Takut Dosa Riba, Seorang Dokter Nyatakan Penolakan pada Pasien Berasuransi
Belakangan ini media sosial dihebohkan dengan sebuah pengumuman asuransi riba yang dibuat oleh dokter dari sebuah rumah sakit di Pamulang.
Penulis: Claudia Noventa
Editor: Maya Nirmala Tyas Lalita
TRIBUNWOW.COM - Dokter tolak pasien berasuransi viral di media sosial.
Belakangan ini media sosial dihebohkan dengan sebuah pengumuman yang dibuat oleh dokter dari sebuah rumah sakit di Pamulang, Tangerang Selatan.
Pengumuman tersebut diketahui dipasang oleh dr Kiki MK Samsi SpA(K) M Kes.
Dalam pengumuman itu, dokter Kiki menyatakan secara tegas bahwa dirinya menolak pasien yang menggunakan asuransi kesehatan.
Dirinya menolak pasien berasuransi lantaran untuk menghindarkan diri dari dosa riba.
Pasca Jaksa Ajukan Banding, 5 Hakim Ditunjuk untuk Adili Kembali Kasus Ahok
Dalam pengumuman yang dibuatnya itu terdapat informasi bahwa penolakan tersebut di mulai sejak awal Mei 2017 lalu.
"Untuk asuransi ribawi, terhitung sejak 1 Mei 2017, setelah pengobatan ananda, saya tidak bisa mengisi keterangan medis," tulisnya.
Dokter Kiki menyatakan ada dua jenis asuransi yang menurutnya bersifat riba.
"Adapun yang termaksud Asuransi Ribawi atau dikhawatirkan terdapat sifat riba adalah: 1. Asuransi perorangan, 2. Asuransi perusahaan/kantor yang menarik premi setiap bulan dari gaji karyawan."

Dirinya menegaskan pasien tidak bisa mendapat pelayanan kesehatan darinya jika menggunakan fasilitas asuransi tersebut.
"Kebijakan ini saya lakukan dalam upaya menghindari diri dari dosa riba," demikian penjelasan dokter Kiki mengenai kebijakannya.
Bikin Kaget! Bertemu Gubernur Jawa Tengah, Penampilan Sandiaga Uno Beda Banget

Menanggapi hal tersebut pakar etika kedokteran dari Universitas Atma Jaya Jakarta, Sintak Gunawan, mengungkapkan hal tersebut memang boleh dilakukan oleh para dokter.
Pasalnya, setiap dokter memiliki perjanjian masing-masing dengan rumah sakit yang mempekerjakan mereka.
Dirinya mengungkapkan rumah sakit memang memiliki hak untuk merekrut dokter dengan menghargai nilai-nilai dan kepercayaan yang dianut oleh dokter tersebut.
Misalnya, jika sebuah rumah sakit memperbolehkan tindakan aborsi, dokter berhak menolaknya sesuai dengan kepercayaan mereka masing-masing.
"Menurut pendapat saya pribadi, dokter berhak saja menolak pasien karena kepercayaannya. Asal itu sudah diberitahukan sejak awal," ujar Sintak seperti dikutip dari KOMPAS.com, Rabu (24/5/2017).
Namun yang harus diperhatikan penolakan tersebut harus murni dilandasi oleh faktor kepercayaan.
Sehingga dokter tidak mempolitisi alasan penolakannya seperti sengaja menolak pasien yang memiliki asuransi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).
"Jika ada dokter yang menolak pasien berasuransi, rumah sakit bisa mempertimbangkan dokter itu. Kalau tetap mengijinkan dokter berprakter, rumah sakit harus merujuk pasien berasuransi ke dokter lain," terangnya.
Meski begitu, penerapan kepercayaan dokter tidak berlaku ketika pasien dalam keadaan darurat karena setiap dokter telah bersumpah untuk mendahulukan keselamatan para pasien.
"Itu karena setiap dokter sudah disumpah untuk menyelamatkan pasien. Setiap dokter wajib merawat pasien paling tidak sampai melewati masa kedaruratannya," katanya.
Namun, jika dilihat dalam laman resmi Nahdlatul Ulama (NU), layanan BPJS tidak termasuk dalam dosa riba lantaran sudah sesuai dengan syariat Islam.
Menurut NU akad yang digunakan BPJS Kesehatan sebagai akad ta’awun.
NU telah sepakat mendukung program jaminan kesehatan tersebut pada 28 Maret 2015 lalu.
Putusan tersebut diambil setelah para kiai berdiskusi langsung dengan Kepala Grup MKPR dr Andi Afdal Abdullah terkait pelayanan kesehatan untuk peserta BPJS.
"Ketika disodorkan pertanyaan apakah mengandung riba, mereka menjawab bahwa akad BPJS tidak mengandung riba," tulis dalam laman nu.or.id.
Sementara pihak BPJS sendiri tidak mau turut ikut campur mengenai masalah tersebut.
Kepala Humas BPJS Kesehatan, Irfan Humaidi mengungkapkan hal tersebut adalah masalah internal antara dokter Kiki dengan rumah sakit dimana dirinya bekerja.
"Yang pertama, kami tidak akan masuk dalam wilayah konten. Bukan kompetensi BPJS Kesehatan, ada pihak yang memiliki otoritas itu," kata Irfan kepada KOMPAS.com, Jumat (26/5/2017).
Dirinya mengungkapkan BPJS bekerja sama langsung dengan fasilitas kesehatan atau rumah sakit berdasarkan bisnis, bukan dengan tenaga kesehatan secara langsung.
"BPJS Kesehatan bekerjasama dengan fasilitas kesehatan (faskes). Khususnya rumah sakit berdasarkan B to B (busines to business) antar institusi, bukan antar BPJS Kesehatan dengan pribadi-pribadi tenaga kesehatan," jelasnya.
Namun rumah sakit sebagai partner kerja harus menyiapakan tenaga kesehatan medis seperti dokter yang akan memberikan pelayanan kepada peserta jaminan kesehatan.
"Yang penting dari kami adalah peserta JKN-KIS dapat dilayani dengan baik," ucap Irfan.
"Jadi prinsipnya, BPJS Kesehatan sebagai operator, melaksanakan program JKN berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku," tegasnya.
Namun dirinya juga mempercayakan pada hukum positif di Indonesia, seperti hukum adat, hukum agama, dan lainnya.
Sehingga menurutnya sebagai warga negara yang baik, wajib melaksanakan aturan tersebut. (TribunWow.com/Claudia N)