TRIBUNWOW.COM - Pakar hukum tata negara Zainal Arifin Mochtar mengkritisi omnibus law Undang-undang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja).
Dilansir TribunWow.com, hal itu ia sampaikan dalam tayangan Indonesia Lawyers Club (ILC) di TvOne, Selasa (20/10/2020).
Zainal menilai banyak kepentingan terlibat dalam undang-undang yang mengundang penolakan dari buruh, mahasiswa, dan masyarakat tersebut.
Baca juga: UU Cipta Kerja Bisa Dibatalkan jika Penuhi Syarat Berikut, Ini Kata Mahfud MD: Zaman Saya Pernah
Awalnya ia menyinggung ada banyak cacat formal dalam pembentukan undang-undang itu, seperti dalam penentuan sanksi dan pidana.
Zainal mengingatkan masyarakat saat ini sudah melek hukum dan kebijakan pemerintah, sehingga tidak dapat sekadar dijanjikan jargon tentang UU Cipta Kerja.
"Begini, saya harus sampaikan lagi. Enggak zamannya lagi mendidik publik dengan jargon dan mistifikasi, 'Pokoknya kami pasti berlaku yang terbaik, jangan khawatir kami enggak mungkin mau menyakiti rakyat'," singgung Zainal Arifin.
"Enggak bisa seperti itu, semua orang makin cerdas. Enggak bisa itu," tegasnya.
Ia menyinggung ada banyak kepentingan di balik pengesahan UU Cipta Kerja.
Menurut Zainal, masyarakat sudah melek terhadap fakta itu sehingga memprotes omnibus law tersebut.
"Orang tahu yang namanya permainan oligarki. Orang tahu yang namanya undang-undang ini dibuat dengan konflik kepentingan," papar Zainal.
Baca juga: Maklum UU Cipta Kerja Diprotes karena Buru-buru, Mahfud MD Lempar ke DPR: Biar yang Jawablah
Selain itu, ia mengungkapkan fakta banyak anggota penyusun UU Cipta Kerja yang memiliki kepentingan dengan perusahaan yang terkait dalam hal-hal yang diregulasi omnibus law.
Zainal menilai, terhadap hal ini pun masyarakat sudah menyadari.
"Sebagian Satgas Omnibus Law itu terafiliasi ke perusahaan-perusahaan tertentu," ungkap pakar hukum ini.
"Orang semua baca itu dan paham," tambahnya.
Maka dari itu, ia meminta agar jangan lagi menjanjikan hal-hal yang baik saja terkait UU Cipta Kerja.
Sebelumnya Zainal juga sempat menyarankan agar UU Cipta Kerja ditunda setidaknya selama dua tahun dan lebih banyak melibatkan stakeholder terkait serta masukan publik.
"Jadi enggak bisa lagi dibilang, 'Sadarlah, enggak apa-apa kami enggak akan berbuat baik. Yakinlah ke negara'," tegas Zainal Arifin.
Lihat videonya mulai menit 8.00:
Mahfud MD Ungkap UU Cipta Kerja Bisa Dibatalkan karena Ini
Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menanggapi protes yang diajukan banyak pihak terkait omnibus law Undang-undang Cipta Kerja (UU Ciptaker).
Ia menyebutkan undang-undang yang menuai kontroversi itu dapat dibatalkan jika menurut Mahkamah Konstitusi (MK) terdapat cacat formal.
Dilansir TribunWow.com, hal itu ia sampaikan melalui kanal YouTube Karni Ilyas Club, diunggah Minggu (18/10/2020).
Baca juga: Fahri Hamzah Sebut UU Cipta Kerja Diadopsi dari China: Akan Diketawain Investor Amerika dan Eropa
Mahfud memaparkan cacat formal dimaksud adalah substansi draf yang beredar di masyarakat yang berbeda-beda versi.
"Di meja saya itu sudah ada enam naskah, enam versi," papar Mahfud MD.
"Di eksekutif sendiri saya punya empat. Semula undang-undangnya 900 sekian (halaman)," lanjutnya.
Ia menyinggung banyaknya versi draf bukan terkait substansinya, memang karena ada proses perubahan.
"Sesudah beredar di masyarakat, diprotes, berubah menjadi menebal. Diprotes lagi, berubah lagi," jelas mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) ini.
"Sehingga yang versi pemerintah pun sudah beberapa kali diubah sebelum masuk ke DPR," lanjutnya.
Selama rapat paripurna di DPR pun, Mahfud menyebutkan ada banyak perubahan yang terjadi.
Secara khusus Mahfud menyoroti versi draf yang sudah disahkan DPR.
Diketahui sampai saat ini versi resmi draf yang sudah disahkan belum dipublikasikan di situs pemerintahan manapun.
"Memang yang agak serius bagi saya, yang harus dijawab DPR itu, sesudah palu diketok itu apa benar sudah berubah atau hanya soal teknis?" ungkit Mahfud.
Baca juga: Ikut Pertanyakan Polemik Draf UU Cipta Kerja Beda-beda Versi, Mahfud MD: Saya Saja Ada 6 Draf
Ia menyebutkan kabar yang disampaikan kepada dirinya, perubahan terakhir di DPR hanya menyangkut masalah teknis penulisan.
"Yang saya dengar itu tidak berubah. Jadi semula dicetak dengan font tertentu yang lebih besar dengan spasi lebih besar menjadi 1.035 (halaman)," kata mantan politikus PKB ini.
"Sesudah font-nya dikecilkan, menjadi 812 halaman," jelasnya.
Menurut Mahfud, pernyataan DPR ini perlu dicocokkan kebenarannya.
"Benar apa tidak, nanti bisa dicocokkan saja. 'Kan mestinya ada dokumen untuk mencocokkan itu," ungkap dia.
Apabila ternyata pernyataan itu tidak benar, maka MK dapat menetapkan undang-undang tersebut mengalami cacat formal dan dapat dibatalkan.
Ia menyebutkan hal itu pernah terjadi ketika menjabat sebagai Ketua MK.
"Kalau terpaksa juga itu misalnya benar terjadi 'kan berarti cacat formal. Kalau cacat formal itu Mahkamah Konstitusi bisa membatalkan," terang Mahfud.
"Mahkamah Konstitusi waktu zaman saya pernah membatalkan seluruh undang-undang Badan Hukum Pendidikan. Hanya diuji tiga pasal tapi karena formalitasnya salah, jantungnya kena, kita batalkan semua satu undang-undang," paparnya. (TribunWow.com/Brigitta)