Inilah yang Akan Terjadi Jika Pemerintah Indonesia Kalah Melawan Freeport dalam Arbitrase
"Kalau KK, negara dengan korporasi itu setara karena sistemnya kontrak. Orang bisa kontrak itu kalau kedudukan setara. Sekarang (Freeport) harus izin
Penulis: Fachri Sakti Nugroho
Editor: Wulan Kurnia Putri
TRIBUNWOW.COM - Polemik kasus PT Freeport Indonesia dengan pemerintah Indonesia masih berlanjut.
Terakhir, Freeport McMoran, induk PT Freeport Indonesia, mengancam pemerintah Indonesia untuk membawa kasus ini ke arbitrase jika belum ada kesepakatan penyelesaian sengketa.
Baca: Ingin Jumpa dengan Sarwendah dan Thalia Onsu? Berikut Jadwal yang Perlu Kamu Tahu!
Ancaman Freeport disampaikan Presiden Direktur Freeport McMoran Inc Richard C Adkerson setelah perusahaan tambang asal Amerika Serikat itu menganggap Pemerintah Indonesia berlaku tak adil, lantaran menerbitkan aturan yang mewajibkan perubahan status kontrak karya (KK) ke izin usaha pertambangan khusus (IUPK).
Apa Bedanya Kontrak Karya Jadi IUPK?
Staf Khusus Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Hadi M Djuraid mengungkapkan, perubahan Kontrak Karya Freeport ke izin pertambangan berarti juga mengubah posisi negara yang selama ini setara korporasi.
Baca: Indonesia Peringkat 20 Negara Miliarder Terbanyak Tapi Peringkat 6 Negara Ketimpangan Terburuk
"Kalau KK, negara dengan korporasi itu setara karena sistemnya kontrak. Orang bisa kontrak itu kalau kedudukan setara. Sekarang (Freeport) harus izin, jadi tidak setara lagi," ujar Hadi kepada Kompas.com di Jakarta, Selasa (17/1/2017).
Selain itu, konsekuensi dari diterapkannya IUPK adalah, Freeport tidak akan lagi mendapatkan izin mencapai 50 tahun.
Menurut Hadi, pemerintah hanya memberikan izin 10 tahun dengan opsi perpanjangan 2 kali masing-masing 10 tahun.
Baca: Selamat Patah Hati, Girls! Aktor Tampan ini Resmi Tunangan
Selain itu, luas tambang PT Freeport juga akan dibatasi.
Area tambang pemegang IUPK dibatasi hanya 25.000 hektar.
Hal itu sangat jauh dari luas area kerja Freeport yang mencapai 90.000 hektar.
Meski begitu, Freeport bisa melepas sisa area tambang tersebut dan mengurus izin area tambang baru sesuai ketentuan IUPK, yaitu per 25.000 hektar.
Baca: Titiek Puspa Berani Suruh-Suruh Presiden, Gimana Sih Momen Percakapan Mereka?
Perubahan status KK menjadi IUPK juga menjadikan Freeport harus membayar pajak lebih banyak.
Pajak tersebut meliputi pajak penghasilan (PPh), pajak pertambahan nilai (PPN), hingga pajak bumi dan bangunan (PBB).
Seperti diketahui, pemerintah masih memperbolehkan Freeport ekspor konsentrat dengan tiga syarat, yaitu bersedia mengubah status KK menjadi IUPK, membangun smelter dalam 5 tahun, dan divestasi 51 persen sahamnya untuk Indonesia.
Baca: Jessica Iskandar Beberapa Kali Sindir Ayu Ting Ting, Ini Momennya!
Pemerintah menegaskan tidak akan mengizinkan ekspor konsentrat bila Freeport tidak bersedia menyanggupi tiga syarat tersebut.
Tanggapan Pemerintah Atas Ancaman Freeport
Menanggapi ancaman ini, Pemerintah Indonesia memberikan sikap balik yang serius.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan telah menemui Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) di akhir Februari lalu untuk membicarakan ancaman arbitrase tersebut.
Baca: Di Balik Tulisan yang Dibaca Jutaan Orang Halo Selingkuhan Suami Saya Ini Pengakuan Penulis
Langkah berani pemerintah ini juga mendapat dukungan dari para anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Meskipun juga ada pihak-pihak yang menginginkan agar arbitrase ini tidak terjadi.
Apa Yang Terjadi Jika Indonesia Kalah dalam Arbitrase?
Sartono, partner di kantor hukum Hanafiah Ponggawa & Partners (HPRP), memiliki penjelasan terkait posisi pemerintah Indonesia jika kalah dalam arbitrase.
Menurut Sartono, jika pemerintah Indonesia kalah dalam arbitrase, maka Pemerintah Indonesia harus mematuhi putusan arbitrase tersebut secara sukarela.
Baca: Semakin Pintar, Begini Kelucuan Gempita Saat Menyebut Foto Endorse yang Bikin Netizen Ketawa
Hal itu juga terjadi apabila pihak Freeport mengajukan permohonan eksekusi atas putusan arbitrase melalui Pengadilan Negeri di Indonesia.
"Itu dikarenakan forum arbitrase tersebut seharusnya merupakan forum yang telah disepakati oleh para pihak sebagai forum penyelesaian sengketa, kecuali ada alasan yang memungkinkan Pemerintah Indonesia melakukan upaya hukum terhadap putusan arbitrase tersebut," papar Sartono kepada Kompas.com, Jumat (10/3/2017).
Baca: Imbasnya Mengerikan Sebegini Geramnya Presiden Jokowi
Lebih lanjut, dampak dari putusan arbitrase akan sangat tergantung pada isi putusan arbitrase.
Misalnya jika putusan arbitrase mewajibkan Pemerintah Indonesia membayar ganti kerugian kepada Freeport, maka dampak langsungnya adalah Pemerintah Indonesia harus membayar ganti rugi tersebut.
"Untuk dapat memperkirakan dampak dari putusan arbitrase, kita harus mengetahui apa yang menjadi tuntutan dalam permohonan arbitrase yang akan diajukan oleh Freeport," kata Sartono.
Apakah Permen ESDM Batal?
Baca: Mengejutkan! Istri Teuku Wisnu Diserang Balajaer, Begini Tanggapan Mark Sungkar
Selanjutnya, jika Freeport menang dalam arbitrase, apakah Peraturan Menteri ESDM yang dikeluarkan terkait status kontrak karya juga batal?
Sartono berpendapat, putusan arbitrase seharusnya tidak membatalkan Peraturan-Peraturan Menteri.
Menurut dia, sengketa arbitrase pada dasarnya terbatas pada masalah yang bersifat komersial sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Baca: Inilah Oleh-Oleh Khas Indonesia Untuk Raja Salman Sebelum Tinggalkan Pulau Dewata
Sementara Peraturan-Peraturan Menteri masuk dalam ranah hukum publik dan bukan masalah komersial.
"Yang perlu menjadi perhatian adalah apabila Pemerintah Indonesia dikalahkan, apakah putusan arbitrase tersebut nantinya seolah-olah memberikan inspirasi kepada pelaku usaha lain yang memiliki permasalahan yang serupa untuk mengajukan permohonan arbitrase terhadap Pemerintah Indonesia," pungkas dia.
(Kompas.com/Tribunnews.com/Fachri Sakti Nugroho)