TRIBUNWOW.COM - Nama Tan Malaka kini tengah menjadi perbincangan hangat bahkan trending topik di Twitter.
Tan Malaka ramai dibicarakan menyusul buku tentangnya dibawa pendemo dan dijadikan barang bukti oleh polisi.
Persisnya buku Tan Malaka berjudul Menuju Merdeka 100 Persen disita Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Banten.
Baca juga: Buru Dalang Rusuh Demo UU Cipta Kerja di Jakarta, Polisi Lacak Video di Medsos: Ini Bukan Buruh
Baca juga: Kronologi Nikita Mirzani Layangkan Kritikan hingga Terancam Dilaporkan Pendukung Puan Maharani
Buku itu disita dari salah satu mahasiswa berinisial OA pascademonstrasi menolak Undang Undang Cipta Kerja berujung ricuh di depan kampus UIN Sultan Maulana Hasanudin (SMH) Banten, pada Selasa (6/10/2020) lalu.
Mahasiswa salah satu perguruan tinggi di Banten itu dikenakan Pasal 212 KUHP, dengan ancaman pidana paling lama 1,4 tahun bulan kurungan penjara.
Isi pasal tersebut menyebutkan bahwa,
“Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan melawan kepada seseorang pegawai negeri yang melakukan pekerjaannya yang sah, atau melawan kepada orang yang waktu membantu pegawai negeri itu karena kewajibannya menurut undang-undang atau karena permintaan pegawai negeri itu, dihukum karena perlawanan, dengan hukuman penjara selama-lamanya satu tahun empat bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp 4.500,00,”
Netizen pun umumnya menyayangkan jika buku dijadikan barang bukti untuk menjerat pelaku.
@BonnieTriyana: Pak Polisi yang bener aja ah... mending bebasin aja tuh mahasiswa. Masa barbuknya buku Tan Malaka.
@hasn0religi0n: Kita harus berangkat dr sebuah kesadaran bersama bahwa aparat belum teredukasi dg baik sehingga menyimpan sebuah buku Tan Malaka dianggap sebagai sebuah tindakan kriminal. Mungkin krn pemimpinnya memilih membaca serial kartun.
@albertsamuel28: Padahal baca buku2 Tan Malaka justru menambah pengetahuan dari pada baca buku "Jokowi Menuju Cahaya".
@Sulaeman_64: Ini pesan Tan Malaka kpd Massa Aksi. Revolusi dikatakan berhasil bila mampu mengerahkan jutaan kaum buruh untuk mogok dan berdemonstrasi, “tanpa melempar sebutir kerikil pun kepada pegawai pemerintah”
@Rafdimh: Positif thinking aja itu buku tan malaka buat dilempar ke pak pol
@heydojs: tan malaka trending euy .
@ekenirsanse_: Mahakarya founding father sekelas Datuk Tan Malaka bisa2 nya di jadiin BB.
@historia_id: Polisi menyita buku Tan Malaka berjudul Menuju Merdeka 100 Persen dari mahasiswa yang ditangkap saat unjuk rasa di Banten. Sebelumnya, polisi menyita buku Aksi Massa karya Tan Malaka sebagai barang bukti aksi kelompok anarko di Tangerang.
@deodorantkering: Eh gua juga punya beberapa buku tan malaka, apakah nanti gua akan di tangkep?
@bukuakik: Buku lagi! buku lagi! wesjaaaaaannn
@r_wnld: lah si para keparat berpangkat itu ngada" aja dah, buku jadi bukti, emang aneh nih negara, padahal Bung Karno sempet manyatakan kalau semisal dia di tangkap jadikan Tan Malaka sebagai presiden, aneh aja yaaa....
@Sulaeman_64: Bung Karno juga kmn2 selalu bawa buku karya Tan Malaka "naar de Republiek"
@MyNameRisih: mungkin gini, "siapa sih Tan Malaka gapernah ngerti tuh di rumus matematika pas gw sekolah dulu" kata salah satu oknum polisi.
Baca juga: Pesan Najwa Shihab Pasca-viral Kertas Bertuliskan Tolong Saya: Terus Peduli Isu Penting Negeri Ini
Tentang Tan Malaka
Seperti disarikan dari historia.id, ada kegemparan di kalangan elite Partai Komunis Indonesia (PKI) dalam tahun 1926.
Silang pendapat itu bermula ketika sekelompok kader pucuk PKI pimpinan Sardjono menyelenggarakan Kongres Prambanan, 25 Desember 1925, yang menghasilkan keputusan melawan pemerintah kolonial Belanda, selambatnya enam bulan setelah penyelenggaraan kongres.
Untuk mematangkan jalannya pemogokan massal yang disertai pelawanan bersenjata sebagaimana keputusan kongres, partai mengutus Musso, Budisutjitro, dan Sugono untuk pergi ke Singapura menemui Tan Malaka.
Mereka berniat meminta bala bantuan dari Moskow melalui Tan Malaka.
Namun misi itu gagal karena Tan Malaka ada di Manila.
Sebetulnya Tan Malaka sudah mengetahui rencana pemberontakan itu sejak awal 1926, namun kurang sreg.
Dia menilai situasi revolusioner di Hindia Belanda belum benar-benar memenuhi syarat untuk sebuah revolusi.
“Tetapi apakah rakyat proletar Indonesia sudah pula siap?... kalau belum siap, tak ada jalan lain buat pemimpin yang berani bertanggung jawab kepada rakyat dan diri sendiri, ialah terus mempersiapkan rakyat buat massa aksi,” kata Tan Malaka dalam otobiografinya, Dari Penjara ke Penjara.
Pemberontakan melawan pemerintah kolonial pun tetap dilakukan kendati waktu pelaksanaannya meleset dari yang ditentukan.
Pada 12 November 1926 pemberontakan meletus di Banten, Batavia, dan Jawa Barat. Lantas pada Januari 1927, mengikuti kawan-kawan separtai di Jawa, giliran Silungkang, Sumatra Barat berontak melawan Belanda.
Dalam jangka waktu sepekan setelah peristiwa, polisi kolonial menangkap ribuan orang yang diduga terlibat aksi pemberontakan tersebut.
Beberapa pemimpin pemberontakan, seperti Egom, Hasan, dan Dirdja dihukum gantung. Ratusan kader lainnya dibuang ke Boven Digul, kamp penahanan yang terletak di wilayah endemik malaria hitam di Papua.
Kelak tak hanya kaum komunis yang dibuang ke Digul, melainkan juga para nasionalis yang dituduh membahayakan negara kolonial Hindia Belanda.
Tan Malaka besikukuh tak menyetujui pemberontakan itu.
Pada awal 1926, menggunakan paspor palsu di bawah nama samaran Hasan Gozali, pria kelahiran Mindanao, Filipina Selatan, Tan Malaka masuk ke Singapura.
Selama di Singapura dia menulis sebuah risalah mengenai taktik rakyat untuk melawan pemerintah kolonial. Risalah bertajuk Massa Actie(Aksi Massa) ditulis untuk menanggapi keputusan kongres Prambanan yang menyerukan revolusi di Hindia Belanda.
Tan Malaka mengakui bahwa risalah tersebut ditulis dalam situasi serba mendadak. “Massa Aksi yang ditulis tergesa-gesa dan dicetak di Singapura,” katanya dalam Dari Penjara ke Penjara.
Baca juga: Viral Kertas Bertuliskan Minta Tolong di Episode Cipta Kerja, Najwa Shihab: Bukan Saya yang Tulis
Ketergesaan itu bisa jadi karena dia, melalui risalahnya, ingin agar pemberontakan ditunda sambil mematangkan situasi revolusioner pada massa rakyat.
Risalah tersebut terdiri dari 12 bagian, dibuka dengan pembahasan revolusi pada bab pertama.
Kalimat pertama dalam bab ini bernada gugatan kepada mereka yang menganggap revolusi sebagai keputusan sepihak, satu arah dari beberapa gelintir orang.
“Revolusi itu bukan sebuah ide yang luar biasa, dan istimewa, serta bukan lahir atas perintah seorang manusia yang luar biasa. Kecakapan dan sifat luar biasa dari seseorang dalam membangun revolusi, melaksanakan atau memimpinnya menuju kemenangan, tak dapat diciptakan dengan otaknya sendiri,” tulis Tan Malaka.
Tan Malaka jelas terpengaruh kuat oleh teori revolusi proletar Karl Marx yang memproyeksikan bahwa revolusi akan terjadi ketika kaum proletar semakin menderita akibat penindasan kaum modal yang semakin rakus menumpuk kekayaan di tangan mereka.
“Semakin besar kekayaan pada satu pihak semakin beratlah kesengsaraan dan perbudakan di lain pihak. Pendeknya semakin besar jurang antara kelas yang memerintah dengan kelas yang diperintah semakin besarlah hantu revolusi,” kata Tan Malaka menguraikan.
Setelah menjelaskan tahapan revolusi pada bab pertama, Tan beralih membahas bagaimana masyarakat Indonesia terbentuk secara historis untuk membantu memahami pada tingkat mana kesadaran masyarakat Indonesia berada.
Apa yang ada di Indonesia, menurut Tan, tidak pernah lepas dari pengaruh luar negeri.
Kondisi itu menjadikan masyarakat Indonesia tidak punya cita-cita sendiri karena hanya menerima apa yang datang dari luar, bahkan dalam soal agama.
“Agama Hindu, Buddha, dan Islam adalah barang-barang impor, bukan keluaran negeri sendiri,” tulisnya (simak selanjutnya di Historia.id)
Tan Malaka Tokoh Kiri
Meski diyakini sebagai tokoh bangsa dan mempunyai jasa besar terhadap Republik Indonesia, sejumlah tokoh kiri ikut jadi korban.
Konflik dan pemberontakan yang dilakukan Partai Komunis Indonesia (PKI) setidaknya punya andil besar terhadap hukuman yang diterima tokoh kiri nasionalis seperti Sutan Sjahrir dan Tan Malaka.
Berikut kisahnya yang diungkap Intisari.
Selain Tan Malaka, satu lagi tokoh "kiri" yang berjasa di awal berdirinya negeri ini adalah Sutan (atau Soetan) Sjahrir.
Namanya harum sebagai Perdana Menteri pertama Republik Indonesia.
Namun, mirip Tan Malaka, kariernya pun tak bertahan lama.
Bak suratan takdir, nasib tokoh-tokoh "kiri" hampir seragam: cepat populer, cepat pula terpinggirkan.
Tulisan Asvi Warman Adam, sejarawan di LIPI, ini menjelaskan bagaimana karier politik Sjahrir.
Simak tulisannya di Majalah Intisari, dengan judul asli Meteor Sjahrir dan Tragedi Kiri.
Karier Sjahrir dalam dunia politik Indonesia dapat diibaratkan meteor yang melesat cepat.
Ketika Republik Indonesia masih bayi, ia dipercaya menjadi Perdana Menteri, jabatan yang disandangnya pada usia sangat muda, 36 tahun.
Putra pasangan Mohammad Rasad dan Puti Siti Rabiah yang lahir di Padang Panjang, 5 Maret 1909 ini memang telah berjuang sejak usia belia.
Selepas Europeesche Lagere School (ELS, setingkat SD) dan Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO, setingkat SMP) di Medan, Sjahrir masuk Algemene Middelbare School (AMS, setingkat SMA), di Bandung.
Sikapnya yang merakyat sudah terlihat di sekolah ini. la bergabung dalam kelompok teater, berperan sebagai sutradara, penulis skenario, dan aktor.
Lalu, uang yang diperoleh dari hasil pementasan digunakan untuk membiayai sekolah yang didirikannya untuk orang tidak mampu, Tjahja Volksuniversiteit.
Lulus MULO, ia memperdalam ilmu hukum di Gemeentelijke Universiteit Amsterdam, Belanda.
Di kampus inilah Sjahrir makin kerap mengkaji teori-teori sosialisme. Ia juga menjalin hubungan dengan Salomon Tas, pimpinan Klub Mahasiswa Sosial Demokrat.
Pun di sini ia bertemu Maria Duchateau, perempuan yang kelak - meskipun singkat - sempat singgah di hati Sjahrir.
Sayangnya, belum sempat menyelesaikan studi, Sjahrir keburu dihubungi sahabatnya, Hatta.
la dimintai tolong untuk kembali ke Indonesia, memimpin PNI (Pendidikan Nasional Indonesia). Permintaan itu disertai "perjanjian", jika kelak Hatta (saat itu masih merampungkan studi di Belanda) pulang ke tanah air, ganti giliran Sjahrir yang akan balik ke Belanda, meneruskan studi.
Dalam Kongres I Pendidikan Nasional Indonesia di Bandung, Juni 1932, Sjahrir terpilih sebagai ketua umum. Ketika Hatta pulang tahun 1933, "perjanjian" di antara mereka langsung berlaku.
Jabatan pimpinan organisasi diserahkan kepada Hatta, sementara Sjahrir bersiap-siap kembali ke Belanda.
Tapi, apa daya, nasib berkata lain, belum sempat meninggalkan tanah air, Sjahrir yang juga aktif di organisasi kaum buruh itu keburu diciduk polisi Belanda.
la dibuang ke Digul (selama sekitar setahun), sebelum dikirim ke Bandaneira dan diasingkan di sana selama sekitar enam tahun.
Juru runding bersekoci
Saat Indonesia merdeka, Sjahrir dan Amir Sjarifuddin dikenal sebagai tokoh nasional yang tegas menolak bekerja sama dengan Jepang.
Kekukuhan sikap itu menarik hati Bung Karno. Itu sebabnya Sjahrir kemudian diangkat menjadi Perdana Menteri oleh Presiden Soekarno, yang ingin membuktikan dan memerlihatkan kepada dunia bahwa pemerintahan Indonesia bukan boneka atau buatan Jepang.
Hal ini diperlukan agar kemerdekaan itu mendapatkan pengakuan dan dukungan internasional.
Sjahrir sendiri beranggapan, personel dan persenjataan Belanda jauh lebih kuat daripada pejuang kita.
Makanya ia memilih jalan perundingan, agar Republik yang baru seumur jagung itu survive.
Di sekitar Januari 1946, ibukota Rl sempat dipindahkan ke Yogyakarta karena Jakarta tidak lagi aman.
Sempat terjadi kekisruhan. Belanda tidak mau datang ke Yogyakarta untuk berunding, sama seperti Pemerintah Indonesia yang enggan datang ke Jakarta.
Akhirnya dipilihlah Linggajati, sebuah desa di daerah Kuningan, Jawa Barat.
Delegasi Belanda datang dengan kapal sendiri ke Cirebon.
Di sini, pemimpin kita telah memanfaatkan simbol diplomatis dalam menghadapi Belanda.
Kapal Belanda itu tidak diperbolehkan merapat di Pelabuhan Cirebon karena ini merupakan daerah teritorial Indonesia.
Sebaliknya, Belanda juga berkeberatan bila diangkut dengan kapal Indonesia.
Akhirnya, dicapai kompromi, delegasi Belanda diturunkan ke sekoci mereka dan dikawal oleh kapal Indonesia.
Di meja perundingan, Belanda mengakui Indonesia secara de facto, meski terbatas pada P. Jawa, Sumatra, dan Madura. Pihak oposisi yang bergabung dalam PP (Persatuan Perjuangan) yang terdiri atas 141 partai dan organisasi menolak perjanjian tersebut.
Mereka berpendirian, syarat perundingan adalah bila Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia 100%.
Wacana apakah perjuangan harus memakai jalan perundingan atau dengan gerilya memang mewarnai tahun-tahun awal republik ini sampai dengan tahun 1949.
Sjahrir yang punya julukan "Bung Kecil" ini tak patah semangat oleh segala kritik. Dia terus mengejar pengakuan internasional.
Pasca Perjanjian Linggajati, pengakuan de facto berturut-turut datang dari Inggris (31 Maret 1947), Amerika Serikat (23 April 1947), dan Mesir (1 Juni 1947).
Sjahrir juga menugaskan H. Agus Salim ke negara-negara Arab, sehingga datang pula pengakuan dari Lebanon, Suriah, Irak, Afganistan, Saudi Arabia, dan Yaman.
Begitu hebatnya pergolakan politik di tahun-tahun awal kemerdekaan, memaksa Sjahrir turun panggung. Kabinet Sjahrir pun berganti menjadi Kabinet Amir Sjarifuddin pada 1947.
Tapi, Sjahrir sendiri masih dipercaya Presiden Soekarno untuk memimpin delegasi Indonesia ke Sidang Umum PBB.
Di forum inilah, ia membuka mata dunia, mematahkan argumen-argumen diplomat senior Belanda, Van Kleffens, lewat pidatonya pada 14 Agustus 1947.
Kerja keras Sjahrir yang punya julukan "Bung Kecil" dan diplomat-diplomat lainnya berhasil menjadikan Indonesia sebagai topik yang dibicarakan secara internasional.
Setelah itu, sang meteor seperti menghujam Bumi. Namanya tidak banyak kedengaran lagi di tahun 1950-an. la sempat memimpin Partai Sosialis Indonesia (PSI) yang di luar dugaan kalah dalam pemilihan umum tahun 1955.
Meski banyak pihak memaklumi karena Sjahrir memang menjadikan partai tersebut sebagai partai kader, bukan partai massa.
Tahun 1958, terjadi pemberontakan PRRI/Permesta.
Ada aktivis PSI yang terlibat dalam peristiwa itu, seperti Soemitro Djojohadikusumo.
Namun, PSI sebagai organisasi sendiri sebenarnya bukan dalang pemberontakan tersebut.
Toh, Sjahrir kena getahnya. la ditangkap pada 1962, dengan alasan yang terkesan dicari-cari oleh pihak keamanan.
Dia dituduh terlibat perencanaan pembunuhan terhadap Presiden Soekarno, tuduhan yang sama sekali tidak pernah terbukti.
Tahun 1964, Sjahrir yang sakit keras diperbolehkan berobat di Zurich, Swiss.
Di negara berhawa sejuk itu, ia menghembuskan napas terakhir, dua tahun berselang.
Sjahrir pun dinobatkan sebagai Pahlawan Nasional.
Artikel ini telah tayang di Wartakotalive dengan judul Tan Malaka Trending Terkait Pendemo Tolak UU Ciptaker, Ini Sosok Tan Malaka dan Tokoh Kiri Lainnya