TRIBUNWOW.COM - ARN (20), seorang mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM) mengaku mengalami tindak kekerasan dari aparat saat mengikuti demo penolakan Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja di Yogyakarta, Kamis (8/10/2020) lalu.
Bentuk kekerasan yang diterima beragam, mulai dari pemukulan hingga interogasi, bahkan dipaksa mengaku menjadi provokator demonstrasi.
Namun pengakuan ARN dibantah oleh pihak kepolisian, yang menegaskan tidak ada tindak kekerasan saat terjadinya aksi penolakan saat itu.
Baca juga: PBNU Minta Pemerintah Bongkar Dalang Kerusuhan Demo UU Cipta Kerja: Jangan Hanya yang di Lapangan
Dikutip dari Kompas.com, Senin (12/10/2020), pernyataan itu disampaikan oleh Kapolresta Yogyakarta Kombes Pol Purwadi Wahyu Anggoro.
Kombes Purwadi mengatakan tidak ada personilnya yang melakukan pemukulan maupun interogasi terhadap ARN.
"Tidak ada. Yang sudah di Polresta tidak ada pemukulan, mereka kan di lapangan," kata Purwadi saat dikonfirmasi melalui pesan singkat, Minggu (11/10/2020).
"Enggak ada, kita sesuai bukti pendukung. Yang tidak sesuai dengan fakta hukum ya kita lepaskan. Sudah bukan zamannya paksa-paksa orang mengaku," sambungnya.
Dipukuli dan Dipaksa Ngaku
Cerita berbeda disampaikan oleh ARN.
Berdasarkan versi ARN, saat itu dirinya datang terlambat dalam mengikuti demo.
Ia menyusul kawan-kawannya menggunakan sebuah sepeda motor sambil membawa dua kardus yang berisi air minum.
Sesampainya di lokasi, ARN langsung masuk ke baris depan bersama para demonstran lainnya.
Tetapi saat berada di depan Gedung DPRD, kericuhan terjadi.
Aparat terprovokasi oleh demonstran yang ada di sana.
“Empat personel diganggu massa, saya yakin anak SMA atau SMK. Satu personel terprovokasi, kebetulan posisi saya pas di belakang personel itu. Mulai bentrok dan ricuh, saya ikut mundur bersama polisi, saya masuk ke aula DPRD,” kata ARN.