Founder-CEO Telegram Tahu Teroris Gunakan Aplikasinya tapi Seolah 'Membiarkan' karena Alasan Ini
Dia menanggapi pertanyaan dari audiens, soal teroris yang gemar memakai Telegram untuk berkomunikasi dan mengoordinir aksi teror lewat aplikasi ini.
Editor: Rimawan Prasetiyo
Seorang teroris, misalnya, bisa memperoleh video sebuah serangan teror lewat Secret Chat, lalu menyebarkannya ke follower di Channel sebagai propaganda.
“Mereka berkumpul di Telegram, lalu pergi ke platform lain yang berbeda-beda. Informasinya dimulai di Telegram, lalu menyebar ke Twitter dan Facebook,” ujar Parker, sebagaimana dirangkum KompasTekno dari Vox, Sabtu (15/7/2017).
Gampang masuk, susah keluar
Meski menerapkan keamanan ketat dalam hal privasi, bergabung dengan Telegram relatif gampang. Pengguna cukup menyediakan nomor ponsel untuk menerima kode akses, yang kemudian dipakai untuk membuka akun.
Pakar kontra terorisme, Ahmet S. Yayla dari George Mason University menyebutkan bahwa teroris biasanya memakai satu nomor telepon untuk aktivasi, tapi justru memakai nomor lain ketika menggunakan Telegram
“Kartu SIM yang Anda pakai untuk membuka akun Telegram tak harus sama dengan kartu SIM yang Anda pakai di telepon untuk mengakses aplikasi,” ujar Yayla.
Dengan demikian, bukan hanya teroris jadi lebih sulit dilacak oleh pihak kepolisian, tetapi mereka juga bisa dengan mudah membuat akun baru, begitu yang lama terendus pihak berwajib.
Selain gampang masuk, teroris pun sulit dikeluarkan dari Telegram.
Menurut Todd Helmus, pakar terorisme dan media sosial dari RAND Corporation, dua tahun lalu, platform medsos favorit ISIS bukanlah Telegram, melainkan Twitter.
Raffi Ahmad Tanggapi Masalah Ayu Ting Ting, Nagita Slavina Langsung Bungkam Seribu Bahasa
Namun kemudian Twitter bersama platform mainstream lain seperti Facebook dan Instagram berupaya memburu dan menutup akun-akun teroris di jejaring masing-masing.
Twitter misalnya, pada Maret lalu mengumumkan telah menutup 636.248 akun yang terindikasi mempromosikan kegiatan teror sejak 2015.
Teroris pun menjadi lebih sulit bergerilya di jejaring-jejaring sosial itu.
Lalu mereka beralih ke Telegram.
Sejak 2015, sudah terjadi eksodus teroris yang berbondong-bondong pindah ke layanan tersebut lantaran tergoda dengan privasi tingkat tinggi yang ditawarkan.