Gerakan 30 September

Mengungkap Peran dan Keberadaan Soeharto saat Peristiwa G30S, Tidak Terlibat?

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Bung Karno diapit dua jenderal Angkatan Darat, AH Nasution (kiri) dan Soeharto saat bertemu di Istana Merdeka, Jakarta, tahun 1966. Ajudan Soeharto ungkap kejadian unik sebelum G30S/PKI terjadi.

TRIBUNWOW.COM - Hari ini Senin 30 September 2024 menjadi momen peringatan peristiwa tragis Gerakan 30 September, apakah Soeharto terlibat dalam peristiwa G30S?

Pada pergantian malam 30 September ke 1 Oktober 1965, terjadi penculikan dan pembunuhan terhadap sekelompok perwira Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI AD).

Peristiwa yang menewaskan sejumlah jenderal TNI AD tersebut dikenal sebagai Gerakan 30 September atau G30S.

Baca juga: Detik-detik sebelum Jenderal Ahmad Yani Dibunuh saat Peristiwa G30S, Ada Orang Misterius Telepon

Jabatan Soeharto saat G30S adalah Panglima Komando Strategis Angkatan Darat (Kostrad) atau Pangkostrad, dengan pangkat Mayor Jenderal.

Jabatan itu membuat Soeharto dipandang sebagai jenderal terpenting yang dilewatkan oleh para pelaku G30S.

Lantas, apakah Soeharto terlibat dalam G30S? Berikut ini penjelasannya.

Peran Soeharto dalam Peristiwa G30S

Mayjen Soeharto memainkan peran krusial dalam penumpasan G30S 1965 di Jakarta.

G30S adalah operasi yang direncanakan hanya akan menjemput dan membawa sekelompok jenderal TNI AD yang dirumorkan akan melancarkan kudeta, ke hadapan Presiden Soekarno.

Namun, operasi kecil ini berubah menjadi tragedi pembunuhan akibat kekacauan pada pelaksanaannya.

Beberapa jam setelah para jenderal diculik dan dibunuh, komplotan pelaku menguasai Radio Republik Indonesia (RRI) pusat di Jakarta dan menyiarkan bahwa gerakan mereka yang dinamai G30S dipimpin oleh Letnan Kolonel Untung, Komandan Batalyon I Kawal Kehormatan Cakrabirawa, yang bertanggung jawab mengawal presiden.

Baca juga: Daftar Tokoh-tokoh yang Diduga Terlibat Peristiwa G30S dan Peranannya, Nomor 1 Letkol Untung

Dalam siaran itu, disebutkan tujuan G30S adalah untuk mencegah upaya kudeta oleh Dewan Jenderal terhadap Presiden Soekarno.

Selain itu, diumumkan pula pembentukan Dewan Revolusi yang terdiri dari kalangan militer dan sipil yang mendukung G30S.

Setelah deklarasi Dewan Revolusi oleh Letkol Untung di RRI, beberapa daerah bergejolak.

Mayor Jenderal Soeharto, selaku Pangkostrad, merasa bertanggung jawab atas keamanan negara dan mengambil langkah untuk memulihkan ibu kota.

Terlebih, penculikan para jenderal menimbulkan kekosongan pimpinan TNI AD.

Sesuai prosedur, Soeharto mengambil alih kepemimpinan AD untuk sementara waktu karena Jenderal Ahmad Yani selaku Menpangad (Menteri Panglima Angkatan Darat) belum diketahui keberadaannya.

Mayjen Soeharto lantas memimpin operasi penumpasan G30S dan segera mengumpulkan unsur-unsur Kostrad pada 1 Oktober 1965.

Soeharto berkoordinasi dengan Pangdam V/Jaya Mayor Jenderal Umar Wiradadikusuma, Komandan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) Kolonel Sarwo Edhi Wibowo, Batalion 328/Para Kujang/Siliwangi, Kesatuan 530/Brawijaya, dan Kesatuan 454/Diponegoro.

Pada 3 Oktober 1965, RPKAD pimpinan Sarwo Edhi telah berhasil sepenuhnya menguasai keadaan di Jakarta, yang menandai akhir dari pemberontakan G30S di ibu kota.

Baca juga: Keberadaan Soeharto saat Peristiwa G30S, Kenapa Tidak Ikut Dilenyapkan?

Di mana Soeharto saat Para Jenderal Diculik?

Salah satu tokoh penting yang terlibat G30S adalah Kolonel Abdul Latief (Komandan Garnisun Kodam Jaya).

Dalam kesaksiannya kepada Mahkamah Militer, Latief membeberkan alasannya tidak memasukkan nama Soeharto dalam target penculikan.

"...karena kami anggap Jenderal Soeharto loyalis Bung Karno, maka tidak kami jadikan sasaran," kata Latief seperti dikutip dari buku Gerakan 30 September: Pelaku, Pahlawan, dan Petualang (2010).

Latief juga bersaksi bahwa ia memberi tahu Soeharto soal rencana penculikan sejumlah jenderal.

Hal itu dilakukan Latief setelah laporannya tidak ditanggapi oleh Pangdam Jaya Mayjen Umar Wirahadikusumah dan Pangdam Brawijaya Mayjen Jenderal Basoeki Rachmat.

Tidak hanya sekali, Latief pernah membahas soal isu adanya Dewan Jenderal di rumah Soeharto dan di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Subroto.

Pada pertemuan di rumah Soeharto, Latief melaporkan adanya isu Dewan Jenderal yang akan melakukan kudeta terhadap Presiden Soekarno.

Menurut Latief, Soeharto telah mengetahui hal itu dari mantan anak buahnya dari Yogyakarta yang bernama Subagiyo.

"Tanggapan beliau akan dilakukan penyelidikan," kata Latief.

Pada malam 30 September 1965, sesaat sebelum operasi G30S dilaksanakan, Latief kembali menemui Soeharto.

Saat itu, Soeharto berada di RSPAD Gatot Subroto untuk menjaga anak bungsunya, Hutomo Mandala Putra alias Tommy, yang dirawat karena luka bakar akibat ketumpahan sup panas.

Malam itu, Soeharto mengabaikan Latief yang menyampaikan rencananya menggagalkan kudeta.

"Sehari sebelum kejadian itu saya melapor langsung kepada Bapak Mayjen Soeharto, sewaktu beliau berada di RSPAD (Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat) sedang menunggui putranya yang ketumpahan sup panas. Dengan laporan saya ini, berarti saya mendapat bantuan moril, karena tidak ada reaksi dari beliau," kata Latief.

Baca juga: Kumpulan 40 Quotes Ucapan tentang Peristiwa G30S 30 September 2024, Cocok Dibagikan ke Medsos

Soeharto mengakui ia bertemu dengan Latief menjelang peristiwa G30S.

Namun, kesaksiannya terkait pertemuan itu yang berubah-ubah.

Dalam wawancara dengan Der Spiegel pada 19 Juni 1970, Soeharto mengaku ditemui di RSPAD Gatot Subroto oleh Latief pada malam 30 September 1965.

Katanya, Latief tidak memberi informasi apa-apa, malah akan membunuhnya saat itu juga.

"Dia justru akan membunuh saya. Tapi karena saya berada di tempat umum, dia mengurungkan niat jahatnya itu," kata Soeharto.

Namun dalam otobiografinya, Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya (1988), Soeharto mengaku hanya melihat Latief dari kejauhan dan tidak sempat berinteraksi.

"Jadi siapa yang sebenarnya telah mengakibatkan terbunuhnya para jenderal tersebut? Saya yang telah memberi laporan lebih dulu kepada Jenderal Soeharto? Atau justru Jenderal Soeharto, yang sudah menerima laporan tetapi tidak berbuat apa-apa?" kata Latief dalam kesaksiannya.

"Nyatanya, sama sekali tidak pernah ada langkah-langkah untuk menambah penjagaan. Sebaliknya, setelah Peristiwa G30S meletus, selain menghantam G30S dan juga membantai ribuan rakyat yang sama sekali tidak tahu apa-apa, mereka bertiga (Soeharto, Umar Wirahadikusumah, dan Basuki Rachmat) kemudian malahan bersama-sama menggulingkan pemerintahan Presiden Soekarno," ujar Latief.

Dapat disimpulkan, Soeharto tidak diculik dan dibunuh dalam peristiwa G30S karena dianggap sebagai loyalis Presiden Soekarno, sehingga tidak masuk dalam daftar target operasi G30S.

Pada saat para jenderal TNI AD diculik dan dibunuh oleh operasi G30S, Soeharto sedang berada di RSPAD Gatot Subroto untuk menjaga putranya.

Teori tentang Soeharto dalang G30S sempat mengemuka, karena berdasarkan penuturan Latief, ia mengetahui rencana penculikan sejumlah jenderal, tetapi tidak melakukan apa-apa.

Menurut Wertheim, Soeharto mungkin sekali berada di pihak yang berkomplot dengan pelaku G30S karena kurang puas terhadap kepemimpinan TNI AD yang tidak mampu menjawab tantangan PKI.

Karenanya, ia menggunakan G30S sebagai sarana yang melibatkan PKI sehingga memberikan dalih bagi TNI AD untuk bertindak terhadap partai itu.

Dengan demikian, dalam sekali pukul, Soeharto bisa menghancurkan pimpinan TNI AD yang mengecewakannya dan PKI yang merupakan musuh TNI AD.

Hingga kini, dalang G30S masih menjadi pertanyaan besar yang tidak mudah dijawab. Satu yang pasti, Soeharto terlibat dan berperan besar dalam penumpasan G30S. (*)

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Apakah Soeharto Terlibat dalam G30S?"