuasaannya. Dia mengunjungi Inggit yang saat itu telah berusia 72 tahun.
Dalam pertemuannya, Soekarno meminta maaf karena telah menyakiti hati Inggit.
Namun dengan besar hati Inggit menjawab, “Tidak usah meminta maaf Kus. Pimpinlah negara dengan baik, seperti cita-cita kita dahulu di rumah ini.”
Istri-istri Soekarno mencicipi manisnya kehidupan di istana. Mereka diberi rumah di Kebayoran, Slipi, Gatot Subroto.
Sementara Inggit hanya mampu menatap puing-puing rumah panggung di Jalan Ciateul yang penuh memori kebahagiaan, kesengsaraan, dan perjuangan bersama Kusno kesayangannya.
Kamar dan rumahnya begitu sederhana. Harta miliknya hanyalah radio Philips buatan tahun 1949, sebuah foto Bung Karno tersenyum manis, sebuah teropong dan perangkat makan sirih serta sebuah pispot. Ditambah dua buah balai-balai dan sebuah lemari kayu murahan.
Namun Inggit tak pernah menyesal. “Yang lalu sudahlah berlalu, aku telah mengantarkan Kusnoku, Kasepku, Kesayanganku, Fajarku ke gerbang kebahagiaan, gerbang cahaya yang dari dulu diimpikannya.” Inggit meninggal pada 13 April 1984 di usia 96 tahun.
Dia dimakamkan di pemakaman umum Kopo tanpa upacara layaknya melepas seorang pahlawan yang berjasa membentuk pribadi tangguh founding father bangsa. Meski begitu, sejarah tidak akan melupakannya.
Behind every great man there is a strong and a greater woman. Inggit adalah sosok wanita hebat sesungguhnya di belakang pria hebat Soekarno. (*)
Artikel ini telah tayang di Intisari Online dengan judul: Seperti Ombak Mencintai Pantai, Begitulah Kasih Inggit Garnasih ke Bung Karno yang Berakhir Pilu