Terkini Nasional

Soal Aturan Pilres, Rizal Ramli Gugat Ambang Batas ke MK: Pemimpin Enggak Mungkin Tak Ada Cukongnya

Penulis: Mariah Gipty
Editor: Atri Wahyu Mukti
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Mantan Menko Kemaritiman, Rizal Ramli baru saja mengajukan gugatan terkait aturan pencalonan presiden ke Judicial Review pada Jumat (4/9/2020)

TRIBUNWOW.COM - Mantan Menko Kemaritiman, Rizal Ramli baru saja mengajukan judicial review terkait aturan pencalonan presiden ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada Jumat (4/9/2020)

Rizal Ramli menggugat agar ambang batas suara partai dalam DPR atau presidential treshold dihapuskan sebagai syarat seorang calon pemimpin.

Dikutip TribunWow.com dari tvOneNews pada Sabtu (5/9/2020), Rizal Ramli menilai presidential treshold merusak demokrasi.

Ekonom Rizal Ramli Rizal Ramli baru saja mengajukan gugatan terkait aturan pencalonan presiden ke Judicial Review pada Jumat (4/9/2020) (Tribunnews.com/Dany Permana)

 

Rizal Ramli Ungkap Akibat jika Tuntutan KAMI Tak Didengarkan: Tidak Aneh Nanti Bisa Terjadi Sesuatu

Presidential Treshold itu tertuang pada Pasal 222 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum ke Mahkamah Konstitusi (MK), Jumat (4/9/2020).

Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 menyatakan, "Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya".

"Treshold kalau calon presiden 20 persen, calon bupati 20 persen. Nah itu partai-partai minta upeti yang besar itu hanya merusak Indonesia."

"Sehingga pemimpin itu enggak mungkin kalau enggak ada cukongnya," jelas Rizal.

Bersama Refly Harun, ia ingin agar pemilihan para pemimpin mulai dari Bupati hingga Presiden tak perlu ada ambang batas sama sekali.

Sehingga, Indonesia bisa memilih sejumlah putra putri terbaiknya.

Pilpres Masih Lama, Refly Harun Ungkap Alasan Terus Bahas Capres 2024: Biar Orang Bisa Ukur Prabowo

"Nah kita ingin hapuskan jadi 0, jadi siapapun putra-putri Indonesia terbaik bisa jadi Bupati, bisa jadi Gubernur, bisa jadi Presiden."

"Saya ingin seleksi kompetisi Pemimpin di Indonesia kompetitif, yang paling baik nongol, dari presiden sampai ke bawah," kata dia.

Ia menilai, aturan presidential treshold sama dengan memperbolehkan adanya kejahatan politik uang.

"Itu bisa kita lakukan kalau treshold ambang batas dihapuskan jadi 0."

"Selama ini MK melegalisasi threshold artinya MK melegalisasi kejahatan money politic ini," kritik Rizal.

Lihat videonya berikut:

Refli Harun Nilai Sengketa Pilpres Tak  Terjadi jika Tak Ada Presidential Treshold

Pakar Hukum Tata Negara, Refly Harun memberikan tanggapan terkait putusan Mahkamah Agung (MA) dan juga sengketa yang terjadi pada Pilpres 2019 lalu.

Dilansir TribunWow.com, MA belum lama ini telah mengeluarkan putusan pengabulan atas gugatan terkait Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 5 Tahun 2019.

Sebelumnya gugatan tersebut dilakukan oleh Rachmawati Soekarnoputri selaku Wakil Ketua Badan Pemenangan Nasional (BPN) pasangan calon presiden Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno.

Namun menurutnya, putusan dari MA tersebut sudah tidak berarti apa-apa lagi, apalagi untuk membatalkan hasil Pilpres 2019.

Dikatakannya bahwa setidaknya, putusan tersebut bisa digunakan untuk memperbaiki aturan yang berlaku pada pemilu-pemilu selanjutnya, jika kembali hanya terdapat dua pasangan calon saja.

Meski begitu, Refly Harun berpandangan bahwa persoalan pada PKPU Nomor 5 Tahun 2019 tidak akan terjadi jika tidak mati-matian mempertahankan kebijakan Presidential Threshold.

• Unggah Foto Berdua Bareng Jokowi, Prabowo Subianto: Kementerian Pertahanan akan Terus Bersinergi

Menurutnya, dengan adanya Presidential Threshold tersebut, maka menjadikan kesulitan bagi para calon presiden yang ingin mencalonkan diri.

Para calon presiden harus bisa memenuhi syarat ambang batas, yakni setidaknya 25% kursi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) atau 20% suara sah nasional dalam Pemilu Legislatif.

Akibatnya sudah dua kali perhelatan Pilpres hanya diikuti oleh dua pasangan calon, yakni pada tahun 2014 dan 2019.

Seperti yang diketahui, ketika hanya ada dua pasangan calon yang maju, maka pasangan terpilih harus memenuhi syarat dari persebaran suara.

Yakni setidaknya memenangi suara di setengah jumlah provinsi di Indonesia, termasuk juga mendapatkan minimal 20 persen suara di seluruh provinsi.

"Tetapi hal lain, sebenarnya masalah seperti ini tidak perlu harus ada, kalau kita kemudian tidak mati-matian mempertahankan Presidential Threshold yang membuat kemudian pasangan itu hanya dari dua calon saja," ujar Refly Harun.

"Sehingga orang berdebat, bagaimana kalau dua calon saja, apa syarat persebaran itu harus ada atau tidak," imbuhnya.

• Jokowi Teken Perpres soal Prakerja, Peserta yang Tak Penuhi Syarat Wajib Kembalikan Dana Insentif

Meski begitu, menurut Refly Harun persyaratan tersebut juga mempunyai perbedaan di Mahkamah Konstutusi dan Mahkamah Agung dalam Peraturan KPU.

'MK mengatakan tidak perlu dalam Keputusan 2014, tetapi kemudian Mahkamah Agung dalam konteks pengujian peraturan KPU mengatakan ada," jelasnya.

Maka dari itu, Refly Harun meminta ketegasan aturan mana yang seharusnya dilakukan.

"Untuk pembentukan hukum ke depan, hal seperti ini harus jelas dan tegas dalam Undang-undang yang baru," pungkasnya.

(TribunWow.com/Mariah Gipty/Elfan Fajar Nugroho)