Tunjukkan Data hingga Bumi Goyang Jika NU Marah! Inilah Fakta-fakta Penolakan Full Day School
Berikut ini fakta-fakta penolakan dari berbagai pihak mengenai wacana sekolah lima hari atau full day school (FDS).
Penulis: Fachri Sakti Nugroho
Editor: Tinwarotul Fatonah
TRIBUNWOW.COM - Wacana Sekolah Lima Hari atau Full Day School (FDS) oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy, menuai banyak kritikan.
Bermaksud untuk memperbaiki sistem pendidikan dan meningkatkan kualitas guru, sekolah lima hari ini malah menimbulkan permasalahan baru.
Pasalnya banyak pihak yang tidak setuju akan wacana sekolah lima hari tersebut.
Mereka meminta Muhadjir Effendy untuk mempertimbangkan ulang wacana tersebut.
Berikut ini fakta-fakta penolakan dari berbagai pihak mengenai wacana sekolah lima hari atau full day school (FDS).
1. Full Day School momok bagi Lembaga Pendidikan Agama
Dewan Pengurus Pusat Forum Komunikasi Diniyah Takmiliyah (DPP-FKDT) menolak rencana kebijakan Sekolah Lima Hari (Full Day School) oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Menurut Ketua Umum DPP-FKDT, Lukman Hakim, Sekolah Lima Hari (Full Day School) berpotensi menyebabkan adanya pendangkalan pendidikan agama, internalisasi akhlakul karimah dan nilai-nilai kebangsaan.
Full Day School Jadi Momok Bagi Lembaga Pendidikan Agama
Jika Sekolah Lima Hari (Full Day School) diberlakukan, maka Madrasah Diniyah Takmiliyah (MDT) tidak akan dapat beroperasi, sehingga tugasnya untuk mencetak generasi bangsa yang bermoral dan berpegang pada pemahamanan keIslaman akan pupus.
Hal ini dikarenakan, Madrasah Diniyah Takmiliyah (MDT) beroperasi pada waktu siang sampai malam hari dan akan bertabrakan dengan Full Day School.
Padahal, menurut Lukman, Madrasah Diniyah Takmiliyah (MDT) selama ini telah berperan menjadikan anak bangsa berpaham moderat, toleran, berkomitmen pada NKRI dan membentuk pribadi muslim yang tangguh.
“Kami mendesak kepada Mendikbud agar membatalkan rencana itu karena akan membuat MDT dan Taman Pendidikan Al-Quran (TPQ) terancam gulung tikar,” ujar Lukman Hakim dalam keterangan tertulis kepada TribunWow.com.

Lulusan UIN Walisongo ini menilai jika kebijakan menteri ini perlu dikaji ulang secara komprehensif jika tak ingin MDT kehilangan eksistensi.
Lukman meminta Mendikbud untuk fokus mengurusi masalah-masalah pendidikan nasional yang lebih krusial.
Dalam catatan Lukman, sebanyak 76.566 MDT dengan 6.000.062 santri dan 443.842 ustaz, 134.860 Pendidikan Alquran, 7.356.830 santri dan 620.256 ustaz serta ada 13.904 Pondok Pesantren, 3.201.582 santri dan 322.328 ustaz yang berpotensi terancam bubar jika kebijakan Full Day School diterapkan.
Padahal lembaga keagamaan Islam ini tumbuh dan berkembang dari inisiatif dan partisipasi masyarakat.
Lukman mengatakan, Full Day School akan membuat waktu belajar ilmu agama bagi anak berkurang.
“Berkurangnya waktu efektifitas belajar pada MDT, TPQ dan Pesantren akibat kebijakan FDS, akan mengakibatkan penyelenggaraan pendidikan tidak optimal. Pembelajaran Alquran, kajian kitab kuning dan pengetahuan dasar-dasar agama Islam akan terganggu,” kata Lukman.
Surat Cinta Kepala Sekolah SD di Bantul Yogyakarta Ini Viral
Lukman khawatir, Islam moderat dan nasionalisme akan hancur jika MDT, TPQ dan Pondok Pesantren kehilangan eksistensinya.
“Jangan sampai kebijakan full day scholl malah akan mematikan sesuatu yang telah lama kita miliki dan berjasa besar pada pengembangan karakter, akhlakul karimah dan penguatan komitmen kebangsaan,” ujarnya.
2. MUI keberatan atas kebijakan sekolah lima hari (FDS)
Majelis Ulama Indonesia (MUI) meminta kepada Muhadjir Effendy untuk mengkaji ulang kebijakan sekolah lima hari (FDS).
Wakil Ketua Umum MUI, KH Zainut Tauhid Sa'adi dalam keterangan pers kepada Tribunnews.com, Minggu (11/6/2017) menyatakan, kebijakan tersebut mempengaruhi penyelenggaraan pendidikan keagamaan yang dikelola swadaya masyarakat, seperti di Madrasah Diniyah dan pesantren.
Pasalnya kegiatan keagamaan tersebut dimulai setelah pelajar pulang dari sekolah umum, yaitu SD, SMP, dan SMA.
"Untuk hal tersebut, MUI meminta kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy untuk mengkaji ulang kebijakan tersebut," ucap Zainut.
Anaknya Sering Dapat Peringatan dari Sekolah, Sang Ayah Keluarkan Cara Jitu hingga Tuai Pujian
Selain Madrasah Diniyah akan tutup, para pengajarnya juga akan kehilangan pekerjaan.
"Hal ini sangat menyedihkan dan akan menjadi sebuah catatan kelam bagi dunia pendidikan Islam di negeri yang berdasarkan Pancasila," imbuh Zainut.
Zainut juga mempertanyakan kesiapan sarana dan prasarana di sekolah untuk menerapkan pendidikan delapan jam sehari.
"Misalnya hanya diberlakukan bagi sekolah yang sudah memiliki sarana pendukung yang memadai. Sedangkan bagi sekolah yang belum memiliki sarana pendukung tidak atau belum diwajibkan," kata dia.
Untuk itu Zainut meminta kebijakan ini dilakukan secara bertahap dan tidak diberlakukan untuk semua daerah, dengan maksud menghormati nilai-nilai kearifan lokal.
"Jadi daerah diberikan opsi untuk mengikuti program pendidikan dari pemerintah, juga diberikan hak untuk menyelenggarakan pendidikan sebagaimana yang selama ini sudah berjalan di masyarakat," kata Zainut.
Prihatin Nasib Lembaga Informal, Pria Ini Kirim Surat Terbuka untuk Jokowi Kritik Full Day School
3. Surat terbuka untuk Jokowi
Penolakan sekolah lima hari (FDS) juga dilakukan oleh M Rikza Chamami, seorang pengasuh Pondok Pesantren Al Firdaus YPMI yang berlokasi di Jalan Ngaliyan, Semarang, Jawa Tengah.
Ia mengirimkan surat terbuka kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi), Rabu (14/6/2017) yang berisi kritikan atas kebijakan sekolah lima hari (FDS).
Berikut ini isi suratnya.
"Surat Terbuka Santri Mbeling Tabayun Full Day School Kagem Pak Jokowi
Semarang, 14 Juni 2017
Kepada yang terhormat
Bapak H Joko Widodo
Presiden Republik Indonesia
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh
Sugeng enjang Pak Presiden, semoga Allah senantiasa melimpahkan rahmat, hidayah, taufiq dan i'anah dalam menjalankan tugas-tugas kenegaraan di bulan suci Ramadan ini.
Sebagai seorang santri, pertengahan Ramadan diyakini sebagai hari-hari mulia mendapatkan maghfirah Allah. Maka perkenankan saya menyampaikan surat terbuka ini dengan tetap mengharap maghfirah tanpa hoax.
Begini Bapak. Setelah Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2017 Tentang Perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 Tentang Guru diterbitkan. Disusul dengan Permendikbud Nomor 23 Tahun 2017 tentang Hari Sekolah disahkan, maka terjadi banyak respon kaum santri Nusantara terkait full day school yang dikemas dengan sekolah lima hari (SLH).
Problemnya sangat sederhana. Yakni masih belum ada tabayun nasional teknis detail dari pelaksanaan SLH di tingkat teknis. Sehingga muncul kecemasan massif soal nasib lembaga pendidikan non formal dan informal yang diindikasikan akan tidak mendapatkan porsi (atau bahkan terancam tutup).
Kita sangat merasa eman-eman, gelombang Islamophobia semacam ini akan dijadikan pintu masuk serta menjadi ancaman kaum santri. Dan hanya Pak Jokowi yang bisa mencarikan solusi terbaik soal kebijakan baru SLH ini.
Pak Presiden sudah sangat kita pahami sebagai "Presiden Santri" karena sangat dekat dengan para Ulama Sejati dan sudah memberi hadiah Hari Santri untuk Indonesia. Maka sekali lagi Pak Presiden, kita ajak untuk memikirkan nasib dunia santri yang jelas-jelas menjadi kekuatan nasionalisme bagi NKRI.
Pripun mangke nasibipun lembaga-lembaga meniko Pak Presiden? (bagaimana nanti nasib lembaga-lembaga tersebut Pak Presiden?)
1. Pondok Pesantren: 13.904 lembaga, 3.201.582 santri, dan 322.328 ustaz;
2. Madrasah Diniyah Takmiliyah: 76.566 lembaga, 6.000.062 santri, dan 443.842 ustaz;
3. Pendidikan Al Qur'an (TKA, TPA, TQA): 134.860 lembaga, 7.356.830 santri, 620.256 ustaz.
Total: 225.330 lembaga, 16.558.44 santri, dan 1.386.426 ustad.
Giat restorasi pendidikan karakter dan revolusi mental yang sudah menjadi komitmen Kabinet Kerja sangat saya apreseasi, namun jika kebijakan itu masih membuat gap pada dunia pendidikan kaum santri, maka tugas kita bersama adalah mencari solusi yang terbaik.
Di akhir surat ini, saya mengharap dengan penuh hormat pada Pak Presiden untuk:
1. Membuat tabayun full day school berbasis SLH secara detail agar tidak menjadikan salah paham;
2. Membuat solusi terbaik agar SLH sama sekali bukan menjadi "virus pembunuh" bagi lembaga pendidikan santri;
3. Membuat kebijakan nasional pendidikan sesuai dengan nawacita yang menguntungkan semua pihak (tanpa kecuali) dalam rangka mencerdaskan bangsa;
4. Membatalkan SLH jika memang menjadi masalah serius dunia pendidikan Islam.
Demikian surat terbuka ini kami sampaikan.
Atas segala khilaf, saya mohon maaf yang sebesar-besarnya.
Wallah al muafaq 'ila 'akum altariq wassalamalaikum warahmatallahi wabarakatuh
Hormat saya,
M. Rikza Chamami
Pengasuh Pondok Pesantren Al Firdaus YPMI Ngaliyan Semarang."
Setelah Bikin Video Sekolah Gak Guna Kini Deddy Corbuzier Ajarkan Melawan Orang Tua!
4. Tweet kritikan dari Muhaimin
Kritikan terkait sekolah lima hari (FDS) juga datang dari Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa, Muhaimin Iskandar.
Pria yang akrab dipanggil 'Cak Imin' ini mengungkapkan kritikannya lewat media sosial Twitter miliknya.
Cak Imin mengunggah kicauannya tersebut pada tanggal 11 Juni 2017 lalu.
Dalam kicauannya Cak Imin mengatakan pihaknya meminta Mendikbud untuk tidak meneruskan keputusan full day school.
Cak Imin juga mengingatkan kepada Mendikbud untuk tidak membuat NU marah dan bergerak.
"Kita minta mendikbud tdk meneruskan keputusan fullday #TolakFulldaySchool , kalu sampai NU marah dan bergerak, bumi bisa goyang bro," kicau Cak Imin.
Dalam keterangan tertulisnya kepada Tribunnews.com Senin (8/8/2016), Cak Imin juga menyampaikan keberatannya atas rencana sekolah lima hari (FDS).
"Saya mendapat banyak masukan dari daerah bahwa pernyataan Pak Muhadjir tentang full day school ini sangat tidak efektif untuk diterapkan di semua wilayah Indonesia, terutama di daerah," tegas Cak Imin.
"PKB akan memperjuangkan keadilan dalam pendidikan demi pendidikan yang berkualitas. Jangan membebani anak-anak kita dan para guru secara berlebihan," imbuh Cak Imin. (TribunWow.com/Fachri Sakti Nugroho)