Terkini Daerah

Menteri Bahlil Ajak Nusron Wahid Diskusi Kasus Rempang secara Tak Resmi: Sambil Duduk dan Makan

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Warga Rempang Batam Selamatkan Bocah dari Gas Air Mata

TRIBUNWOW.COM - Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal yakni Bahlil Lahadalia telah menggelar rapat terkait kasus Rempang Eco City di Gedung DPR RI, Rabu 13 Septemnber 2023.

Bahlil Lahadalia rapat bersama dengan Komisi VI DPR RI Jakarta setelah beberapa kali melibatkan kericuhan antara warga dan pihak berwenang.

Ia menjawab soal pertanyaan dari Anggota DPR Fraksi Golkar Nusron Wahid.

Baca juga: Ungkit Masa Jadi Gubernur DKI, Anies Tanggapi Konflik Rempang: Penggusuran Itu Luka Sosialnya Lama

Awalnya Nusron Wahid bertanya soal jumlah lahan yang diributkan oleh penduduk hingga berbuah kericuhan.

Dikutip dari YouTube DPR RI, lokasi tanah yang diperebutkan oleh warga itu berada di pinggir pantai.

"Berarti sudah ada HPLnya (Hak Pengelolaan Lahan) yang diributkan penduduk itu?" tanya Nusron Wahid.

Bahlil mengatakan sudah ada yang digarap namun tak mengerti soal besaran lahan tepatnya.

Baca juga: Tampang Para Pelaku Pelemparan Batu kepada Aparat di Rempang Riau, Tertunduk Malu Digelandang Polisi

"Sebagian sudah tapi saya tidak bisa menjelaskan detail, saya harus bawa petanya. Saya jangan sampai ngomong di ruangan ini keliru saya nanti dianggap bohong, saya tidak mau dianggap menteri bohong," jawab Bahlil.

Ia lalu meminta waktu pada Nusron Wahid untuk meninjau lokasi Rempang, Batam.

"Tapi mungkin begini Pak Nusron setelah saya ke lokasi saya ngecek detailnya, baru kalau boleh kita duduk rapat setengah resmi sambil makan untuk menjelaskan khusus menyangkut dengan Rempang agar kita mempunyai data yang komprehensif," tambahnya.

Nusron mengatakan hal ini berkaitan dengan kepemilikan lahan asli dari nenek moyang di Rempang.

"Saya khawatir ini kan masalah metode penanganan, kalau yang ditangani itu adalah penduduk yang sudah menempati 600 Ha yang sudah ada HPL nya atas nama otorita Batam itu 100 persen memang salah penduduknya kita mau apa-apain kita tidak bisa bela, tidak bisa kita apa-apain," ujarnya.

"Tapi dalam bentuk yang dikuasai negara belum ada HGU belum ada HPL dan dia penduduk asli setempat di sana, nenek moyangnya tinggal di situ bukan pendatang mungkin itu yang menjadi isu krusial, saya concernnya di situ."

Baca juga: Viral Bayi 8 Bulan Jadi Korban Gas Air Mata Rempang, Ayah Korban: Tembakan di Belakang Rumah

Diberitakan sebelumnya dari Kompas.com, konflik lahan di Pulau Rempang mulai terjadi pada tahun 2001.

Kala itu, pemerintah pusat dan BP Batam menerbitkan Hak Pengelolaan Lahan (HPL) kepada perusahaan swasta.

HPL itu kemudian berpindah tengan ke PT Makmur Elok Graha.

Praktis masalah status kepemilikan lahan masyarakat yang sudah terlanjur menempati di kawasan tersebut semakin pelik.

Sementara masyarakat nelayan yang puluhan tahun menempati Pulau Rempang sulit mendapatkan sertifikat kepemilikan lahan.

Baca juga: Kesaksian Guru Siswa Kena Gas Air Mata saat Bentrok di Rempang Batam, sampai Sembunyi di Hutan

Konflik lahan memang belum muncul kala itu hingga beberapa tahun kemudian, karena perusahaan menerima HPL belum masuk untuk mengelola bagian Pulau Rempang.

Konflik mulai muncul saat pemerintah pusat, BP Batam, dan perusanaan pemegang HPL PT Makmur Elok Graha mulai menggarap proyek bernama Rempang Eco City, proyek yang digadang-gadang bisa menarik investasi besar ke kawasan ini.

Mengutip Antara, Menko Polhukam Mahfud MD menegaskan kasus di Rempang itu bukan penggusuran, tetapi pengosongan lahan, karena hak atas tanah itu telah diberikan oleh negara kepada entitas perusahaan sejak 2001 dan 2002.

“Masalah hukumnya juga supaya diingat, banyak orang yang tidak tahu, tanah itu, (Pulau) Rempang itu sudah diberikan haknya oleh negara kepada sebuah perusahaan, entitas perusahaan untuk digunakan dalam hak guna usaha. Itu Pulau Rempang. Itu Tahun 2001, 2002,” kata Mahfud MD.

Namun pada 2004, hak atas penggunaan tanah itu diberikan kepada pihak lain.

“Sebelum investor masuk, tanah ini rupanya belum digarap dan tidak pernah ditengok sehingga pada 2004 dan seterusnya menyusul dengan beberapa keputusan, tanah itu diberikan hak baru kepada orang lain untuk ditempati. Padahal, SK haknya itu sudah dikeluarkan pada 2001, 2002 secara sah,” kata Mahfud MD.

Dia melanjutkan situasi menjadi rumit ketika investor mulai masuk ke Pulau Rempang pada 2022. (TribunWow.com/ Tiffany Marantika)