Pria Penghina Ahok di Media Sosial Kini Divonis Penjara oleh Pengadilan
Jamran, pria yang diduga menghina Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) kini telah dijatuhi hukuman oleh pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Penulis: Fachri Sakti Nugroho
Editor: Tinwarotul Fatonah
TRIBUNWOW.COM - Jamran, pria yang diduga menghina Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) kini telah dijatuhi hukuman oleh pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (5/6/2017).
Ia dijatuhi hukuman enam bulan 15 hari penjara karena melakukan ujaran kebencian di media sosial.
"Mengadili menyatakan terdakwa Jamran secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi dengan tujuan kebencian dan atau permusuhan individu dan kelompok masyarakat tertentu berdasarkan SARA yang dilakukan secara berulang. Menjatuhkan pidana dan dengan penjara 6 bulan dan 15 hari dan seluruhnya pidana denda kepada terdakwa Rp 10 juta," kata Ketua Majelis Hakim Ratmoho, Senin (5/6/2017), seperti dikutip dari Kompas.com.
Sebelumnya, Jaksa Penuntut Umum menuntut jamran dihukum 10 bulan penjara dengan denda Rp 50 juta.
Kerap Berseteru, Ini Doa Lulung Untuk Ahok
Hakim menilai jika tidak ada hal yang bersifat memberatkan putusan bagi Jamran.
Ia bersikap sopan saat di persidangan dan juga tidak pernah dijatuhi hukuman sebelumnya.
Putusan kepada Jamran ini sama dengan putusan yang diterima oleh saudara kandungnya, Rizal, yang sudah dijatuhi vonis dalam sidang sebelumnya.
Jamran dan Rizal dituduh melanggar UU ITE berulang melalui akun Facebook dan Twitternya.
Unggahan mereka di media sosial dianggap menyudutkan Ahok dan etnis Tionghoa.
"Postingan yang ditujukan kepada Saudara Ahok yang dilakukan berulang sehingga dilakukan secara sistematis yang mengacu kepada subyek yang bernama Ahok dan etnis Tionghoa," kata Hakim Ratmoho.
Hakim berpendapat bahwa unggahan Jamran dan Rizal tidak berdasarkan fakta dan data.
Bahkan berpotensi mengarah pada konflik horizontal lantaran didalamnya berisi kata-kata yang dianggap provokatif.
Penghina Ahok Diganjar 6 Bulan Penjara
"Curahan pendapat yang seharusnya dilakukan konstruksif dan akurat, didukung data, tapi pemikiran terdakwa tidak didukung oleh data yang kebenarannya belum dapat dipastikan," lanjutnya membacakan pertimbangannya.