Sejalan dengan itu, Direktur Eksekutif Institute for Democracy and Strategic Affairs (Indostrategic) Ahmad Khoirul Umam menilai, Anies hendak menghapus citra "politik identitas" yang melekat di dirinya, sehingga menggandeng Muhaimin sebagai bakal calon RI-2.
Sayangnya, kata Umam, mesin politik Nahdliyin setahun terakhir kadung dioptimalkan untuk “menjual” habis Prabowo ke para kiai sepuh dan simpul-simpul pesantren.
Di bawah komando PKB dan Cak Imin, para kiai sepuh terlanjur mengarahkan dukungan buat Prabowo.
“Maka hal itu akan sangat merepotkan mesin politik PKB,” kata Umam kepada Kompas.com, Jumat (1/9/2023).
Selain itu, lanjut Umam, dengan rekam jejak Anies yang dianggap mengeksploitasi politik identitas pada Pilkada DKI Jakarta 2017, sulit bagi kalangan Nahdliyin mengubah haluan dukungan.
“Artinya, langkah politik Anies agak berat untuk recover elektabilitas. Jangan sampai salah perhitungan,” tutur dosen Universitas Paramadina tersebut.
Wacana Duet
Adapun kabar duet Anies-Muhaimin pertama kali diungkap oleh Partai Demokrat.
Sekretaris Jenderal (Sekjen) Demokrat Teuku Riefky Harsya mengatakan, nama Cak Imin ditunjuk langsung oleh Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh.
Katanya, keputusan itu diambil secara sepihak oleh Surya Paloh setelah ia bertemu dengan Muhaimin di markas Nasdem di Menteng, Jakarta, Selasa (29/8/2023).
“Secara sepihak Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh tiba-tiba menetapkan Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar sebagai cawapres Anies tanpa sepengetahuan Partai Demokrat dan PKS,” ujar Riefky dalam keterangannya, Kamis (31/8/2023).
Demokrat pun mengaku dipaksa menerima keputusan itu.
Partai bintang mercy tersebut menilai, penunjukan Muhaimin sebagai cawapres merupakan bentuk pengkhianatan Nasdem dan Anies atas piagam pembentukan Koalisi Perubahan untuk Persatuan.
Riefky bahkan mengeklaim, pada 14 Juni 2023 lalu, Anies sebenarnya sudah menunjuk Ketua Umum Partai Demokrat, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), sebagai pendampingnya pada Pilpres 2024.
Namun, tiba-tiba saja situasi berubah drastis.