TRIBUNWOW.COM - Presiden terpilih Amerika Serikat (AS) Joe Biden pernah menyinggung soal kesepakatan nuklir Iran 2015.
Saat berkampanye, Biden menjelaskan rencananya untuk bergabung kembali dengan kesepakatan nuklir Iran, jika dia terpilih sebagai Presiden AS menggantian Donald Trump.
Tetapi, setelah hidup di bawah sanksi 'Tekanan Maksimum' yang dijatuhkan pemerintahan Trump, Teheran tak mudah mempercayai perkataan Amerika Serikat.
Baca juga: Trump Ngaku akan Meninggalkan Gedung Putih jika Electoral College Pilih Joe Biden sebagai Pemenang
Seorang ahli dari Yayasan Pertahanan Demokrasi (Defense of Democracie) Behnam Ben Taleblu memberikan komentarnya lewat CNBC tak lama setelah Pilpres AS.
"Tidak peduli betapa putus asa pemerintahan Biden untuk mencapai kesepakatan, tanggapan Iran lebih penting," katanya.
Para pejabat Iran telah menyinggung kembali ke Rencana Aksi Komprehensif Bersama (JCPOA).
Jika AS ingin kembali dengan kesepakatan nuklir Iran, Teheran berharap Washington memberikan "kompensasi atas pukulan ekonomi di bawah sanksi Trump".
Ekonomi Iran mengalami kontraksi sekira enam persen setiap tahun, sejak Trump secara sepihak menarik dari dari kesepakatan multi-negara.
Kata Analis Timur Tengah
Lebih lanjut, Ryan Bohl, analis Timur Tengah yang bekerja pada Stratfor turut buka suara.
"Kami mengharapkan pemerintahan Biden untuk mencoba duduk di meja perundingan dengan Iran," kata Bohl.
"Tetapi, hambatan utama adalah Iran sendiri mungkin tidak bersedia untuk bernegosiasi," tegas Bohl.
Sementara, rencana Washington untuk kembali bergabung dengan kesepakatan nuklir Iran disebut Dave Des Roches, Profesor di National Defense University di Washington, DC sebagai racung politik.
Pemerintahan Trump saat ini memberikan lebih banyak sanksi pada Republik Islam sebelum masa jabatannya berakhir.
"Iran tidak mungkin bersedia untuk kembali ke JCPOA tanpa beberapa konsesi AS, seperti pencabutan sanksi terhadap Hizbullah, program rudal, dan pelanggar HAM Iran," bantahnya.