Namun, kampanye militer sengit Rusia di Ukraina terus berlanjut, sementara perkiraan kapan perang masih menjadi perdebatan.
Dilansir TribunWow.com, sekretaris Jenderal NATO Jens Stoltenberg sebelumnya telah memperingatkan bahwa perang itu bisa berlangsung selama bertahun-tahun.
Baca juga: Sindir Taktik Licik AS, Korea Utara Ikut Komentari Pembantaian di Bucha
Klaim ini berbeda dengan spekulasi badan-badan intelijen Barat yang mengatakan kemampuan tempur Rusia bisa habis dalam beberapa bulan mendatang.
Setelah mengalihkan fokusnya ke timur Ukraina, Rusia telah merebut hampir semua provinsi Luhansk dan kemungkinan akan melanjutkan upayanya hingga menguasai provinsi Donetsk.
Bersama-sama, kedua wilayah ini disebut sebagai wilayah Donbas.
Pada hari Rabu (29/6/2022), Presiden Rusia Vladimir Putin mengatakan tidak ada menetapkan tanggal akhir untuk 'operasi militer' di Ukraina.
Namun, tujuannya untuk menguasai Donbas akan terus dilakukan hingga mencapai hasil.
"Setelah gagal memasuki Kyiv, pemindahan strategis pasukan Rusia dan penempatan pusat gravitasi ke Ukraina timur, para jenderal Rusia memutuskan untuk maju perlahan tapi tegas," kata Konstantinos Loukopoulos, mantan letnan jenderal Yunani dan NATO, seperti dikutip dari Al Jazeera, Senin (3/7/2022).
Pekan lalu, Ukraina memerintahkan pasukannya untuk mundur dari kota utama Severodonetsk, yang telah menjadi target serangan intens Rusia selama berminggu-minggu.
Sementara pasukannya merebut kota terdekat Lysychansk, Rusia pada hari Kamis mengumumkan penarikan pasukannya dari Pulau Ular yang penting secara strategis.
Moskow menyebutnya sebagai sikap niat baik yang bertujuan untuk menunjukkan dukungannya terhadap upaya memulai kembali ekspor makanan dari pelabuhan Ukraina.
Tetapi Kyiv membanggakannya sebagai kemenangan, dengan mengatakan itu telah memaksa Rusia untuk mundur.
Melihat perkembangan tersebut, Loukopoulos memberikan prediksi kapan perang antara Rusia dan Ukraina akan selesai.
"Perang berakhir baik ketika satu pihak berhasil memaksakan kehendaknya pada pihak lain terlebih dahulu di lapangan dan kemudian di meja perundingan," terang Loukopoulos.
"Atau ketika kedua belah pihak menginginkan kompromi daripada berperang karena biayanya terus-menerus melebihi konsesi apa pun untuk menemukan yang disebut 'kesamaan'."