Konflik Rusia Vs Ukraina

Intelektual Jerman Minta Negara Barat Setop Kirim Senjata, Dubes Ukraina Balas Memaki: Pecundang

Penulis: anung aulia malik
Editor: Rekarinta Vintoko
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Duta Besar Ukraina untuk Jerman, Andrey Melnik. Melnik menyindir sekelompok intelektual di Jerman yang meminta negara-negara barat berhenti kirim senjata ke Ukraina.

TRIBUNWOW.COM - Sekelompok intelektual di Jerman menulis sebuah surat terbuka berisi permintaan kepada negara-negara barat untuk menghentikan mengirim bantuan senjata ke Ukraina.

Kelompok intelektual ini meminta agar konflik diakhiri lewat jalur negosiasi damai.

Dikutip TribunWow.com dari rt.com, aksi sekelompok intelektual di Jerman tersebut menuai sindiran dari Duta Besar Ukraina untuk Jerman, Andrey Melnik.

Baca juga: Konpers Bersama Putin, Jokowi Akui Siap Bantu Rusia dan Ukraina Berkomunikasi

Melnik menyebut para kelompok intelektual tersebut sebagai pecundang.

Melnik turut memaki permintaan kelompok intelektual tersebut.

"Perse**n dengan saran mereka," kata Melnik.

Surat terbuka ini diketahui dimuat dalam koran cetak di Jerman Die Zeit, Rabu (29/6/2022).

Surat terbuka itu berjudul "Gencatan senjata sekarang!".

Total ada 21 orang terlibat dalam penulisan surat tersebut, mulai dari akademisi, filsuf, jurnalis, seniman, mantan diplomat.

Baca juga: 3 Skenario Perkembangan Konflik Rusia-Ukraina, Intelijen AS Sebut saat Ini Mustahil Berdamai

Isi surat itu mendesak Uni Eropa menjalankan kewajiban mereka untuk mengembalikan dan memastikan perdamaian di Benua Eropa.

Di dalam surat tersebut turut dijelaskan semakin lama aksi mengirimkan senjata dilakukan, semakin tidak jelas akhir dari konflik yang terjadi.

Dijelaskan hampir tidak mungkin bagi Ukraina mewujudkan keinginan mereka merebut kembali seluruh area Donetsk dan Lugansk serta Krimea yang kini telah dikuasai oleh pasukan militer Rusia.

Surat ini juga menjelaskan bagaimana konflik di Ukraina menyebabkan bencana kemanusiaan mulai dari kelaparan hingga ekonomi di negara-negara lain.

Para penulis surat itu berpendapat negara-negara barat harus bersatu melawan Rusia namun bukan dengan cara perang yang berkepanjangan di Ukraina.

Baca juga: Ingin Minta Maaf, Dubes Ukraina Menyesal Ledek Kanselir Jerman Pakai Sebutan Sosis

5 Skenario Akhir Konflik Rusia dan Ukraina

Dilansir TribunWow.com dari BBC, Minggu (5/6/2022), berikut adalah lima skenario potensial perkembangan perang Rusia-Ukraina.

1. Gesekan Terus Berlanjut

Perang ini mungkin berlanjut selama berbulan-bulan, jika tidak bertahun-tahun.

Momentum bergeser ke sana kemari karena kedua belah pihak sama-sama mendapat untung dan rugi.

Tidak ada kubu yang mau menyerah.

Presiden Rusia Vladimir Putin menilai dia bisa mendapatkan keuntungan dengan menunjukkan kesabaran.

Ia bertaruh bahwa negara-negara Barat akan merasa lelah dengan Ukraina dan mengalihkan fokus pada krisis ekonomi mereka dan ancaman dari China.

Perang di Ukraina bisa berhenti dalam sehari jika kyiv menyerah, Kamis (30/6/2022). (Telegram @mod_russia)

Baca juga: Putin Balas Sindiran PM Inggris dkk Ingin Buka Baju saat KTT G7: Akan Jadi Pemandangan Menjijikan

Namun Barat masih menunjukkan tekad dan terus memasok Ukraina dengan senjata.

Diprediksi bahwa gesekan akan terjadi terus-menerus hingga menyebabkan perang berlangsung selamanya.

"Ada sedikit prospek kemenangan operasional atau strategis yang menghancurkan oleh kedua belah pihak dalam jangka pendek. Tidak ada pihak yang berperang telah menunjukkan kapasitas untuk mendaratkan pukulan yang menentukan secara strategis," kata Mick Ryan, seorang pensiunan jenderal dan sarjana militer Australia.

2. Putin Mengumumkan Gencatan Senjata

Putin diperkirakan bisa mengumumkan gencatan senjata sepihak untuk mengantongi keuntungan teritorialnya dan menyatakan kemenangan.

Dia bisa mengklaim bahwa operasi militernya telah selesai dengan berhasil dilindunginya separatis yang didukung Rusia di Donbas.

Putin kemudian bisa mencari landasan moral yang tinggi, memberi tekanan pada Ukraina untuk menghentikan pertempuran.

Presiden Jokowi bersama Presiden Putin usai memberikan keterangan pers bersama di Istana Kremlin, Moskow, Kamis (30/06/2022). (BPMI Setpres/Laily Rachev)

"Ini adalah taktik yang dapat digunakan oleh Rusia kapan saja, jika ingin memanfaatkan tekanan Eropa pada Ukraina untuk menyerah dan menyerahkan wilayah sebagai imbalan perdamaian nosional," kata Keir Giles, pakar Rusia di lembaga Chatham House.

Hal ini ini sudah dikumandangkan di Paris, Berlin dan Roma yang mendorong Rusia agar tidak perlu memperpanjang perang dan mengumumkan gencatan senjata.

Namun, keputusan ini akan ditentang oleh AS, Inggris, dan sebagian besar Eropa timur, di mana para pembuat kebijakan percaya bahwa invasi Rusia harus kalah, demi Ukraina dan tatanan internasional.

Jadi gencatan senjata sepihak Rusia mungkin mengubah narasi tetapi tidak mengakhiri pertempuran.

3. Kebuntuan di Medan Perang

Jika perang terus berlanjut, baik tentara Ukraina maupun Rusia akan kelelahan, kehabisan tenaga dan amunisi.

Harga dalam darah dan harta tidak lagi dapat membenarkan berlangsungnya pertempuran lebih lanjut.

Kerugian militer dan ekonomi Rusia tidak bisa lagi ditutup dengan biaya apa pun.

Orang-orang Ukraina lelah perang, tidak mau mempertaruhkan lebih banyak nyawa untuk kemenangan yang sulit dipahami.

Ada harapan bahwa Rusia dan Ukraina akan menyelesaikan masalah ini melalui diplomasi.

Tetapi penyelesaian politik melalui cara apa pun akan sulit, paling tidak karena kurangnya kepercayaan Ukraina pada Rusia.

Kesepakatan damai mungkin tidak bertahan lama dan bisa diikuti dengan lebih banyak pertempuran.

Baca juga: Kunjungi Putin, Jokowi Ungkap Tujuan Damaikan Rusia-Ukraina: Indonesia Tidak Memiliki Kepentingan

4. Kemenangan untuk Ukraina

Ada kemungkinan bahwa Ukraina yang memberi perlawanan sengit akan muncul sebagai pemenang.

"Ukraina pasti akan memenangkan perang ini," kata Presiden negara itu Volodymyr Zelensky kepada TV Belanda minggu ini.

Bisa saja Rusia gagal merebut semua wilayah Donbas dan menderita lebih banyak kerugian.

Apalagi mengingat sanksi Barat telah menghantam mesin perang Rusia.

Ukraina mungkin akan melakukan serangan balasan, menggunakan roket jarak jauh barunya, merebut kembali wilayah di mana jalur pasokan Rusia terbentang.

Ukraina bermanuver mengubah pasukannya dari pertahanan menjadi kekuatan penyerang.

Skenario ini cukup masuk akal bagi pembuat kebijakan untuk khawatir tentang konsekuensinya.

Namun, jika Putin menghadapi kekalahan, ia mungkin akan meningkatkan potensi menggunakan senjata kimia atau nuklir.

"Tampaknya tidak mungkin bagi saya bahwa Putin akan menerima kekalahan militer konvensional ketika dia memiliki opsi nuklir," ujar Sejarawan Niall Ferguson mengatakan dalam sebuah seminar di Kings College, London.

5. Kemenangan untuk Rusia

Pejabat Barat menekankan bahwa meskipun mengalami kemunduran awal, Rusia masih berencana untuk merebut ibukota Kyiv dan menaklukkan sebagian besar Ukraina.

"Tujuan maksimalis itu tetap ada," kata seorang pejabat.

Rusia dapat memanfaatkan keuntungannya di Donbas dengan membebaskan pasukan untuk digunakan di tempat lain, bahkan mungkin menargetkan Kyiv sekali lagi.

Di sisi lain, Presiden Zelensky telah mengakui hingga 100 tentara Ukraina sekarat dan 500 lainnya terluka setiap hari.

Orang-orang Ukraina diprediksi akan dapat terpecah belah, di mana beberapa ingin terus berjuang, sementara yang lain menuntut perdamaian.

Beberapa negara Barat mungkin akan lelah mendukung Ukraina dan menghentikan pasokan bantuannya.

Sehingga, Ukraina yang tak lagi memiliki kekuatan, mau tak mau harus menyerah kalah. (TribunWow.com/Anung/Via)

Berita terkait lainnya