Kasus Korupsi EKTP
Inilah 5 Fakta Persidangan Perkara Dugaan Korupsi E-KTP, Nomor 3 Sungguh Mencengangkan!
Sidang perdana kasus dugaan korupsi E-KTP digelar Kamis (9/3/2017) di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta Pusat.
Penulis: Fachri Sakti Nugroho
Editor: Galih Pangestu Jati
TRIBUNWOW.COM - Sidang perdana kasus dugaan korupsi E-KTP digelar Kamis (9/3/2017) di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta Pusat.
Dalam sidang tersebut, Irman dan Sugiharto dihadirkan sebagai tersangka.
Pada proyek E-KTP yang bernilai Rp5,9 triliun ini, Irman diduga menerima uang Rp 3 miliar.
Baca: Inilah Daftar Nama yang Disebut Terima Fee E-KTP, Lengkap dengan Jumlah Uang yang Diterima!
Sementara itu, Sugiharto mendapat sekitar Rp400 juta.
Dihimpun oleh Tribunwow.com, berikut adalah fakta-fakta akan jalannya sidang perdana kasus dugaan korupsi E-KTP tersebut.
1. Tidak Boleh Siaran langsung
Meski jalannya terbuka untuk umum, persidangan tersebut dilarang untuk ditampilkan secara langsung melalui televisi.
Ketentuan itu juga berlaku untuk persidangan-persidangan lain di Pengadilan Tipikor Jakarta.
"Mengingat yang sudah terdahulu, pengadilan mengambil sikap bahwa persidangan sekarang sudah tidak boleh live lagi," ujar Humas Pengadilan Tipikor Jakarta, Yohanes Priana kepada Kompas.com di Pengadilan Tipikor, Rabu (8/3/2017).
Baca: Kader Golkar Paling Banyak Disebut, Kasus EKTP Bisa Pengaruhi Elektabilitas di Semua Provinsi.
Kebijakan tersebut dijelaskan dalam Surat Keputusan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor w 10 U1/KP 01.1.17505 XI201601.
Yohanes menuturkan, maksud dari sidang yang terbuka adalah pengadilan mempersilakan masyarakat untuk hadir dalam sidang pengadilan yang terbuka untuk umum.
Penyiaran persidangan secara langsung melalui media, menurut Yohanes berarti persidangan yang dihadirkan kepada masyarakat umum.
Kebijakan tersebut mendapat kecaman dari Dewan Kehormatan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat.
Menurut Dewan Kehormatan PWI, larangan siaran langsung pengadilan yang terbuka untuk umum merupakan pelecehan terhadap kemerdekaan pers.
Baca: Mendagri Era Pemerintahan SBY, Muhammad Maruf Tutup Usia
Selain itu juga bertentangan dengan prinsip-prinsip peradilan yang bebas, terbuka dan jujur.
Hal ini disampaikan Ketua Dewan Kehormatan PWI Pusat Ilham Bintang.
"Dewan Kehormatan PWI Pusat menilai, pelarangan siaran langsung termasuk pengkhianatan terhadap semangat dan roh dari Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana," kata Ilham dalam pernyataan tertulis yang diterima wartawan, Rabu (8/3/2017) seperti dikutip dari Kompas.com.
2. Ratusan Halaman Surat Dakwaan
Dalam sidang perdana tersebut, pihak Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membacakan surat dakwaan untuk terdakwa Irman dan Sugiharto.
Surat dakwaan tersebut sebanyak 121 halaman dan dibacakan selama kurang lebih sekitar tiga jam.
Surat dakwaan tersebut dibaca secara bergantian oleh tujuh JPU KPK.
Baca: Kasus Korupsi E-KTP, Siapa Penerima Jatah Terbesar?
Dimulai dari Irene Putrie, Eva Yustiana, Wawan Yunarwanto, Abdul Basir, Mochamad Wiraksajaya, Taufiq Ibnugroho, Riniyati Karnasih, dan Nur Haris Azhari, semua bergantian membacakan surat dakwaan.
Surat dakwaan sebanyak 121 halaman tersebut merupakan pemadatan dari bundel berkas kasus setebal 1,3 meter.
3. Memanggil 133 Saksi
Dari berkas dakwaan sebanyak 121 halaman, JPU KPK berencana untuk memanggil 133 saksi pada agenda pemeriksaan saksi dalam sidang gelar perkara dugaan korupsi E-KTP.
Agenda pemeriksaan saksi tersebut langsung dilanjutkan karena kedua terdakwa tidak mengajukan nota keberatan atau eksepsi.
"Kami akan memilih saksi yang relevan. Sampai kemarin kami menempatkan 133 saksi yang akan kami panggil," ujar Jaksa Irene Putri kepada majelis hakim di akhir masa persidangan seperti dikutip dari Tribunnews.com.
Baca: Ketika Iwan Fals Berharap SBY dan Megawati Bertemu
Rencananya, pihak JPU akan menghadirkan 10 saksi di tiap persidangan.
Jumlah ini lebih sedikit dibanding saksi di tahap penyidikan, yaitu 294 saksi.
Lantaran banyaknya saksi yang dihadirkan, pihak JPU juga meminta pertimbangan Majelis Hakim untuk menggelar sidang dua kali sepekan untuk mempercepat waktu.
Hakim ketua yang memimpin jalannya sidang mengabulkan permintaan JPU tersebut.
4. Majelis Hakim
Sidang perdana kasus dugaan korupsi E-KTP ini dipimpin oleh hakim Jhon Halasan Butar-Butar.
Dalam sidang tersebut, Jhon Halasan akan didampingi hakim anggota I, Frangky Tumbuwan, hakim anggota II, Emilia Djajasubagja, hakim anggota III, Anwar, dan hakim anggota IV, Anshori.
Selama dua tahun terakhir, Jhon dipercaya memimpin sidang bertensi ‘panas’.
Baca: 5 Berita Terpopuler: Proyek E-KTP hingga Pramugari Berbusana Khas Bali
Di antaranya, yaitu kasus korupsi dalam pelaksanaan pekerjaan Detail Engineering Design (DED) Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Provinsi Papua dan memvonis mantan Kepala Sub Direktorat Kasasi Perdata pada Direktorat Pranata dan Tata Laksana Perkara Perdata, Badan Peradilan Umum, Mahkamah Agung (MA) Andri Tristianto Sutrisna karena melakukan dua tindak pidana korupsi.
Jhon juga terdaftar sebagai anggota majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta yang menjatuhkan hukuman kepada Rohadi.
Sebelumnya, Rohadi yang bertugas sebagai panitera pengganti Pengadilan Negeri Jakarta Utara tersandung suap sebesar Rp 250 juta.
Suap tersebut diduga untuk permintaan susunan majelis hakim dalam perkara Saipul Jamil.
5. Peneliti : Sidang Perlihatkan Kasus e-KTP Sistematis
Melihat dakwaan yang dibacakan oleh JPU KPK, peneliti dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus menilai kasus E-KTP ini berjalan sistematis.
"Dikatakan sistematis karena sangat jelas terlihat bagaimana konspirasi dibuat melalui rapat-rapat yang terencana," kata Lucius melalui keterangan tertulis, Jumat (10/3/2017) seperti dikutip dari Tribunnews.com.
Menurut Lucius, pemufakatan jahat sudah ada bahkan sebelum proses pembahasan anggaran oleh komisi dan Badan Anggaran.
Ia juga menganggap bahwa kasus korupsi ini masif dan mungkin akan lebih banyak melibatkan beberapa orang.
Baca: Kasus Korupsi E-KTP, Siapa Penerima Jatah Terbesar?
"Juga tak hanya anggota DPR, tetapi banyak pihak lain seperti eksekutif yang ikut menerima dana haram e-KTP tersebut," kata Lucius.
"Tentu saja praktik sebagaimana tergambar di dalam persidangan tadi bahwa pembagian jatah sudah dibicarakan sejak awal bahkan sebelum APBN disetujui," tambahnya.
Fakta-fakta tersebutlah yang membuat KPK tidak mempunyai alasan untuk takut dalam mengusut tuntas kasus ini.
"Orang-orang yang diduga terlibat nampaknya memanfaatkan kewenangan luar biasa pada DPR untuk semua mereka menentukan berapa yang bisa ditilep dari anggaran yang juga sebebasnya bisa ditentukan oleh DPR," pungkasnya.
Korupsi Berjamaah
Tercatat 40 orang disebut menerima guyuran duit suap proyek e-KTP tersebut.
Semua nama 40 orang tersebut tercantum dalam surat dakwaan dan akan dibacakan dalam sidang kali ini.
Sebanyak 14 orang yang di antaranya merupakan anggota dan mantan anggota DPR yang telah mengembalikan uang pemulusan pengadaan proyek e-KTP.
Dari 14 orang tersebut, telah terkumpul uang sekitar Rp 30 miliar. (Tribunwow.com/Fachri Sakti Nugroho)