TRIBUNWOW.COM - Ribuan guru honorer di Jambi mengalami kesulitan keuangan, setelah adanya pemotongan gaji selama pandemi.
Sebagian besar terpaksa berutang di warung-warung maupun tetangga, untuk menambal kebutuhan sehari-hari.
"Utang di warung itu sudah ratusan ribu. Untuk membeli susu anak, lauk pauk dan beras," kata SF, guru honorer SMK dari Muarojambi saat ditemui Kompas.com, Jumat (1/1/2021).
Baca juga: Tangis Pilu Ibu TKW Korban Pembunuhan di Malaysia saat Lihat Jenazah Anaknya: Lisa Udah Pulang
Seorang guru yang tinggal di rumah papan berukuran sekitar 5x6 meter ini, terus mengalami himpitan ekonomi selama pandemi.
Sementara gaji yang ditunggu tak kunjung cair, hampir lima bulan.
Pada saat terima gaji pada akhir tahun, justru mendapat pemotongan.
"Gaji bulan Desember kami dipotong semua. Tidak ada solusi dari sekolah, karena urusan gaji ditangani orang dinas," kata SF menjelaskan.
SF menunjukkan surat edaran dari Dinas Pendidikan Provinsi Jambi. Lembaga yang mengurusi sekitar 6.000-an guru honorer SMA/SMK ini hanya menjelaskan, "Jumlah dana yang diusulkan melebihi dari sisa dana DPA APBD Jambi, sehingga sisa dana tidak cukup untuk membayar gaji guru dan tenaga tata usaha."
Baca juga: Pasangan di Bawah Umur Terciduk Satpol PP saat Malam Tahun Baru, 49 Pasangan Lain Diberi Pembinaan
Menurut SF pemotongan sebulan gaji, memang nominalnya tidak besar.
Setiap guru dibayar Rp17.500 per jam.
Apabila dalam seminggu mengajar 24 jam, tentu sebulan bisa mengantongi uang Rp 1,68 juta.
Gaji itu sungguh berarti, untuk membantu kebutuhan selama pandemi.
Memang guru menerapkan pembelajaran daring, tetapi guru honorer diwajibkan ke sekolah, setiap hari.
"Kami tetap wajib ke sekolah. Tentu ada biaya minyak, makan dan internet untuk mengajar selama pandemi. Belum lagi kebutuhan dapur," keluh SF.
Baca juga: Cara Klaim Token Listrik Gratis PLN Mulai 7 Januari 2021, Akses di www.pln.co.id dan WhatsApp
Untuk menyambung hidup, kata dia harus bekerja serabutan, mulai dari menjadi kuli panggul, memanen sawit, hingga jualan musiman.
Meskipun serba sulit, SF tetap bertahan selama tujuh tahun menjadi guru honorer.
Sebab, dia ingin mencerdaskan anak-anak dari kampungnya.
Hal senada juga disampaikan DA, guru honorer di Sarolangun.
Pemotongan gaji di tengah pandemi ini, memang kontras dengan yang dilakukan pemerintah, untuk memulihkan ekonomi.
Pada masa pandemi, pemerintah menggelontorkan dana bantuan ke beberapa sektor.
Sebaliknya guru honorer mengalami pemotongan dengan alasan tidak jelas.
"Semua guru honorer mengeluh. Karena gaji baru dibayar setelah lima bulan. Itu pun dibayar tiga bulan dulu, dua bulannya ditangguhkan sampai pembayaran berikutnya," kata DA menjelaskan.
Dengan adanya pemotongan, selama libur sekolah tidak bisa pulang kampung untuk bertemu keluarga.
Lelaki yang tinggal di kontrakan ini, terpaksa berutang ke tetangga untuk mengirim uang ke kampung halaman.
Baca juga: Info BMKG - Prakiraan Cuaca 33 Kota Besok, Minggu 3 Januari 2021: Waspada Hujan di 24 Wilayah
Pengamat Kebijakan Publik dari UIN Sultan Thaha Saefuddin Jambi Bahren Nurdin berujar, Dinas Pendidikan Provinsi Jambi harus transparan terhadap pemotongan gaji guru honorer.
Pemotongan gaji pada masa pandemi sudah melanggar hak guru untuk hidup layak.
Tentu melukai hati banyak orang. Pemerintah harus bijak dalam menyikapi hajat hidup orang banyak.
"Jangan sampai pemotongan gaji ini, malah menguntungkan individu pejabat. Kalau memang ada indikasi korupsi, itu harus ditembak mati," kata Bahren menegaskan.
Sementara itu, Plt Kadis Pendidikan Provinsi Jambi, Muhammad Syahran menjelaskan pemotongan ini harus dilakukan, karena pemerintah kekurangan dana.
Menurut dia, jumlah dana yang diusulkan untuk pembayaran gaji, melebihi dana yang tersedia pada APBD 2020. Dengan begitu pemerintah mengalami kekurangan dana.
"Kita akan usahakan bulan Januari. Semua gaji guru yang dipotong, akan diganti pada APBD 2021," kata Syahran. (*)
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Derita Guru Honorer di Masa Pandemi, Harus Utang Kanan Kiri karena Gaji Disunat"