TRIBUNWOW.COM - Inilah nasib REP atau EN, oknum guru SMPN 1 Sidodadi, Lamongan, Jawa Timur yang viral gunduli 19 siswinya karena tidak memakai dalaman kerudung atau yang biasa disebut ciput.
Setelah kasusnya viral, oknum guru tersebut langsung dipindahkan.
Bu Guru di Lamongan yang botaki 19 siswi itu kini memiliki karir yang seketika amblas.
Baca juga: Terungkap Alasan Guru SMP Botaki 19 Siswinya di Lamongan, Kini Mendapat Sanksi dari Pihak Sekolah
Sanksi yang didapatkan juga tak tanggung-tanggung.
Kepala Dinas Pendidikan Lamongan, Munif Syarif membongkar sosok oknum guru yang botaki 19 siswi tersebut.
Munif tidak mengelak dengan insiden yang dilakukan oleh oknum guru itu pada 23 Agustus lalu.
Munif membongkar sosok REP si oknum guru di Lamongan itu merupakan guru mata pelajaran yang mengajar di SMP Negeri 1 Sukodadi.
Sosok REP merupakan guru mata pelajaran yang sebenarnya tidak ada kaitannya dengan pendisiplinan murid.
Seharusnya, menurut Munif, pendisiplinan dilakukan oleh guru bimbingan konseling (BK).
Munif juga membongkar sosok REP kini telah ditarik dan tak lagi mengajar, tentu karir yang susah payah dibangun selama ini akhirnya amblas seketika.
"Kita sudah tarik dan stafkan di Diknas, tidak lagi mengajar," kata Munif saat dikonfirmasi SURYA, Selasa (29/8/2023) siang.
REP, kata Munif, sementara sebagai staf di Diknas Lamongan dalam rangka pembinaan. Jadi tidak ada jabatan atau non job.
Menurut Munif, seharusnya yang menindak siswa itu menjadi tanggungjawab guru bimbingan konseling (BK) bukan guru mata pelajaran.
Baca juga: Hotman Paris Sebut Bayi Tertukar di Bogor Idealnya Dapat Ganti Rugi Triliunan, Begini Kata Pihak RS
Ia menyayangkan tindakan guru tersebut.
Sedangkan oknum guru yang menurut Munif dalam proses pembinaan belum bisa dipastikan sampai kapan.
"Sementara ini kita stafkan," katanya.
Menyikapi siswa, guru berkewajiban memperbaiki karakter anak didik. Dan menciptakan proses belajar anak itu menyenangkan.
Bagaimana dengan orang tua siswa yang menjadi korban ?
Menurut Munif, sehari setelah peristiwa antara orang tua siswa dengan guru dan pihak sekolah.
Menurutnya, antara siswa, orang tua murid dengan pihak sekolah sudah selesai, damai.
Apa yang terjadi di SMP Negeri 1 Sukodadi bagi Munif harus menjadi pembelajaran bagi semuanya.
Bagaimana siswa yang menjadi korban arogansi si guru ? para siswi tetap masuk sekolah dan mengikuti proses belajar mengajar seperti biasa.
Kepala Sekolah SMP Negeri 1 Sukodadi, Harto kepada Tribun Jatim Network memastikan sudah tidak ada masalah.
Bahkan saat dilakukan mediasi, antara ibu-ibu wali murid dengan sang guru ikhlas saling memaafkan.
"Saya sampai meneteskan air mata , ketika menyaksikan mereka berangkulan saling memaafkan," kata Harto.
Bahkan ibu-ibu wali murid menyatakan jika mereka merasa memiliki lembaga sekolah dimana anak mereka belajar.
Ketika pagi ada masalah, sore pihak sekolah sudah ketemu dengan pihak wali murid.
Pada pagi harinya, 24 Agustus ditindak lanjuti mediasi dengan semua belasan ibu wali murid, guru dan pihak lembaga.
"Ini sudah tidak ada masalah. Damai," kata Harto.
Munculnya kasus di SMP plat merah ini bermula saat belasan siswi yang berjilbab tidak mengenakan dalaman sehingga rambutnya kelihatan.
Baca juga: Viral Kapolres Dairi Pukul 2 Anggotanya hingga Masuk RS, Korban Tolak Bantuan, Belum Dapat Kata Maaf
Hanya karena itu yang membuat ubun-ubun si guru memanas dan melakukan tindakan eksekusi membotaki siswinya.
Salah satu siswa, Salsabilah Adinda, mengakui tidak ada masalah.
Bahkan ibu-ibu wali murid, menurut Salsabilah sudah dipertemukan.
"Sudah pertemukan dengan kepala sekolah, ibu guru (REN) dengan ibu-ibu wali murid dan saling memaafkan," kata Salsabila .
Kepala Dinas Pendidikan Lamongan Munif Syarif menambahkan, persoalan itu telah diselesaikan secara kekeluargaan melalui mediasi yang difasilitasi pihak sekolah.
"Sudah dilakukan mediasi, berakhir secara kekeluargaan. Pihak sekolah langsung menggelar mediasi itu sehari usai kejadian," kata dia.
Menurutnya, sekolah juga memberikan pendampingan psikologis pada para siswa.
"Pihak sekolah juga menyediakan psikiater untuk pendampingan bagi para siswi (yang sempat menjadi korban pembotakan)," tutur Munif.
Sementara itu, menurut kacamata hukum, tindakan REP bisa jadi dijerat undang-undang secara hukum.
LBH Surabaya mengecam keras aksi pembotakan rambut terhadap 19 orang siswi kelas IX SMPN 1 Sukodadi Lamongan, Jawa Timur, yang dilakukan oleh oknum guru EN pada Rabu (23/8/2023).
Kepala Bidang Advokasi dan Kampanye LBH Surabaya, Habibus Shalihin mengatakan, salah satu perwujudan prinsip 'The Right to Survival and Development' atau hak untuk hidup dan berkembang bagi anak adalah setiap anak memperoleh hak atas pendidikan.
Termasuk ketika anak berada di dalam lingkungan satuan pendidikan agar terhindar dari tindak kekerasan fisik maupun psikis yang berpotensi dilakukan oleh elemen-elemen yang ada pada lingkungan satuan pendidikan, seperti pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan atau pihak lain .
Mereka menilai, aksi pembotakan terhadap para siswi di SMPN 1 Sukodadi Lamongan, menunjukkan upaya perlindungan anak dari kekerasan fisik berakibat pada kondisi psikis anak yang menjadi korban tindakan pembontakan rambut bagian depan yang dilakukan pihak sekolah, khususnya oleh guru berinisial EN yang melakukan aksi kekerasan tersebut.
"Seharusnya lingkungan sekolah menjadi ruang aman bagi anak untuk mendapatkan penikmatan atas hak pendidikan," ujar Habibus, dalam keterangan tertulisnya yang diterima TribunJatim.com, Rabu (30/8/2023).
Selain itu, menurut Habibus, tindakan oknum guru EN dalam kasus ini yang secara paksa melakukan aksi pembotakan rambut bagian depan siswi-siswinya, sudah dikategorikan sebagai salah satu bentuk kekerasan.
Terjadinya kasus ini justru mencoreng martabat kemanusiaan anak. Bahkan, tindakan tersebut juga telah melanggar Pasal 76C UU No 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Pengertiannya, yakni 'setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan kekerasan terhadap anak.'
"Kekerasan yang dimaksud dalam UU Perlindungan Anak adalah setiap perbuatan terhadap anak yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikis, seksual, dan atau penelantaran, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum," jelasnya.
Dalam kasus ini, lanjut Habibus, negara dalam hal ini, pemerintah berdasarkan Pasal 59 UU 35 tahun 2014, berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak korban kekerasan fisik dan atau psikis.
Salah satu tindakan yang dapat dilakukan oleh pemerintah adalah menegakkan sanksi. Kemudian, sanksi yang dapat dikenakan oleh guru tersebut mengacu pada Pasal 80 ayat (1) UU 35 tahun 2014 dengan ancaman pidana penjara paling lama tiga tahun enam bulan dan atau denda paling banyak Rp72 juta.
Tindakan pembotakan yang dilakukan oleh oknum guru EN terhadap peserta didiknya itu, juga dikategorikan sebagai kekerasan fisik dan kekerasan psikis menurut Pasal 7 dan Pasal 8 Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia (Permendikbudristek) No 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan.
Perbuatan EN yang melakukan pencukuran rambut paksa terhadap para siswi berjilbab tersebut merupakan kekerasan fisik karena terjadi kontak fisik antara EN dengan para siswi korban pencukuran rambut dengan alat bantu mesin cukur.
Tindakan pencukuran rambut paksa ini juga merupakan bentuk kekerasan psikis karena berakibat merendahkan, menghina, menakuti, atau membuat perasaan tidak nyaman bagi para siswi korban. (*)
Baca berita Viral lainnya
Artikel ini telah tayang di TribunJatim.com dengan judul Sosok Bu Guru Lamongan yang Botaki 19 Siswi, Karir Seketika Amblas, Sanksinya Tak Tanggung-tanggung