TRIBUNWOW.COM - Menteri Luar Negeri Rusia, Sergei Lavrov mengungkap adanya potensi penggunaan senjata nuklir di konflik Rusia-Ukraina.
Dikutip dari BBC Indonesia, Menlu Rusia itu tak menampik kemungkinan konflik yang memburuk.
Oleh karena itu, Sergei Lavrov berharap adanya prospek kesepakatan damai antara Rusia dan Ukraina.
Baca juga: Rusia Sebut AS Justru Tak Ingin Konflik di Ukraina Berakhir, Ajak Negara-negara Barat Ikut Terlibat
Dia mengatakan Moskow ingin menghindari peningkatan risiko konflik semacam itu.
"Kami memegang posisi kunci, di mana kami mempertimbangkan berbagai hal. Risikonya sekarang cukup besar," kata Lavrov kepada Russian First Channel, Senin (26/4/2022).
"Saya tidak ingin dengan sengaja meningkatkan risiko itu. Banyak pihak akan menyukainya. Bahayanya serius, nyata, dan kita tidak boleh meremehkannya."
Lavrov juga menuduh Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky "berpura-pura" ingin bernegosiasi, menyebutnya "aktor yang baik".
"Jika Anda memperhatikan dan membaca dengan seksama apa yang dia katakan, Anda akan menemukan ribuan kontradiksi," kata Lavrov.
Pekan lalu, Lavrov mengatakan, Moskow berkomitmen untuk menghindari perang nuklir.
Pada Senin, Menteri Luar Negeri Ukraina Dmytro Kuleba menulis di akun Twitternya, bahwa komentar terakhir Lavrov mengindikasikan bahwa Rusia telah kehilangan "harapan terakhirnya untuk menakut-nakuti dunia, agar tidak mendukung Ukraina".
"Dengan membicarakan bahaya 'nyata' dari Perang Dunia III, berarti Moskow merasakan kekalahan di Ukraina," cuitnya.
Baca juga: Rusia Sebut Potensi Perang Nuklir Terus Meningkat: Ada Banyak yang Menginginkannya
Eskalasi konflik Rusia dan Ukraina dipicu oleh kiriman persenjataan dari negara-negara Barat, yang tergabung dalam aliansi NATO, ke Ukraina.
Dalam sebuah wawancara yang disiarkan pada Senin, Lavrov mengatakan: "Senjata-senjata ini akan menjadi target yang sah bagi militer Rusia yang bertindak dalam konteks operasi khusus."
Lavrov juga mengatakan kepada televisi pemerintah: "NATO, pada dasarnya, terlibat dalam perang dengan Rusia melalui proxy dan mempersenjatai proxy itu. Perang berarti perang."
Beberapa hari setelah invasi Rusia dimulai pada 24 Februari, Presiden Rusia Vladimir Putin memerintahkan pasukan nuklirnya untuk bersiaga.