TRIBUNWOW.COM – Diplomat Brunei Darussalam yang ditunjuk ASEAN sebagai untusan khusus di Myanmar, Erywan Yusof menyatakan masih bernegosiasi dengan militer terkait syarat kunjungannya pada Sabtu (4/9/2021).
Kunjungan Erywan Yusof ke Myanmar berkaitan dengan pertemuannya dengan militer atau junta di negara itu.
Dilansir dari Channel News Asia, Erywan Yusof meminta akses untuk bertemu dengan Aung San Suu Kyi dalam upaya ASEAN mengakhiri konflik di Myanmar pasca penggulingannya.
ASEAN berusaha untuk membuka dialog antara penguasa militer dan lawan mereka di Myanmar.
Erywan Yusof menyatakan kepentingan yang mendesak dalam kunjungan ke Myanmar dan membutuhkan jaminan.
"Ada kebutuhan mendesak untuk pergi ke Myanmar sekarang. Tapi saya pikir sebelum semua itu, saya perlu memiliki jaminan," kata Erywan Yusof.
"Saya harus dapat memiliki gambaran yang jelas tentang apa yang harus saya lakukan, apa yang akan mereka izinkan untuk saya lakukan ketika saya berkunjung,” tambahnya.
Permintaan terkait akses ke Aung San Suu Kyi telah diajukan ke Dewan Administrasi Negara yang diketuai oleh pemimpin junta, Min Aung Hlaing, ungkap Erywan Yusof.
Sebelumnya, Erywan Yusof telah meminta untuk diberikan akses penuh ke semua pihak ketika mengunjungi Myanmar, sehari setelah penunjukannya sebagai utusan khusus oleh ASEAN pada 7 Agustus lalu.
Kelompok masyarakat sipil Myanmar sempat menolak pengangkatan Menteri Luar Negeri Kedua Brunei Darussalam, Erywan Yusof itu dan mengatakan seharusnya ASEAN berkonsultasi terlebih dulu dengan lawan junta serta pihak-pihak lain.
Erywan telah ditugaskan untuk mengawasi bantuan kemanusiaan dan mengakhiri kekerasan di Myanmar pasca kudeta militer 1 Februari.
Saat itu, militer menuduh terdapat penyimpangan dalam pemilihan yang dimenangkan oleh Partai Liga Nasional untuk Demokrasi pimpinan Aung San Suu Kyi pada November 2020.
Komisi pemilihan dan pemantau internasional telah mengatakan tuduhan itu salah.
Otoritas militer mengatakan pihaknya bertindak sesuai dengan konstitusi untuk menggulingkan pemerintahan Aung San Suu Kyi dan menolak disebut sebagai kudeta.
Penguasa militer Myanmar, Min Aung Hlaing yang telah menjabat sebagai perdana menteri sementara berjanji untuk mengadakan pemilihan pada tahun 2023 mendatang.