Konflik Rusia Vs Ukraina

Sebelum Sepakat Berdamai, Putin Tegaskan Harus Bertemu Tatap Muka dengan Presiden Ukraina

Penulis: anung aulia malik
Editor: Rekarinta Vintoko
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Presiden Rusia Vladimir Putin mengadakan pertemuan dengan Dewan Keamanan Rusia pada 21 Februari 2022. Terbaru, saat berbicara dengan pemerintah Turki, Putin tegaskan ingin bertemu langsung dengan Zelensky sebelum bersepakat berdamai.

TRIBUNWOW.COM - Presiden Rusia Vladimir Putin pada Kamis (17/3/2022) sore baru saja berdiskusi dengan pemerintahan Turki via sambungan telepon.

Bersama Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan, Putin membahas soal apa saja permintaan Rusia untuk sepakat berdamai dengan Ukraina.

Satu dari beberapa syarat yang diminta adalah Putin ingin bertemu langsung dengan Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky.

Pidato Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky merasa Ukraina telah ditinggal sendirian oleh negara-negara barat untuk menghadapi Rusia, Jumat (25/2/2022). (youtube kompastv)

Baca juga: Media Inggris Beritakan Tentara Rusia Muak Diperintah Bunuh Warga Sipil, Siap Lawan Balik Putin

Baca juga: Jurnalis AS Bongkar Isi Berita yang Disiarkan TV Pemerintah Rusia soal Konflik di Ukraina

Dikutip TribunWow.com dari BBC.com, informasi ini disampaikan oleh juru bicara sekaligus penasihat Erdogan, Ibrahim Kalin.

Kalin adalah satu dari beberapa orang yang mendengar pembicaraan Putin dengan Erdogan.

Menurut penjelasan Kalin permintaan Putin soal kesepakatan damai dapat dibagi menjadi dua kategori yakni mudah dan sulit.

Syarat mudah yang diminta oleh putin adalah agar Ukraina terus netral dan tidak bergabung dengan NATO.

Putin juga meminta agar tidak terjadi diskriminasi budaya di Ukraina.

Selain itu Putin juga mengungkit soal denazaifikasi di Ukraina.

Kalin menyebut syarat-syarat tersebut masih tergolong mudah dipenuhi oleh Zelensky.

Kemudian syarat sulit adalah di saat Putin meminta negosiasi dengan Zelensky dilakukan secara langsung.

Saat negosiasi secara langsung ini, Putin akan membahas status Donbas hingga Crimea.

Kalin tak menjelaskan secara detail terkait negosiasi langsung ini, namun ia menduga Putin akan meminta Ukraina menyerahkan wilayah Donbas dan Crimea.

Hampir tiga minggu berlalu sejak Rusia melakukan invasi ke Ukraina pada 24 Februari 2022 kemarin.

Selama invasi berlangsung, kedua belah pihak sudah berkali-kali melakukan pertemuan yang mana di antaranya melakukan negosiasi untuk mengakhiri konflik yang terjadi.

Sebelumnya, Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky mengakui permintaan pemerintah Rusia semakin realistis.

Dikutip TribunWow.com dari Aljazeera.com, pernyataan ini disampaikan oleh Zelensky pada Rabu (16/3/2022).

Zelensky mengomentari soal bagaimana perkembangan negosiasi antara Rusia dan Ukraina yang berlangsung pada Rabu ini.

"Saya mendapat laporan bahwa posisi selama negosiasi sudah mulai terdengar lebih realistis," ujar Zelensky.

Sebelumnya, pada Selasa (15/3/2022) kembali dilakukan perbincangan antara Ukraina dan Rusia.

Negosiasi yang bertujuan membahas perdamaian ini dilakukan bersamaan dengan proses evakuasi warga sipil Ukraina lewat jalur kemanusiaan.

Terkait negosiasi ini, Rusia dan Ukraina memiliki pendapat yang berbeda.

Dikutip TribunWow.com dari Sky News, Rusia cenderung pesimis perdamaian bisa tercapai, sedangkan Ukraina justru optimis.

Sebuah pernyataan yang disampaikan oleh pemerintah Rusia menyebut Ukraina tidak serius mencari solusi yang disetujui kedua belah pihak.

"Dia (Putin) menekankan bahwa Kiev tidak menunjukkan komitmen serius untuk mencari solusi yang dapat diterima bersama," ujar sebuah statement dari pemerintah Rusia.

Di sisi lain, penasihat Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky, Mykhailo Podolyak mengiyakan bahwa proses negosiasi berlangsung alot dan ada hal-hal dasar yang tidak terjadi kesepakatan antara kedua belah pihak.

Namun Podolyak menyatakan dirinya meyakini akan tercapai perdamaian antara Rusia dan Ukraina.

"Pasti ada ruang untuk kompromi," tulis Podolyak.

Negosiasi antara Rusia dan Ukraina dijadwalkan untuk dilanjutkan kembali pada Rabu (16/3/2022) ini.

Sebelumnya, perwakilan Tetap Rusia untuk PBB Vasily Nebenzya mengungkapkan hal yang bisa menentukan lamanya invasi ke Ukraina.

Menurut wakil diplomatik Presiden Rusia Vladimir Putin itu, ada beberapa kondisi yang harus dipenuhi Ukraina.

Dalam waktu dekat, ia pun berencana akan mempresentasikan rancangan resolusi kemanusiaan tentang Ukraina di Dewan Keamanan PBB.

Dilansir TribunWow.com dari media Rusia RIA Novosti, Selasa (15/3/2022), Nebenzya kembali menekankan tujuan negaranya.

Dijelaskan bahwa agresi yang disebutnya operasi militer akan berakhir ketika tujuan Rusia tercapai.

Ia menegaskan terkait tuntutan utama Putin mengenai demiliterisasi dan denazifikasi Ukraina.

Syaratnya yang dikemukakan juga termasuk tidak adanya ancaman yang berasal dari Ukraina terhadap Rusia dengan tidak bergabung menjadi anggota NATO.

Sebelumnya, Rusia mengajukan hak veto menolak resolusi DK PBB soal penyelesaian konflik.

Karenanya,Rusia kini tengah menyusun resolusi sendiri terkait kemanusiaan untuk diajukan ke pertemuan PBB.

Baca juga: Jurnalis Rusia Diinterogasi 14 Jam Tanpa Tidur Gegara Protes di Stasiun TV Milik Pemerintah

Baca juga: Warga Afrika Pilih Jadi Relawan Perang di Ukraina ketimbang Tinggal di Negara Asal Mereka

"Kami akan mengusulkan proyek kami sendiri, yang bersifat kemanusiaan. Kami akan segera menyajikannya dalam salinan bersih dan melihat apakah Dewan Keamanan bisa atau tidak untuk memenuhi misinya," kata Nebenzya.

Nebenzya menambahkan bahwa dokumen Rusia akan mencakup ketentuan kemanusiaan yang jelas, seperti menyerukan gencatan senjata yang dinegosiasikan, mengevakuasi warga sipil, menghormati hukum humaniter internasional, mengutuk serangan terhadap warga sipil dan infrastruktur sipil, dan perjalanan warga sipil yang aman dan tanpa hambatan.

Di sisi lain, Vladimir Olenchenko, seorang peneliti senior di Pusat Studi Eropa di IMEMO RAS masih meragukan kemungkinan disetujuinya syarat yang diajukan Rusia.

Ia merasa ragu meski Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky menyatakan tak akan meminta bergabung dengan NATO lagi.

Dalam siaran radio Sputnik, ia mempertanyakan ketulusan niat Zelensky tersebut.

"Saya berpegang pada pandangan bahwa ketika strategi suatu negara berubah atau harus berubah, ketika kebijakan dalam dan luar negerinya berubah, tokoh-tokoh yang mampu menerapkan ini harus siap. Sayangnya, baik Zelensky maupun timnya tidak termasuk dalam definisi ini. Jika ini (batal masuk NATO - red.) adalah keyakinannya, maka itu sudah dilakukan, tetapi ini, menurut saya, hanya tanggapan oportunistik," kata Olenchenko.

Menurut Olenchenko, Zelensky telah berulang kali berubah pikiran tentang isu-isu penting kebijakan dalam dan luar negeri.

Ia pun mengaku ragu apakah presiden 44 tahun tersebut akan benar-benar menarik pendaftaran keanggotaan Ukraina dari NATO.

"Oleh karena itu, saya skeptis tentang pernyataannya, sebagai ketentuan, aturan tersebut berumur pendek dan saling membantah, yang kadang-kadang terjadi dalam waktu hanya sehari," pungkas Olenchenko.

3 Skenario Akhir Rusia Vs Ukraina

Dr Chris Tuck, Pakar Konflik dan keamanan dari Universitas King, London, Inggris menyebut ada tiga kemungkinan bagaimana konflik di Ukraina akan berkahir.

Dikutip dari Sky News, menurut Tuck, Putin tidak menyangka bahwa Rusia gagal menyelesaikan operasi militer dengan cepat di Ukraina.

"Seharusnya ini (operasi militer) dilakukan secara cepat," kata Tuck.

Tuck melanjutkan, operasi militer Rusia yang gagal diselesaikan secara cepat disebabkan oleh perlawanan pasukan Ukraina yang lebih kuat di luar dugaan Rusia.

Menurut Tuck saat ini Putin hanya memiliki tiga opsi untuk mengakhiri konflik di Ukraina setelah gagal menguasai Kiev dengan cepat.

1. Senjata Kimia dan Nuklir

Pertama Tuck menyoroti meningkatnya intensitas aksi militer oleh Rusia.

Opsi pertama ini turut meliputi penggunaan senjata kimia dan nuklir yang sudah dimiliki oleh pasukan Rusia.

Namun menurut Tuck opsi ini sangat kecil kemungkinannya untuk terjadi.

Ia menyoroti bagaimana Putin masih menganggap bahwa masyarakat di Ukraina masih banyak yang pro Rusia.

Selain itu Tuck juga menyoroti bagaimana Rusia akan mempertimbangkan risiko dari dunia internasional apabila menggunakan senjata kimia dan nuklir saat menyerang Ukraina.

2. Taktik Anaconda

Opsi kedua adalah Putin akan menggunakan taktik Anaconda yakni melilit Kyiv dengan cara menguasai kota-kota di sekitarnya.

Dengan menguasai kota-kota di sekitarnya, diharapkan moral Ukraina akan turun dan menyerah.

"Intinya Rusia akan memberi contoh kepada Ukraina bahwa terus berperang hanya akan membawa kerugian bagi mereka," jelas Tuck.

Menurut Tuck, opsi ini adalah yang paling mungkin terjadi dan diduga kuat diambil oleh Putin.

3. Negosiasi Damai

Terakhir adalah opsi damai antara Ukraina dan Rusia.

Menurut Tuck opsi ini hampir mustahil terjadi untuk sementara waktu karena Putin yakin operasi militer yang ia lakukan akan sukses.

Selain itu Tuck juga mengungkit soal gengsi dan faktor psikologis Putin jika menyetujui negosiasi damai dengan permintaan yang sedikit. (TribunWow.com/Anung/Via)

Berita terkait Konflik Rusia Vs Ukraina