Terkini Nasional

Gugatannya Ditolak, Rizal Ramil Sebut MK Konyol: Bukan Mahkamah Konstitusi, tapi Mahkamah Kekuasaan

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Kepada Karni Ilyas, Ekonom senior Rizal Ramli menyebut konyol Mahkamah Konstitusi (MK), dalam kanal YouTube Karni Ilyas Club, Jumat (29/1/2021).

TRIBUNWOW.COM - Ekonom senior Rizal Ramli menyebut konyol Mahkamah Konstitusi (MK).

Dilansir TribunWow.com, bahkan dirinya menyebut MK saat ini bukan lagi Mahkamah Konstitusi melainkan Mahkamah Kekuasaan.

Hal itu diungkapkannya kepada Karni Ilyas dalam kanal YouTube Karni Ilyas Club, Jumat (29/1/2021).

Ekonom senior Rizal Ramli menyebut demokrasi Indonesia merupakan demokrasi kriminal dalam kanal YouTube Karni Ilyas Club, Jumat (29/1/2021). (YouTube/Karni Ilyas Club)

Baca juga: Gugatan Presidential Threshold Ditolak, Rizal Ramli: Demokrasi Kita Demokrasi Kriminal

Baca juga: Amien Rais Minta Kapolri Listyo Sigit Batalkan PAM Swakarsa: Punya Potensi Terjadi Proxy Killing

Dalam kesempatan itu, Rizal Ramli mulanya menyinggung soal gugatannya ke MK yang ditolak terkait penghapusan ataupun penurunan sistem presidential threshold atau ambang batas dalam pemilu.

Menurutnya, dalam memberikan penolakan, MK tidak memberikan alasan yang tepat atau yang bisa diterima secara nalar.

Ia mengatakan alasan MK menolak gugatannya adalah karena disebut tidak memenuhi legal standing.

"Ini sih betul-betul konyol," ujar Rizal Ramli.

Dirinya lantas menyinggung fungsi dari dibentuknya MK.

Rizal Ramli menyebut fungsi MK saat ini sudah berubah, tidak lagi membela konstitusi, melainkan justru membela penguasa.

Oleh karenanya, menurutnya, MK saat ini bukan lagi Mahkamah Konstitusi melainkan Mahkamah Kekuasaan.

"Dulu waktu bikin Mahkamah Konstitusi ini, idenya memang bagus, kalau ada masalah dari Undang-Undang bisa diajukan ke MK," kata Rizal Ramli.

"Dalam praktiknya kalau kita lihat keputusan-keputusan MK selama dua tahun terakhir, dia itu bukan mahkamah konstitusi, tetapi mahkamah kekuasaan."

"Dengar yang kuasa, dengar eksekutif maunya apa, bukan mempertahankan konstitusi," jelasnya.

Baca juga: Alasan Gugat Langsung ke MK Bareng Rizal Ramli, Refly Harun: Bukan Tidak Percaya Diri ke DPR

Lebih lanjut, mantan Menko Maritim itu menegaskan bahwa sistem presidential threshold itulah yang merusak proses demokrasi di Tanah Air.

Sehingga ia mendesak kepada pemerintah supaya presidential threshold itu bisa dihapuskan sehingga membuat demokrasi menjadi lebih adil dan fair. 

"Saya tiga bulan setengah yang lalu ketemu dengan Pak Moeldoko, saya katakan yang merusak kita ini adalah demokrasi kriminal, sistem threshold ini," pungkasnya.

Simak videonya mulai menit ke-15.30

Rizal Ramli: Demokrasi Kita Demokrasi Kriminal

Dalam kesempatan itu, Rizal Ramli juga menyebut demokrasi Indonesia merupakan demokrasi kriminal.

Pernyataanya tersebut disampaikan menyusul gugatan atas presidential threshold atau ambang batas di pemilu ditolak oleh Mahkamah Konstitusi (MK).

Dilansir TribunWow.com dalam kanal YouTube Karni Ilyas Club, Jumat (29/1/2021), Rizal Ramli mengaku tidak mendapat alasan yang tepat atas penolakannya tersebut.

"Dalam kasus saya, belum diproses sudah langsung ditolak, istilahnya legal standingnya enggak kuat," ujar Rizal Ramli.

"Rupanya mereka takut banget sama kita, karena kalau ada perdebatan persidangan saya yakin argumen-argumen dari hakim konstitusi tidak memadahi."

"Jadi dia pakai cara kekanak-kanakan," jelasnya.

Baca juga: Amien Rais Minta Kapolri Listyo Sigit Batalkan PAM Swakarsa: Punya Potensi Terjadi Proxy Killing

Rizal Ramli menyebut pihak-pihak yang mempersoalkan presidential threshold tentu mereka yang dari partai kecil maupun masyarakat yang menginginkan sistem demokrasi yang adil dan bersih.

Sebaliknya, untuk partai-partai besar yang sanggup memenuhi 20 persen syarat pengajuan calon, menurut Rizal Ramli tidak mempermasalahkan dan justru menikmati.

"Yang menikmati sistem presidential threshold ini sembilan partai yang besar ini. Mereka menikmati karena ada kewajiban 20 persen untuk calon bupati, gubernur, dan presiden," ungkapnya.

Mantan Menko Kemaritiman itu menyebut bahwa sistem presidential threshold itulah yang secara langsung mempengaruhi buruknya proses demokrasi di Indonesia.

Pasalnya tidak semuanya bisa mengikuti atau mencalonkan diri dalam pemilu.

Alhasil mereka yang tidak memenuhi syarat itu terpaksa mencari atau menyewa partai-partai lain.

Dan itu artinya dikatakan Rizal Ramli, mereka harus membayar partai tersebut dengan biaya yang tidak sedikit.

"Itu kalau ada yang maju menjadi bupati mesti menyewa partai, dua sampai tiga partai. Biayanya itu bisa 30 sampai 50 miliar, biaya partai saja," kata Rizal Ramli.

"Baru buat bupati, buat gubernur 100 miliar sampai 300 miliar, untuk presiden bisa sampai 1 triliun."

"Inilah yang kami sebut sebagai demokrasi kriminal," pungkasnya. (TribunWow/Elfan Fajar Nugroho)